Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati

22 Agustus 2022, 12.10

www.antaranews.com

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dinilai perlu mengevaluasi kebijakan sektor farmasi untuk lebih mendorong inovasi yang menjadi kunci perkembangan sektor ini. Bahkan kini pengendalian pandemi diperlukan utamanya dengan penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19, yang kini sepenuhnya masih impor. Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menyatakan industri farmasi di Indonesia merupakan suatu contoh di mana beragam kebijakan lokalisasi tak kunjung berhasil membangkitkan investasi maupun inovasi.

Andree menjelaskan dimulai dengan Daftar Negatif Investasi [DNI] 2007 yang membatasi kepemilikan asing maksimal 75% di sektor ini. Tidak lama sesudah itu muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi secara lokal.

Kemudian di 2016 sempat terjadi sedikit relaksasi, dimana kepemilikan asing diijinkan 100% untuk manufaktur bahan baku obat dan 85% untuk produksi obat-obatan jadi. "Tetapi, regulasi ini segera diikuti Instruksi Presiden 6/2016 kepada 12 kementerian dan lembaga guna mengembangkan industri farmasi melalui berbagai kebijakan lokalisasi, semisal dengan mengatur kandungan lokal, memprioritaskan produk lokal dan mematok harga," ungkapnya dalam publikasi CIPS, Sabtu (31/7/2021).

Andree menjelaskan lasan di balik beragam kebijakan ini biasanya ialah mendorong transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Sayangnya realisasi investasi asing maupun dalam negeri umumnya akan menurun segera sesudah kebijakan lokalisasi dikeluarkan.  Kebijakan lokalisasi 2007-2008 dikuti realisasi investasi yang rendah sepanjang 2009-2014.  Investasi naik mulai 2015 setelah pasar baru dibuka dengan diluncurkannya JKN.  "Ini pun kembali seret pasca 2016 karena regulasi yang tumpang tindih,” ungkapnya.

Meskipun sekarang ini Perpres 10/2021 tentang investasi yang mengimplementasikan UU Cipta Kerja tidak lagi membatasi kepemilikan asing di pabrik farmasi, namun semangat lokalisasi Inpres 6/2016 masih menyebabkan munculnya berbagai Peraturan Menteri yang restriktif. Semisalnya saja peraturan tentang cara perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) obat-obatan. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian 16/2020 yang akan dikeluarkan di tengah-tengah pandemi.  

Memang sejauh ini sertifikasi TKDN belum diwajibkan, namun apabila diimplementasikan harus diperhatikan supaya jangan sampai membuat obat menjadi langka sebab industri farmasi lokal sebetulnya masih sangat bergantung pada bahan baku impor.  “Dibutuhkan ratusan bahan dasar dalam memformulasikan sebuah obat, termasuk vaksin. Sementara takn semua bahan tersebut dibuat di Indonesia. Penerapan TKDN dapat mempersulit produsen apalagi lokal sekalipun untuk mengembangkan kapasitas. Alih-alih proteksionis, pemerintah idealnya membuka jalur impor untuk bahan baku obat-obatan,” tutur Andree. Pemerintah umumnya meyakini bahwa kebijakan yang restriktif tak akan mengurangi daya tarik populasi yang besar.  Tetapi sebetulnya nilai pasar farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya sekitar 1% dari 2 pasar terbesar dunia, yakni Amerika Serikat dan China.  

Akhirnya, adanya regulasi yang memaksa perusahaan untuk membangun pabrik baru di Indonesia mungkin malah akan mengurangi efisiensi dari pabrik yang telah dibangun di pasar lain yang jauh lebih besar. Bagi perusahaan farmasi multinasional di Indonesia, kombinasi antara biaya yang lebih tinggi dan pasar yang lebih kecil membawa konsekuensi berupa laba atas investasi yang lebih rendah. Pasar yang menawarkan tingkat pengembalian yang lebih rendah dan jangka waktu pemulihan investasi yang lebih panjang secara alami tak menarik bagi investor.


Disadur dari sumber ekonomi.bisnis.com