[Fakta Bicara] Chemtrail adalah Teori Konspirasi yang Tidak Terbukti

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil

11 Juli 2022, 00.33

Tangkapan layar video bernarasi chemtrail disebar di langit Jakarta pada 14 Februari pukul 01.00 dini hari.(TWITTER)

Isu penyebaran racun melalui udara menggunakan pesawat atau disebut chemtrail baru-baru ini ramai dibicarakan di media sosial. Penyebabnya adalah sebuah video viral berdurasi 15 detik yang memperlihatkan garis putih memanjang di langit. Video itu diunggah di Twitter pada Selasa (15/2/2022). Pengunggah video itu mengeklaim bahwa fenomena chemtrail itu terjadi di langit Jakarta pada Senin (14/2/2022) pukul 01.00 WIB atau dini hari. "Jakarta digempur chemtrail 14 februari pukul 1 tengah malam. Stay safe untuk warga jakarta ya, berdoalah mereka semua yg terlibat cepat menerima hukumannya," demikian caption yang ditulis oleh pengunggah video.

Bukan chemtrail Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsma TNI Indan Gilang Budiansyah, membantah klaim yang menyebutkan Jakarta digempur chemtrail. Indan mengatakan, klaim tersebut tidak benar alias hoaks. Ia menjelaskan, garis putih memanjang dalam video itu adalah jejak kondensasi pesawat terbang. "Fenomena jejak putih tersebut dikenal dengan nama jejak kondensasi pesawat terbang atau condensation trail (contrail)" kata Indan, seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (16/2/2022). Indan mengatakan, condensation trail adalah hasil dari pengembunan udara dengan kadar air tinggi yang bergesekan dengan mesin pesawat. Condensation trail, Indan melanjutkan, ada yang menyebutnya sebagai vapor trails. Namun, saat garis putih berpendar atau melebar seperti awan, itu disebut aviaticus cloud.

Chemtrail dikaitkan dengan Covid-19 Chemtrail belakangan ini kerap digunakan untuk mendiskreditkan keberadaan pandemi Covid-19 yang disebabkan virus corona SARS-CoV-2. Sebelumnya, beredar informasi di media sosial Facebook yang mengeklaim bahwa varian Omicron bukan disebabkan virus corona. Informasi itu menyebutkan bahwa Omicron adalah efek samping keracunan chemtrail yang disebar di udara menggunakan pesawat. Berikut narasi yang dibagikan: WASPADA!! Akhir-akhir ini pesawat chemtrail sgt aktif di udara. Gejala keracunan chemtrail : Demam, badan linu, batuk, flu, diare, badan gatal-gatal, dll. Jika anda sampai keracunan jangan minum obat paracetamol. Sedia selalu norit, VCO, cuka apel, jeruk lemon, Himalayan salt, minum air Kelapa ijo. Jadi paham ya apa yg dimaksud Omicron itu bkn lah virus, tapi sebab akibat dr keracunan chemtrail yg di sebar di udara. Namun, seperti telah dijelaskan oleh Marsma TNI Indan Gilang Budiansyah, fenomena jejak putih di langit sebenarnya adalah jejak kondensasi pesawat terbang, bukan chemtrail. Dikutip dari Kompas.com, 14 Juli 2021, penjelasan serupa juga diungkapkan oleh pengamat penerbangan yang juga mantan KSAU, Cheppy Hakim. Cheppy mengatakan, fenomena ekor pesawat yang meninggalkan jejak asap terjadi karena adanya proses kondensasi. "Intinya karena di atas itu temperaturnya dingin, exhaust knalpotnya itu panas, maka terjadilah proses kondensasi yang terlihat seperti asap putih itu," kata Cheppy. Lantas, dari mana sebenarnya istilah chemtrail berasal? Menurut Profesor David Keith dari Universitas Harvard, chemtrail adalah teori konspirasi yang meyakini bahwa pemerintah atau pihak lain terlibat dalam program rahasia untuk menyebarkan bahan kimia beracun ke atmosfer menggunakan pesawat terbang. Para penganut teori konspirasi ini menyebutkan bahwa keberadaan chemtrail dapat dibuktikan dengan adanya jejak putih di langit yang muncul usai pesawat terbang melintas. Mereka meyakini bahwa jejak putih itu mengandung bahan kimia beracun yang digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti pengendalian populasi manusia, pengendalian pikiran, atau menyebarkan penyakit. Namun, sebagaimana telah dijelaskan oleh pakar penerbangan, kemunculan jejak putih di langit setelah pesawat terbang melintas adalah fenomena biasa yang disebut contrail. Meski demikian, kemunculan teori konspirasi ini bukan tanpa sebab. Para penganutnya menggunakan konsep modifikasi cuaca sebagai pijakan. Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BB-TMC) menjelaskan, teknologi modifikasi cuaca adalah salah satu upaya memodifikasi cuaca demi mendapatkan kondisi cuaca seperti yang dikehendaki. Hasil akhir dari upaya modifikasi cuaca tersebut umumnya untuk meningkatkan intensitas curah hujan di suatu tempat (rain enhancement), meski dapat juga dikondisikan sebaliknya, yaitu untuk menurunkan intensitas curah hujan di suatu lokasi tertentu (rain reduction). Salah satu bentuk modifikasi cuaca yang paling dikenal masyarakat adalah menaburkan bahan semai berupa NaCl (garam) ke dalam awan menggunakan pesawat untuk menghasilkan hujan. Konsep modifikasi cuaca ini yang menjadi dasar keyakinan para penganut teori chemtrail bahwa hal serupa dapat dilakukan dengan bahan kimia berbahaya untuk beragam tujuan, seperti pengendalian populasi manusia, pengendalian pikiran, atau menyebarkan penyakit. Alasan chemtrail tidak nyata Dilansir dari BBC, 31 Januari 2018, para ilmuwan telah menolak klaim bahwa pemerintah atau organisasi tertentu menyemprotkan bahan kimia berbahaya melalui udara, seperti yang diyakini oleh penganut teori chemtrail. Hal itu terlihat dari sebuah studi tahun 2016 yang dilakukan oleh Institut Sains Carnegie dan Universitas California Irvine dengan melakukan survei terhadap 77 ilmuwan atmosfer dan ahli geokimia terkemuka. Hasilnya, semua ilmuwan kecuali satu (98,7 persen) melaporkan tidak ada bukti sahih terkait program penyemprotan bahan kimia berbahaya ke atmosfer dalam skala besar dan rahasia. Seorang ilmuwan yang tidak setuju mencatat tingkat barium (unsur kimia) atmosfer yang sangat tinggi di daerah terpencil, dengan tingkat barium yang rendah di dalam tanah. Namun, satu pendapat yang berlainan itu tidak serta-merta dapat dijadikan sebagai pembenaran bahwa chemtrail itu nyata. "Tujuan kami bukan untuk memengaruhi mereka yang sudah yakin bahwa ada program penyemprotan rahasia berskala besar - yang sering menolak bukti tandingan sebagai bukti lebih lanjut dari teori mereka - melainkan untuk membangun sumber objektif yang dapat menjadi informasi bagi publik," demikian catatan dari penulis studi tersebut.