Impor BBO Indonesia Capai 95%, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia Pacu Substitusi Impor Bahan Baku Farmasi

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati

22 Agustus 2022, 12.11

ikft.kemenperin.go.id

Pemerintah Indonesia terus berusaha menciptakan kemandirian sektor farmasi. Terlebih lagi, kemandirian sektor farmasi harapannya mampu berkontribusi dalam program substitusi impor sampai 35 persen pada akhir 2022.

Seperti diketahui, sektor farmasi memberikan kontribusi sangat signifikan terhadap porsi impor Indonesia. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), porsi impor bahan baku obat Indonesia hingga 95 persen. Maka dari itu, industri bahan baku obat menjadi poros paling penting untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat Indonesia.

Sebagai pionir industri bahan baku obat di Indonesia, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) berkomitmen penuh untuk membantu pemerintah dalam menciptakan kemandirian sektor farmasi, terlebih mengurangi porsi impor bahan baku obat di Indonesia. Terlebih lagi, perusahaan joint venture antara PT. Kimia Farma Tbk. dengan perusahaan asal Korea Selatan PT. Sungwun Pharmacopia Co Ltd. mentargetkan mampu memenuhi 50 persen kebutuhan bahan baku obat Indonesia dalam 10 tahun yang akan datang.

 

Perusahaan yang baru melaksanakan komersialisasi tahun 2020 ini sudah mengembangkan 2 lini produksi yakni, bahan baku obat dan high function chemical (HFC) untuk bahan baku kosmetik. Pada tahap awal, produksi bahan baku obat diorientasikan sepenuhnya untuk kebutuhan domestik. Upaya ini dilaksanakan guna mengurangi porsi impor bahan baku obat yang angkanya hampir menyentuh 100 persen.

Sedangkan produksi HFC untuk bahan baku kosmetik, perusahaan mengorientasikan sepenuhnya untuk kebutuhan ekspor. Hal ini terpaksa dilaksanakan perseroan, sebab demand atau permintaan untuk produk yang diproduksi KFSP masih sangat minim.

Direktur Utama KFSP, Rusdi Rosman mengungkapkan, kini kapasitas produksi KFSP untuk bahan baku obat mencapai 30 metrik ton/tahun. Sementara kapasitas produksi HFC untuk bahan baku kosmetik mencapai 75-150 metrik ton/tahun.

Rusdi menilai kapasitas produksi 30 metrik ton/tahun untuk bahan baku obat kini masih memadai. Pasalnya, demand dan kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri masih relatif kecil. Sampai sekarang ini, jelas Rusdi, penggunaan obat di Indonesia masih relatif kecil, tak sampai 0,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta orang. Jika dibandingkan dengan China, India, bahkan Bangladesh kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri masih relatif sangat kecil.

Selanjutnya, Rusdi mengatakan bahwa pihaknya sampai kini sudah menuntaskan transfer teknologi untuk empat item produk yaitu simvastatin, atopastatin, klopidogler, dan entekafir. Menurut penjelasan Rusdi, ke 4 item produk itu apabila dimaksimalkan dapat menurunkan 2 persen angka impor bahan baku obat Indonesia. “Tahun 2020, kami telah menyusun tambahan empat item produk baru yang sudah dituntaskan transfer teknologinya, jika dijumlahkan dapat menurunkan angka impor sebanyak 4 persen. Hingga tahun 2024, kami harapannya dapat menurunkan angka impor sebesar 24 persen,” ungkap Rusdi.

Maka dari itu, dukungan pemerintah berupa regulasi, peraturan dan kebijakan menjadi kunci utama keberlangsungan hidup industri bahan baku obat di Indonesia. “Jika kita lihat terdapat 2 hal yang harus berjalan yang pertama regulasi pemerintah harus ada untuk jangka pendek agar industri ini dapat hidup terlebih dahulu, namun industri pun dalam jangka panjang harus menyiapkan daya saingnya, sebeb regulasi pemerintah itu kan tak dapat terus menerus sehingga pada saat begitu regulasi dicabut, industri ini dapat mempunyai competitivenes dan mempunyai daya saing sehingga dalam jangka menengah panjang industri ini dapat bersaing dengan produk-produk yang ada kini,” ungkap Rusdi. Menurut Rusdi, penurunan angka impor bahan baku obat akan optimal jika industri hilir menggunakan produk-produk industri hulu.


Disadur dari sumber ikft.kemenperin.go.id