Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

Kenaikan Cukai Rokok dan Peta Jalan CHT

Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 01 Agustus 2022


Di tengah kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau 2022, muncul wacana mengenai penyusunan Peta Jalan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Wacana ini digulirkan dalam rangka memberikan kepastian tarif CHT yang hampir tiap tahun berubah-ubah. Tercatat hanya pada tahun 2019 pemerintah tidak merevisi tarif CHT.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) ikut mengusulkan kepada pemerintah untuk menyusun peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau. Menurut Gappri, Peta Jalan ini akan memberikan kepastian berusaha kepada pelaku industri rokok serta menekan peredaran rokok ilegal di pasaran.

Namun, tentu saja selain aspek keberlangsungan usaha, pemerintah juga akan dihadapkan dengan aspek kesehatan masyarakat sebagai dampak buruk dari konsumsi rokok. Akan terjadi ketimpangan jika Peta Jalan CHT ini hanya mempertimbangkan kepentingan industri rokok dan petani tembakau.

Kebijakan ini akan menuai pro kontra di kalangan masyarakat, khususnya antara pelaku bisnis rokok dan petani tembakau dengan kalangan masyarakat yang peduli akan dampak buruk tembakau bagi Kesehatan.

Keberlangsungan Usaha vs Kesehatan

Peta Jalan CHT akan sulit diterapkan karena sangat kontras dengan Roadmap Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan yang tertuang dalam Permenkes Nomor 40 tahun 2013. Dalam regulasi tersebut pemerintah justru menargetkan penurunan prevalensi perokok pada 2024. Salah satunya melalui peningkatan tarif cukai rokok serta pelarangan iklan dan sponsorship rokok.

Dengan demikian, sekali lagi akan sulit untuk menyelaraskan antara Peta Jalan CHT dengan Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Karena kedua roadmap ini akan memiliki target masa depan yang kontradiktif satu sama lain. Apakah mungkin roadmap CHT menjamin tarif cukai yang pro kepada industri rokok sekaligus pro kepada Kesehatan? Rasanya impossible.

Pun seandainya pemerintah mengakomodasi penyusunan roadmap CHT, maka jelas akan ada target kenaikan produksi rokok di dalamnya. Hal ini akan menimbulkan kesan pemerintah melanggar kewajibannya untuk menekan produksi, distribusi, dan konsumsi rokok dalam rangka menjaga Kesehatan masyarakat.

Kecuali memang pemerintah berniat menjadikan industri rokok sebagai sunset industry. Yaitu industri yang perlahan akan hilang di masa mendatang seiring berjalannya waktu. Dalam arti produksi rokok ke depan akan semakin berkurang dan Industri rokok bermetamorfosis ke jenis industri lainnya. Jika kebijakan ini yang diambil maka Peta Jalan CHT akan lebih relevan dengan aspek kesehatan.

Belajar dari Masa Lalu

Secara historis, sebenarnya Peta Jalan Industri Rokok sudah pernah dimuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015. Beleid tersebut mencakup Peta Jalan produksi industri hasil tembakau tahun 2015-2020. Namun roadmap tersebut berujung mangkrak karena kalah dalam gugatan uji materiil di Mahkamah Agung pada tahun 2016.

MA memutuskan Permenperin tersebut bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga tidak sah atau tidak berlaku secara umum. Lima peraturan tersebut yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Belajar dari gugatan di masa lalu, menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah saat ini lebih fokus kepada efektivitas perubahan tarif CHT ketimbang menyusun Peta Jalan CHT. Penetapan tarif CHT ini hendaknya memprioritaskan aspek Kesehatan, setelah itu barulah ke aspek penerimaan negara, tenaga kerja, petani tembakau/cengkeh dan industri rokok.

Menurut Data WHO, tiga juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, penyebab kematian utama di dunia. Kematian tersebut termasuk 890.000 para perokok pasif.

Maka sudah selayaknya CHT ini menjalankan fungsinya sebagai Pigouvian Tax, yaitu pajak atas eksternalitas negatif berupa gangguan Kesehatan yang ditimbulkan. Juga sebagai Control Tax, yaitu pajak untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya bagi anak generasi kita.

Yang menjadi ironi adalah peningkatan tarif CHT pun belum tentu dapat mengendalikan konsumsi rokok. Contoh di tahun 2021 kenaikan tarif CHT rata-rata 12,5% tapi tidak menyebabkan perubahan siginifikan pada harga rokok. Harga rokok masih terjangkau karena kadang dijual di bawah harga eceran yang tertera pada pita cukai.

Selain itu, kalaupun harga rokok naik, para konsumen rokok tetap dapat menjangkaunya dengan kehadiran rokok ilegal. Tentu saja rokok ilegal jauh lebih murah karena biaya produksinya lebih rendah akibat tidak membayar cukai.

Pemerintah juga perlu menjamin agar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DHBCHT) sebagai bentuk earmarking cukai rokok bisa lebih efektif dan tepat sasaran. Pemanfaatan DHBCHT di daerah harus lebih optimal untuk mengatasi dampak buruk rokok. Berdasarkan PMK nomor 206/PMK.07/2020 proporsi DHBCHT untuk Kesehatan hanya sebesar 25%, lebih rendah dari sebelumnya sebesar 50%.

Perubahan tarif CHT juga hendaknya memperhatikan aspek tenaga kerja. Saya sepakat jika CHT untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan di tahun 2022 karena pertimbangan industri ini padat karya yang menyerap sekitar 158 ribu tenaga kerja.

Dalam aspek petani tembakau/cengkeh pemerintah perlu lebih serius dalam melindungi penyedia bahan baku dalam negeri. Selama ini memang pengenaan tarif CHT terhadap rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) lebih tinggi dari rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Hal ini wajar karena SKM lebih banyak menyerap bahan baku lokal ketimbang bahan baku impor seperti SPM. Simplifikasi tarif CHT diperlukan tapi dengan melihat perkembangan pandemi COVID-19 agar tidak terjadi efek ganda antara kenaikan tarif dan simplifikasi.

Jadi, perubahan tarif CHT perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut di atas dengan tetap memprioritaskan aspek kesehatan. Kalaupun Pemerintah akhirnya menyusun Peta Jalan CHT maka pilihan yang logis adalah menjadikan Industri rokok sebagai sunset industry.

Sumber Artikel : detik.news

Selengkapnya
Kenaikan Cukai Rokok dan Peta Jalan CHT

Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

Prospek Industri Minuman Sari Buah Masih Terbuka Luas

Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 01 Agustus 2022


Kementerian Perindustrian terus mendorong pengembangan industri pengolahan buah, termasuk untuk menghasilkan produk minuman. Hal ini sejalan dengan kebijakan hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri sekaligus mendukung program substitusi impor.

 

“Kebijakan hilirisasi yang telah dicanangkan Kemenperin, bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan memperkuat struktur industri, menumbuhkan populasi industri, serta menciptakan lapangan kerja dan peluang usaha,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika di Jakarta, Minggu (26/12).

 

Dirjen Industri Agro mengemukakan, Indonesia sebagai negara tropis, punya potensi besar dalam upaya pengembangan industri berbahan baku buah seperti minuman sari buah, produk buah dalam kaleng, manisan buah, selai dan lain-lain. “Indonesia merupakan salah satu negara produsen buah segar terbesar di dunia dengan produksi mencapai 24,9 juta ton per tahun. Berdasarkan data world fruit map, Indonesia menempati posisi ke-8 di dunia,” ungkapnya.

 

Dengan produksi buah segar yang besar tersebut, menurut Putu, pengembangan usaha industri pengolahan buah di tanah air masih prospektif ke depannya. Artinya, peluang sektor hulu ini perlu dioptimalkan dengan mendorong tumbuhnya industri antara sampai hilir.

 

“Kebutuhan sektor industri hilir terhadap buah segar masih sangat tinggi, karena permintaan pasar khususnya di domestik, juga masih sangat tinggi. Untuk itu, perlu diperkuat peran industri antara yang menghasilkan konsentrat atau puree buah sebagai penghasil bahan baku untuk industri hilir,” paparnya.

 

Saat ini, di Indonesia terdapat enam industri pengolahan buah antara skala kecil dan menengah, dengan total kapasitas produksi sebasar 5.500 ton per tahun. Sementara itu, di sektor hilirnya, terdapat 41 perusahaan dengan total kapasitas produksi mencapai 430.000 ton per tahun, yang telah memberikan kontribusi terhadap devisa melalui total nilai ekspornya sebesar USD280 juta.

 

“Kami sedang fokus untuk menekan impor produk antara, dengan turut memacu kualitas buah segar lokal dan meningkatkan produktivitas sektor hulu serta mendorong peningkatan kapasitas industri antara, termasuk juga terus memberdayakan peran dari koperasi sebagai mitra industri pengolahan buah,” tutur Putu.

 

Sejumlah langkah strategis yang perlu dijalankan untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan buah, antara lain mengelola kestabilan produktivitas dan pasokan bahan baku yang berkualitas, tersedianya infrastruktur daerah penghasil hortikultura agar biaya logistik lebih efisien, serta dibutuhkan infrastruktur pasca-panen seperti cold storage, rumah pengemasan, dan gudang buah segar.

 

“Kami juga mendorong industri pengolahan buah dapat mengadopsi teknologi digital dalam proses produksinya sehingga dapat meningkatkan kapasitas dan daya saingnya. Hal ini sesuai dengan peta jalan Making Indonesia 4.0, di mana industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor yang mendapatkan prioritas pengembangan dalam implementasi industri 4.0,” jelasnya.

 

Dirjen Industri Agro optimistis, apabila upaya tersebut berjalan baik, selain bisa meningkatkan kinerja industri pengolahan buah, juga akan mendongkrak pendapatan para petani serta dapat menumbuhkan wirausaha baru. “Apalagi, industri pengolahan buah dan diversifikasi produknya sudah mulai berkembang, dengan penambahan nutrisi dan berbagai vitamin pada produk tersebut,” imbuhnya.

 

Konsumsi minuman sari buah

 

Bahkan, seiring meningkatnya penghasilan dan kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup sehat, konsumsi produk olahan buah di dalam negeri ikut melonjak, termasuk di masa pandemi saat ini yang juga menjadikan berkah bagi industri minuman sari buah. Hal ini seperti dialami oleh PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co, Tbk.

 

“Kami mengapresiasi PT Ultrajaya yang selama ini telah memproduksi produk olahan minuman sari buah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang begitu besar. Upaya ini juga membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Dirjen Industri Agro saat melakukan kunjungan kerja di PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co, Tbk. Bandung, beberapa waktu lalu.

 

PT Ultrajaya menghasilkan berbagai produk minuman seperti susu cair, sari buah, teh, minuman tradisional, dan minuman kesehatan. Di samping itu, perusahaan juga memproduksi krim kental manis, susu bubuk dan sari buah yang berbahan baku puree dan konsentrat buah-buahan.

 

Dalam proses produksinya, PT Ultrajaya telah menerapkan teknologi industri 4.0 untuk meningkatkan produktivitas secara lebih efisien dan menjaga higienis produknya. Minuman jus yang dihasilkan, terbuat dari olahan buah segar dan melalui penggunaan teknologi Ultra High Temperature (UHT) dan dikemas secara aseptis. Dengan teknologi UHT, jus sari buah produksi PT Ultrajaya tidak membutuhkan bahan pengawet dan dapat tahan lama.

 

PT Ultrajaya juga menjadi produsen terbesar susu UHT di Indonesia, dengan pangsa pasar sebesar 39,3% dalam produk-produk susu cair UHT. Selain itu, untuk pangsa pasar produk teh siap diminum sebesar 77,3%. “Produk-produk tersebut telah diekspor ke beberapa negara di Asia, Timur Tengah, Pacific Island, Nigeria, Australia dan Amerika Serikat,” kata Manager Purchasing PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co, Tbk., Reza Karyadi.

 

PT Ultrajaya sedang melakukan tahap pembangunan pabrik dan gudang yang berlokasi di Bandung. Selain itu, proyek lainnya juga berlangsung di kawasan industri MM2100, Cikarang. Kedua proyek ini merupakan bagian dari upaya PT Ultrajaya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan gudang, serta pusat distribusi. Untuk proyek di MM2100 telah dimulai pada tahun ini dan akan berjalan hingga 2023, dengan total nilai investasi sebesar Rp1,2 triliun.

 

Lebih lanjut, meskipun penjualan pada tahun 2020 terkena dampak berat akibat pandemi Covid-19, PT Ultrajaya telah melihat perkembangan yang positif di tahun 2021 dan percepatan pertumbuhan dalam beberapa bulan terakhir ini.

 

Berdasarkan laporan keuangan periode semester I 2021, PT Ultrajaya meraih penjualan Rp3,06 triliun, naik 2% dari Rp3,00 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya. Kemudian, laba tahun berjalan yang diatribusikan ke pemilik entitas induk tercatat Rp660,29 miliar naik 11,84% dari laba Rp590,36 miliar tahun sebelumnya.

 

Pada kunjungan kerjanya di Bandung, Dirjen Industri Agro juga meninjau perkebunan buah rakyat yang bermitra dengan CV. Anugrah Paris Van Java. Perusahaan ini akan membantu para petani buah untuk menyalurkan hasil panennya ke industri minuman sari buah. Perusahaan sektor antara ini telah bermitra dengan ratusan petani buah lokal dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Peningkatan serapan buah segar akan meningkatkan kesejahteraan para petani buah lokal.


Sumber Artikel : Kemenperin.go.id

Selengkapnya
Prospek Industri Minuman Sari Buah Masih Terbuka Luas
page 1 of 1