Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 02 Maret 2022
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikrob dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposanadalah proses di mana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikrob-mikrob yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Kompos bisa digunakan sebagai mulsa organik serpihan kecil penutup permukaan lahan, gambut dapat pula diolah menjadi kompos, kompos dapat mengandung atau menjadi humus setelah terurai.
Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana ke udara. DKI Jakarta menghasilkan 6000 ton sampah setiap harinya, di mana sekitar 65%-nya adalah sampah organik. Dan dari jumlah tersebut, 1400 ton dihasilkan oleh seluruh pasar yang ada di Jakarta, di mana 95%-nya adalah sampah organik. Melihat besarnya sampah organik yang dihasilkan oleh masyarakat, terlihat potensi untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk organik demi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat (Rohendi, 2005).
Kompos dari sampah dedaunan
Kompos dari jerami padi
Pendahuluan
Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikrob maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi. Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan perkebunan.
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain: PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganism) atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri.
Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik.
Hasil akhir dari pengomposan ini merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan tanah-tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah dapat digunakan untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian, menggemburkan kembali tanah petamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA, eklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia.
Bahan baku pengomposan adalah semua material yang mengandung karbon dan nitrogen, seperti kotoran hewan, sampah hijauan, sampah kota, lumpur cair dan limbah industri pertanian. Berikut disajikan bahan-bahan yang umum dijadikan bahan baku pengomposan.
Jenis-jenis kompos
Manfaat Kompos
Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikrob tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikrob ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah. Aktivitas mikrob tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit.
Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, seperti menjadikan hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
Aspek Ekonomi:
Aspek Lingkungan:
Aspek bagi tanah/tanaman:
Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologis tanah adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga memengaruhi serapan hara oleh tanaman (Gaur, 1980).
Beberapa studi telah dilakukan terkait manfaat kompos bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Penelitian Abdurohim, 2008, menunjukkan bahwa kompos memberikan peningkatan kadar Kalium pada tanah lebih tinggi daripada kalium yang disediakan pupuk NPK, namun kadar fosfor tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan NPK. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman yang ditelitinya ketika itu, caisin (Brassica oleracea), menjadi lebih baik dibandingkan dengan NPK.
Hasil penelitian Handayani, 2009, berdasarkan hasil uji Duncan, pupuk cacing (vermicompost) memberikan hasil pertumbuhan yang terbaik pada pertumbuhan bibit Salam (Eugenia polyantha Wight) pada media tanam subsoil. Indikatornya terdapat pada diameter batang, dan sebagainya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk anorganik tidak memberikan efek apapun pada pertumbuhan bibit, mengingat media tanam subsoil merupakan media tanam dengan pH yang rendah sehingga penyerapan hara tidak optimal. Pemberian kompos akan menambah bahan organik tanah sehingga meningkatkan kapasitas tukar kation tanah dan memengaruhi serapan hara oleh tanah, walau tanah dalam keadaan masam.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor menyebutkan bahwa kompos bagase (kompos yang dibuat dari ampas tebu) yang diaplikasikan pada tanaman tebu (Saccharum officinarum L) meningkatkan penyerapan nitrogen secara signifikan setelah tiga bulan pengaplikasian dibandingkan degan yang tanpa kompos, namun tidak ada peningkatan yang berarti terhadap penyerapan fosfor, kalium, dan sulfur. Penggunaan kompos bagase dengan pupuk anorganik secara bersamaan tidak meningkatkan laju pertumbuhan, tinggi, dan diameter dari batang, namun diperkirakan dapat meningkatkan rendemen gula dalam tebu.
Dasar-dasar Pengomposan
Bahan-bahan yang Dapat Dikomposkan
Pada dasarnya semua bahan-bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya: limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasar/kota, kertas, kotoran/limbah peternakan, limbah-limbah pertanian, limbah-limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit, dll. Bahan organik yang sulit untuk dikomposkan antara lain: tulang, tanduk, dan rambut. Bahan yang paling baik menurut ukuran waktu, untuk dibuat menjadi kompos dinilai dari rasio karbon dan nitrogen di dalam bahan / material organik seperti limbah pertanian: ampas tebu dan kotoran ternak serta tersebut di atas. Bahan organik yang telah disusun oleh Sinaga dkk. (2010) dari berbagai campuran dengan nilai rasio C/N = 35,68 dan kondisi kandungan airnya 50,37%, waktu dekomposisi diperoleh terpendek 28 hari dibanding lainnya.
Proses Pengomposan
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikrob mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50 - 70 oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikrob yang aktif pada kondisi ini adalah mikrob Termofilik, yaitu mikrob yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikrob-mikrob di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.
Skema Proses Pengomposan Aerobik
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, di mana mikrob menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S.
Gambar profil suhu dan populasi mikrob selama proses pengomposan
Tabel organisme yang terlibat dalam proses pengomposan
Proses pengomposan tergantung pada:
Faktor yang memengaruhi proses Pengomposan
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.
Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:
Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikrob memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikrob mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikrob akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
Umumnya, masalah utama pengomposan adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik (Toharisman, 1991) atau dengan menambahkan kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak senyawa nitrogen.
Ukuran Partikel
Aktivitas mikrob berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikrob dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan(kelembapan). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
Porositas
Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
Kelembaban (Moisture content)
Kelembapan memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikrob dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembapan 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikrob. Apabila kelembapan di bawah 40%, aktivitas mikrob akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembapan 15%. Apabila kelembapan lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikrob akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktivitas mikrob. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikrob dan hanya mikrob thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikrob-mikrob patogen tanaman dan benih-benih gulma.
pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikrob selama proses pengomposan.
Kandungan Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikrob. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.
Tabel Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan (Ryak, 1992)
Strategi Mempercepat Proses Pengomposan
Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
Memanipulasi Kondisi Pengomposan
Strtegi ini banyak dilakukan di awal-awal berkembangnya teknologi pengomposan. Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor lainnya.
Menggunakan Aktivator Pengomposan
Strategi yang lebih maju adalah dengan memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan. Organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing tanah. Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikrob, baik bakeri, aktinomicetes, maupuan kapang/cendawan. Saat ini dipasaran banyak sekali beredar aktivator-aktivator pengomposan, misalnya:MARROS Bio-Activa,Green Phoskko(GP-1), Promi, OrgaDec, SuperDec, ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, BioPos, dan lain-lain.
Promi, OrgaDec, SuperDec, dan ActiComp adalah hasil penelitian Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) dan saat ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sementara MARROS Bio-Activa dikembangkan oleh para peneliti mikrob tanah yang tergabung dalam sebuah perusahaan swasta. Aktivator pengomposan ini menggunakan mikrob-mikrob terpilih yang memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi limbah-limbah padat organik, yaitu: Trichoderma pseudokoningii, Cytopaga sp, Trichoderma harzianum, Pholyota sp, Agraily sp dan FPP (fungi pelapuk putih). Mikrob ini bekerja aktif pada suhu tinggi (termofilik). Aktivator yang dikembangkan oleh BPBPi tidak memerlukan tambahan bahan-bahan lain dan tanpa pengadukan secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup untuk mempertahankan suhu dan kelembapan agar proses pengomposan berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk bahan-bahan lunak/mudah dikomposakan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit dikomposkan.
Memanipulasi Kondisi dan Menambahkan Aktivator Pengomposan
Strategi proses pengomposan yang saat ini banyak dikembangkan adalah mengabungkan dua strategi di atas. Kondisi pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan aktivator pengomposan.
Pertimbangan untuk menentukan strategi pengomposan
Seringkali tidak dapat menerapkan seluruh strategi pengomposan di atas dalam waktu yang bersamaan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengomposan:
Pengomposan secara aerobik
Peralatan
Peralatan yang dibutuhkan dalam pengomposan secara aerobik terdiri dari peralatan untuk penanganan bahan dan peralatan perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi pekerja. Berikut disajikan peralatan yang digunakan.
Kompos Bahan Organik dan Kotoran Hewan
Pengomposan dapat juga menggunakan alat mesin yang lebih maju dan modern. Komposter type Rotary Kiln, misalnya, berfungsi dalam memberi asupan oksigen ( intensitas aerasi), menjaga kelembapan, suhu serta membalik bahan secara praktis. Komposter type Rotary Klin di pasaran terdapat dengan kapasitas 1 ton setara 3 m3 hingga 2 ton atau setara 6 m3 bahan sampah, menggunakan proses pembalikan bahan dan mengontrol aerasi dengan cara mengayuh pedal serta memutar aerator ( exhaust fan). Penggunaan komposter Biophoskko disertai aktivator kompos Green Phoskko (GP-1) telah mampu meningkatkan kerja penguraian bahan organik(dekomposisi) oleh jasad renik menjadi 5 sampai 7 hari saja.
Tahapan pengomposan
Kontrol proses produksi kompos
Proses pengontrolan
Proses pengontrolan yang harus dilakukan terhadap tumpukan sampah adalah:
Mutu kompos
Sumber Artikel: Wikipedia.org
Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 02 Maret 2022
Insinerasi atau pembakaran sampah (bahasa Inggris: incineration) adalah teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik. Insinerasi dan pengolahan sampah bertemperatur tinggi lainnya didefinisikan sebagai pengolahan termal. Insinerasi material sampah mengubah sampah menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan harus dibersihkan dari polutansebelum dilepas ke atmosfer. Panas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai energipembangkit listrik.
Insinerasi dengan energy recovery adalah salah satu teknologi sampah-ke-energi(waste-to-energy, WtE). Teknologi WtE lainnya adalah gasifikasi, pirolisis, dan fermentasi anaerobik. Insinerasi juga bisa dilakukan tanpa energy recovery. Insinerator yang dibangun beberapa puluh tahun lalu tidak memiliki fasilitas pemisahan material berbahaya dan fasilitas daur ulang. Insinerator ini dapat menyebabkan bahaya kesehatan terhadap pekerja insinerator dan lingkungan sekitar karena tingginya gas berbahaya dari proses pembakaran. Kebanyakan insinerator jenis ini juga tidak menghasilkan energi listrik.
Insinerator mengurangi volume sampah hingga 95-96%, tergantung komposisi dan derajat recovery sampah. Ini berarti insinerasi tidak sepenuhnya mengganti penggunaan lahan sebagai area pembuangan akhir, tetapi insinerasi mengurangi volume sampah yang dibuang dalam jumlah yang signifikan.
Insinerasi memiliki banyak manfaat untuk mengolah berbagai jenis sampah seperti sampah medis dan beberapa jenis sampah berbahaya di mana patogen dan racun kimia bisa hancur dengan temperatur tinggi.
Insinerasi sangat populer di beberapa negara seperti Jepang di mana lahan merupakan sumber daya yang sangat langka. Denmark dan Swedia telah menjadi pionir dalam menggunakan panas dari insinerasi untuk menghasilkan energi. DI tahun 2005, insinerasi sampah menghasilkan 4,8% energi listrik dan 13,7% panas yang dikonsumsi negara itu. Beberapa negara lain di Eropa yang mengandalkan insinerasi sebagai pengolahan sampah adalah Luksemburg, Belanda, Jerman, dan Prancis.
Tipe insinerator
Insinerator adalah tempat untuk pembakaran sampah. Insinerator modern memiliki fasilitas mitigasi polusi seperti pembersihan gas. Terdapat beberapa tipe insinerator: piringan bergerak, piringan tidak bergerak, rotary kiln, dan fluidised bed
Piringan bergerak
Sampah padat sedang dibakar di atas piringan bergerak.
Salah satu jenis insinerator adalah piringan bergerak (moving grate). Insinerator jenis ini memungkinkan pemindahan sampah ke ruang pembakaran dan memindahkan sisa hasil pembakaran tanpa mematikan api. Satu wadah piringan bergerak dapat membakar 35 metrik ton sampah perjam. Jenis insinerator ini dapat bergerak ribuan jam pertahun dengan hanya satu kali berhenti, yaitu pada saat inspeksi dan perawatan.
Sampah diintroduksi ke "mulut" insinerator, dan pada lubang di ujung lainnya sisa hasil pembakaran dikeluarkan. Udara yang dipakai dalam proses pembakaran disuplai melalui celah piringan. Aliran udara ini juga bertujuan untuk mendinginkan piringan tersebut. Beberapa jenis insinerator piringan bergerak juga memiliki sistem air pendingin di dalamnya.
Suplai udara pembakaran sekunder dilakukan dengan memompa udara menuju bagian atas piringan. Jika dilakukan dengan kecepatan tinggi, hal ini dapat memicu turbulensi yang memastikan terjadinya pembakaran yang lebih baik dan surplus oksigen. Turbulensi ini juga penting untuk pengolahan gas sisa hasil pembakaran sampah.
Fasilitas insinerasi harus didesain untuk memastikan bahwa gas sisa hasil pembakaran mencapai temperatur 850 oC selama dua detik untuk memecah racun kimia organik. Untuk lebih memastikan hal tersebut, biasanya diperlengkapi dengan pembakar yang pada umumnya memakai bahan bakar minyak, yang lalu dibakar ke insinerasi untuk mendapatkan panas yang memadai.
Gas sisa hasil pembakaran lalu didinginkan. Panas yang ada ditransfer menjadi uap dengan memaparkannya pada sistem pompa air. Uap ini lalu digunakan untuk menggerakkan turbin. Gas yang telah melalui pendinginan dipompakan ke fasilitas sistem pembersihan.
Piringan tetap
Ini adalah tipe yang lebih tua dan sederhana. Piringan tetap yang tidak bergerak berada di bagian bawah insinerator dengan bukaan pada bagian atas atau samping untuk memasukan sampah dan bukaan lainnya untuk memindahkan bahan yang tidak terbakar (abu, logam, dan sebagainya).
Penggunaan panas
Panas yang diproduksi oleh insinerator bisa digunakan untuk membuat uap yang bisa dipakai untuk menggerakkan turbin dengan maksud menghasilkan listrik. Total energi bersih yang dihasilkan dari satu ton sampah adalah 3 MWh panas dan 2/3 MWh energi listrik.
Untuk panas pembakaran pada insinerator menurut Amdal ada beberapa parameter yang mesti di perhatikan, yang pertama ialah efisiensi panas 40-80 %, kehilangan panas 19-55 % dan konsumsi bahan bakar 40-90%. Hal ini di utamakan nuntuk tercapainya proses degradasi sampah yang optimal.
Polusi
Insinerasi memiliki sejumlah output seperti abu dan emisi ke atmosfer berupa gas sisa hasil pembakaran. Sebelum melewati fasilitas pembersihan gas, gas-gas tersebut mungkin mengandung partikulat, logam berat, dioksin, furan, sulfur dioksida, dan asam hidroklorat.
Dalam sebuah penelitian tahun 1994, Delaware Solid Waste Authority menemukan bahwa untuk sejumlah energi yang sama yang dihasilkan, insinerator menghasilkan hidrokarbon, SO2, HCl, CO, dan NOx lebih sedikit dibandingkan pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara, tetapi lebih banyak daripada pembangkit listrik dengan bahan bakar gas alam.
Umumnya, pemecahan dioksin membutuhkan temperatur tinggi untuk memicu pemecahan termal terhadap ikatan molekular. Pembakaran plastik yang tidak mencapai temperatur yang diperlukan akan melepaskan dioksin dalam jumlah signifikan ke udara.
Insinerator modern didesain untuk mencapai pembakaran dengan suhu tinggi. Biasanya dilengkapi dengan pembakar yang memakai bahan bakar minyak. Temperatur yang dibutuhkan adalah 850 oC dalam waktu setidaknya dua detik guna memecah dioksin.
Emisi gas lainnya adalah CO2 sebagai hasil dari proses pembakaran sempurna. Pada temperatur ruang dan tekanan atmosfer, satu ton sampah padat dapat menghasilkan 1 ton gas CO2. Jika sampah dibuang ke lahan pembuangan, satu ton sampah padat dapat menghasilkan 62 meter kubik metana karena dekomposisi anaerobik. Metana sejumlah ini memiliki efek rumah kaca dua kali lebih berbahaya daripada 1 ton CO2.
Bahan beracun lainnya yang keluar dari gas yang dihasilkan dari sisa pembuangan di antaranya sulfur dioksida, asam hidroklorat, logam berat, dan partikel halus. Uap yang terkandung dalam gas menciptakan bagian yang dapat terlihat dari gas yang umumnya transparan sehingga menyebabkan polusi dapat terlihat.
Pembersihan gas sisa pembakaran yang dapat berpotensi menjadi polutan dilakukan melalui berbagai proses. Partikulat dikumpulkan dengan filtrasi partikel yang pada umumnya berupa electrostatic precipitator dan/atau baghouse filter. Yang terakhir umumnya sangat efisien untuk mengumpulkan partikel halus. Dalam penelitian oleh kementrian lingkungan hidup Denmark pada tahun 2006, rata-rata emisi partikulat per energi yang dihasilkan oleh sampah yang dibakar berada di bawah 2,02 gram per Giga Joule.
Pembersih gas asam digunakan untuk menghilangkan asam hidroklorat, asam nitrat, asam hidrofluorat, merkuri, timbal, dan logam berat lainnya. Sulfur dioksida dapat dihilangkan dengan desulfurisasi menggunakan cairan limestone yang diinjeksikan ke gas sisa hasil pembakaran sebelum menuju ke filtrasi partikel.
Gas NOx adalah gas lainnya yang harus direduksi dengan katalis amonia di konverter katalitik atau dengan reaksi bertemperatur tinggi dengan amonia. Logam berat diadsorpsi dengan bubuk karbon aktif yang lalu dikumpulkan di filtrasi partikel.
Insinerasi juga memproduksi abu ringan yang dapat bercampur dengan udara di atmosfer dan abu padat, sama seperti ketika batu bara dibakar. Total abu yang dirpoduksi berkisar antara 4-10% volume dan 15-20% massa sampah sebelum dibakar. Abu ringan berkontribusi lebih pada potensi gangguan kesehatan karena dapat berbaur pada udara dan berisiko terhirup paru-paru. Berbeda dengan abu padat, abu ringan mengandung konsentrasi logam berat (timbal, kadmium, tembaga, dan seng) lebih banyak daripada abu padat namun lebih sedikit kandungan dioksin dan furan. Abu padat jarang mengandung logam berat dan tidak dikategorikan sebagai sampah berbahaya sehingga aman untuk dibuang ke lahan pembuangan sampah. Namun perlu diperhatikan agar pembuangan abu padat tidak mengganggu keadaan air tanah karena abu padat dapat terserap ke dalam tanah.
Polusi lainnya adalah bau, tetapi bau dan debu telah ditangani dengan baik pada fasilitas insinerasi terbaru. Sampah diterima dan disimpan dalam ruangan bertekanan udara rendah dengan aliran udara menuju ke dalam ruang pembakaran sehingga sangat kecil kemungkinan bau akan lepas menuju atmosfer dan menimbulkan ketidaknyamanan pada lingkungan sekitar.
Argumen positif insinerasi
Argumen negatif insinerasi
Sumber Artikel: Wikipedia.org
Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 02 Maret 2022
Tempat Pembuangan Akhir (disingkat TPA) adalah tempat untuk menimbun sampah dan merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. Pada kenyataannya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPA seharusnya merupakan singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir dan menerima sampah residu yang telah diproses sebelumnya. Tujuannya adalah untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan
TPA dapat berbentuk tempat pembuangan dalam (di mana pembuang sampah membawa sampah di tempat produksi) begitu pun tempat yang digunakan oleh produsen. Dahulu, TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan terorganisir dan tetap begitu di sejumlah tempat di dunia.
Sejumlah dampak negatif dapat ditimbulkan dari keberadaan TPA. Dampak tersebut bisa beragam: musibah fatal (misalnya, burung bangkai yang terkubur di bawah timbunan sampah); kerusakan infrastruktur (misalnya, kerusakan ke akses jalan oleh kendaraan berat); pencemaran lingkungan setempat (seperti pencemaran air tanah oleh kebocoran dan pencemaran tanah sisa selama pemakaian TPA, begitupun setelah penutupan TPA); pelepasan gas metana yang disebabkan oleh pembusukan sampah organik(metana adalah gas rumah kaca yang berkali-kali lebih potensial daripada karbon dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu tempat); melindungi pembawa penyakit seperti tikus dan lalat, khususnya dari TPA yang dioperasikan secara salah, yang umum di Dunia Ketiga; jelas pada margasatwa; dan gangguan sederhana (misalnya, debu, bau busuk, kutu, atau polusi suara).
Sumber Artikel: Wikipedia.org
Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 02 Maret 2022
Skema pengumpulan terpisah (separate collection scheme) adalah sistematika pembuangan sampah yang secara disiplin diterapkan, terutama di Jerman, agar sampah dipilah berdasarkan jenisnya untuk memudahkan proses pengolahan lebih lanjut sehingga dapat memberi manfaat.
Jerman merupakan negara penghasil sampah perkotaan terbesar ketiga di Eropa, namun Jerman menaruh perhatian yang besar terhadap pengelolaannya, ditandai dengan tingginya tingkat pengolahan sampah, yakni sebesar 47% yang didaur-ulang, 17% dijadikan kompos, 35% dibakar, dan hanya 1% sampah yang dibuang di tempat pembuangan akhir/TPA (landfill).
Inisiasi kebijakan
Pengelolaan sampah di Jerman merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah nasional, pemerintah federal, dan pemerintah lokal. Kementerian lingkungan nasional Jerman memberikan arahan prioritas dan rancangan perundang-undangan nasional, mengawasi perencanaan dan informasi strategis, serta memberikan penjabaran terkait persyaratan pada fasilitas pembuangan sampah. Sejalan dengan perundangan nasional, pemerintah federal Jerman mempunyai langkah mereka sendiri dalam pengelolaan dan pembuangan sampah. Di tingkat regional, perencanaan pengelolaan sampah juga dikeluarkan oleh pemerintah lokal- distrik dan kota- yang bertanggung jawab terhadap sampah rumah tangga di bawah peraturan Recycling Management and Waste Act (pengelolaan daur-ulang dan sampah). Termasuk di dalam peraturan tersebut pengumpulan, pengangkutan, himbauan dalam pengurangan dan pembaruan sampah, serta pembangunan dan pengoperasian fasilitas pembuangan sampah.
Legislasi pusat mengenai tata kelola sampah di seluruh Jerman diatur dalam Waste Management Act 2012(pengelolaan sampah 2012). Undang-undang ini menjelaskan hierarki sampah kepada orang-orang Jerman, dimulai dari pencegahan, penggunaan kembali, pendauran-ulang serta pembaruan, dan yang terakhir pembuangan sampah. Praktik pengelolaan sampah di Jerman bertujuan untuk meminimalkan terbentuknya sampah dan memaksimalkan daur-ulang dengan memastikan sisa sampah apapun yang dibuang, dilakukan dengan tepat. Pemerintah federal mengembangkan peraturan untuk wilayah mereka masing-masing dengan menurunkan pokok-pokok dari perundang-undangan pusat tersebut. Berdasarkan Agen perlindungan lingkungan Jerman, Umweltbundesamt (UBA), pemerintah federal memiliki kekuasaan hukum hanya pada area yang belum diatur oleh pemerintah nasional. Pada basis pengelolaan sampah ini peraturan pemerintah federal hanya menyampaikan bentuk implementasi tata kelola sampah, seperti mengidentifikasi pihak yang berwenang atau pihak yang harus memenuhi dan mengembangkan peraturan pembuangan sampah kota tersebut.
Jerman merupakan negara pertama di Eropa yang memperkenalkan kebijakan pembatasan tempat pembuangan akhir/TPA sampah pada tahun 1990. Skema pengumpulan sampah terpisah berdasarkan jenis sampah juga terdapat di dalam kebijakan pembatasan TPA tersebut. Waste Framework Directive(WFD), peraturan perundang-undangan terkait sampah yang dikeluarkan Persatuan Eropa (European Union) mengemukakan sistem pengumpulan sampah terpisah, sekurangnya untuk jenis kertas, logam, plastik, dan kaca, pada tahun 2015. Jerman mengoperasikan sistem pengumpulan sampah terpisah seperti yang dijelaskan dalam WFD, ditambah dengan jenis sampah organik (bio-waste). Lebih jauh lagi, orang Jerman di bawah sejumlah perundangan dan peraturan, juga melakukan pengumpulan sampah terpisah untuk baju dan sepatu bekas, bungkus kemasan, sampah listrik dan elektronik, baterai, dan jenis sampah/limbah berbahaya.
Latar belakang
Tata pelaksanaan pengumpulan sampah secara terpisah sudah sangat jelas bagi orang Jerman. Hal ini merupakan hasil perjalanan panjang di bidang pengelolaan, teknologi, serta peraturan terkait sampah yang terjadi di negara tersebut. Kerangka hukum mengenai pengelolaan sampah di Jerman bermula di awal abad ke-19, ketika beberapa wilayah mulai mengadopsi peraturan tentang pembuangan sampah. Sebagai hubungan sebab akibat antara kurangnya kebersihan kota dan penyebaran penyakit seperti kolera yang semakin menjadi, orang Jerman mulai memahami pentingnya susunan saluran jalan air/drainase dan sistem pembuangan sampah, yang akhirnya bermuara pada diterapkannya peraturan mengenai perihal tersebut oleh pihak berwenang di tingkat pemerintahan.
Peraturan pembuangan sampah nasional Jerman yang pertama kali dibuat pada tahun 1972 telah beberapa kali mengalami amendemen dan penyesuaian, hingga sampai pada peraturan pengelolaan sampah yang berlaku saat ini, yakni kreislaufwirtschaftsgesetz (KrWG). Pengelolaan sampah yang berlaku saat ini di Jerman telah berubah signifikan dibandingkan masa permulaannya, dari pengelolaan yang sepenuhnya hanya berupa pembuangan ke sepenuhnya pengelolaan, dimana sampah benar-benar diolah. Perubahan tersebut membutuhkan proses yang sangat panjang karena melibatkan perubahan pada paradigma orang Jerman. Pengelolaan sampah di Jerman kini bertujuan untuk mempertahankan sumber-sumber alam, mengolah sampah dengan cara yang ramah terhadap lingkungan, yang disertai upaya penguatan dalam keberlanjutan lingkungan, serta perlindungan iklim dan efisiensi sumber-sumber alam.
Pola pemilahan
Pengelolaan sampah di Jerman merupakan yang paling efisien di Eropa dan masing-masing warga di Jerman terikat untuk melakukan pengumpulan sampah terpisah. Di tiap awal tahun, pemerintah mengirimkan buku kecil terpersonalisasi kepada setiap rumah tangga, dimana informasi waktu mengenai pengangkutan untuk segala jenis sampah terdapat didalamnya.
Pola pemilahan dilakukan menggunakan bermacam-macam tempat sampah dengan warna yang berbeda-beda, yang dapat dijumpai di sekitar kawasan tempat bermukim, kampus atau sekolah, serta area-area publik yang ramai dikunjungi, misalnya stasiun kereta api. Warna-warna tempat sampah dapat pula berbeda di tiap distrik di Jerman, namun deskripsi umum mengenai warna tempat sampah yang membedakan jenis sampah yang ada di dalamnya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sampah botol berjaminan
Botol yang memiliki uang jaminan ialah dari jenis botol (baik dari bahan plastik maupun kaca) yang dapat dipakai ulang (biasanya untuk minuman). Sampah botol yang memiliki jaminan ini dalam bahasa Jerman disebut pfandflaschen. Sampah jenis ini tidak dibuang di tempat sampah kuning atau di tempat sampah botol kaca, tetapi dibawa ke tempat pengembalian botol (biasanya terdapat di pasar swalayan) untuk ditukar dengan uang jaminan. Uang jaminan untuk sampah botol kaca ialah sebesar delapan sen per botol dan untuk sampah botol plastik sebesar sepuluh sen per botol. Orang Jerman sangat menyukai air minum dalam kemasan botol, yang karenanya dapat menghasilkan sampah botol dalam jumlah yang sangat banyak. Bila sampah botol tersebut merupakan sampah botol berjaminan, tentu akan menjadi kegiatan yang memakan waktu dalam pengembaliannya ke tempat pengembalian untuk mendapatkan uang jaminan. Terutama untuk daerah perkotaan, bila tidak ada cukup waktu untuk mengembalikan sampah-sampah botol berjaminan ke tempat pengembalian, namun menginginkan agar sampah-sampah botol berjaminan tersebut segera pergi, maka sampah-sampah botol berjaminan itu dapat dibawa ke area dekat tempat sampah umum dan diletakkan di luar tempat sampah umum tersebut. Para pengumpul sampah botol berjaminan akan bergembira dengan hal itu. Mereka akan membawa semua sampah-sampah botol berjaminan yang ditinggalkan orang ke tempat pengembalian untuk kemudian mendapat uang jaminan atas botol-botol tersebut. Di kota Karlsruhe bahkan disediakan yang disebut cincin pintar sebagai tempat khusus untuk menaruh sampah botol berjaminan agar memudahkan pekerjaan para pengumpul.
Sampah organik
Penerapan pengolahan sampah terbaru di Jerman ialah dalam pemisahan pembuangan sampah organik sejak tahun 2015 di bawah peraturan sampah organik (Bio-waste Ordinance). Di bawah peraturan tersebut, tempat sampah khusus sampah organik disediakan untuk seluruh rumah/tempat tinggal di Jerman. Pembuangan sampah kebun dan sampah makanan dilakukan di tempat sampah organik yang berbeda, dengan memastikan hanya sampah terurai dengan kadar pengotor yang rendah yang digunakan sebagai sumber material pupuk setelah proses fermentasiannya. Tujuannya ialah untuk mendaur-ulang material organik dan untuk menghindari akumulasi pengotor di tanah. Kementerian lingkungan nasional Jerman menyampaikan bahwa kompos yang diperoleh dari tempat sampah organik mengandung pengotor yang 95% lebih sedikit dibandingkan kompos yang dihasilkan dari sampah rumah tangga berbagai campuran.
Schuch dan Morscheck menambahkan, pemisahan pada jenis sampah organik menghasilkan kompos berkualitas tinggi yang sangat cocok untuk keperluan pertanian dan perkebunan. Pemisahan pada jenis sampah kompos juga membantu proses pemilahan, pendauran-ulang, dan insinerasi menjadi lebih efisien karena tiap jenis sampah kompos memiliki karakteristik yang berbeda. Sampah terurai yang berada di TPA, menurut Schuch dan Morscheck, merupakan faktor utama pembentuk gas metana yang membawa efek rumah kaca. Pendauran-ulang kompos dan pembaruan sampah organik merupakan bentuk sumbangan terhadap konservasi sumber daya energi, serta upaya perlindungan terhadap iklim.
Sampah organik atau biomull dimasukkan ke dalam tempat sampah berwarna coklat atau hijau. Termasuk ke dalam sampah yang dibuang ke tempat sampah coklat atau hijau ialah sisa makanan, sampah sayur dan buah-buahan, kulit telur, kulit kacang, ampas kopi, kantung teh, dan sampah kebun seperti tumbuh-tumbuhan dan potongan rumput. Kertas yang digunakan untuk membungkus makanan atau yang digunakan untuk membersihkan sisa makanan juga termasuk dalam kelompok ini. Oleh sebab itu, kotak pizza dan piring kertas untuk kentang goreng tidak termasuk sampah kertas yang dibuang di tempat sampah biru, tetapi dibuang di tempat sampah coklat atau hijau ini.
Kotoran endapan
Kotoran endapan, termasuk juga kotoran domestik, di tempat pengolahannya, diketahui mengandung fosfor- material yang telah dinyatakan oleh European Commission (komisi eropa) sebagai material rawan- dalam kadar yang sangat tinggi. Berdasarkan data dari kementerian lingkungan nasional Jerman, separuh dari kotoran endapan di perkotaan telah diproses dan digunakan sebagai pupuk untuk pertanian dan pertamanan (landscaping). Selebihnya sisa kotoran endapan digunakan sebagai bahan bakar sekunder di tempat pengolahannya, campuran bahan semen, atau dibuang di TPA. Teknik pengelolaan berkelanjutan untuk mengolah kotoran endapan ini dikembangkan pemerintah Jerman di bawah sebuah program yang bernama Resource Efficiency Programme/ProgRess (program sumber efisiensi).
Insinerasi
Pembakaran sampah dilakukan setelah aktivitas pencegahan dan pendauran-ulang diupayakan. Tempat pembakaran sampah atau insinerator mengubah sampah menjadi energi melalui proses pembakaran yang menghasilkan energi berupa listrik, air dan uap panas. Listrik yang dihasilkan insinerator ini dialirkan ke jaringan untuk kemudian didistribusikan kepada pengguna akhir. Air panas dapat dikirim ke jaringan distrik pemanas atau pendingin untuk memanaskan atau mendinginkan rumah, rumah sakit, kantor, dll., sedangkan uap panas dapat digunakan pihak industri terdekat untuk digunakan dalam kegiatan produksi mereka.
Tata-tertib
Setiap kota mempunyai sistem pengangkutan sampah masing-masing, meliputi antara lain jadwal pengambilan sampah, serta yang berkenaan dengan sampah berbahaya. Tempat sampah tidak diberi muatan secara berlebih dan untuk tempat sampah yang terlalu penuh dapat ditolak petugas pengangkut sampah dalam pengosongannya. Tempat-tempat sampah sering dikunci untuk mencegah pihak lain membuang sampah di tempat sampah yang bukan milik mereka, sebab pengangkutan sampah di Jerman merupakan layanan berbayar yang membutuhkan pengeluaran biaya yang juga tidak sedikit oleh tiap unit rumah tangga. Ada biaya untuk pembuangan masing-masing jenis sampah di Jerman yang dapat diketahui besarnya dari informasi di sekitar lokasi pengangkutan. Biaya dihitung berdasarkan berat, dengan biaya untuk sampah makanan dan sampah daur-ulang lebih rendah dibandingkan jenis sampah lainnya.Pada kasus benda-benda besar yang akan dibuang, seperti lemari, sofa, bahkan televisi, dilakukan dengan bantuan spermull. Spermull adalah layanan jasa bebas biaya yang disediakan pemerintah kota dan diadakan tiga kali setiap tahun. Benda-benda yang akan dibuang diletakkan di tempat pengumpulan hingga benda-benda tersebut diangkut pihak spermull pada jam/waktu tertentu. Barang-barang yang tidak terlalu tua atau rusak di tempat pengumpulan tersebut dapat dimanfaatkan/diambil oleh orang lain untuk digunakan sendiri atau dijual di pasar barang-barang bekas (fleamarket).
Teknologi pemisahan
Sampah yang telah terkumpul secara terpisah, dipilah dalam tahap pemisahan lebih lanjut, untuk kemudian didaur-ulang oleh agen dari sektor publik maupun swasta. Perusahaan pengelolaan sampah di Jerman umumnya menggunakan salah satu atau lebih dari lima metode berikut dalam melakukan proses pemisahan lanjut.
Kunci keberhasilan
Menurut pandangan sebuah organisasi amal bernama We Future Cycle, kunci keberhasilan skema pengumpulan sampah terpisah di Jerman ialah karena penerapannya yang konsisten di seluruh negeri, dengan menggunakan tipe tempat sampah yang sama untuk semua, baik untuk rumah tangga maupun bisnis. Di samping itu, beberapa faktor lain yang disebut merupakan faktor keberhasilan pengelolaan sampah di Jerman, yaitu:
Pengelolaan sampah melalui proses daur-ulang dan kuota pembaruan energi di Jerman ditargetkan hingga mencapai 65%. Target ini akan mengeliminasi kebutuhan pembuangan sampah di pembuangan sampah akhir (TPA) yang mempunyai dampak buruk terhadap iklim. Konservasi sumber alam dan iklim juga disertakan dalam tata pengelolaan sampah, yang dapat dilakukan misalnya dengan peminimalan gas metana dan emisi gas karbon dioksida yang berbahaya bagi iklim, serta upaya penggantian bahan bakar fosil pada kendaraan. Langkah ini didukung pemerintah Jerman dengan sokongan teknologi yang andal dan inovatif. Upaya Jerman dalam mengelola sampah ini ikut menyumbang terhadap pengadaan lahan pekerjaan, sebab dibutuhkan tenaga dalam setiap operasinya, dimulai dari tahap pengumpulan dan pengangkutan, hingga aktivitas pemrosesan dan pendauran-ulang di level industri yang membawa keuntungan di bidang sosial, lingkungan, serta ekonomi bagi masyarakat Jerman.
Sumber Artikel: Wikipedia.org
Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 02 Maret 2022
Suatu bahaya kimia adalah jenis bahaya pekerjaan yang disebabkan oleh paparan bahan kimia di tempat kerja. Paparan bahan kimia di tempat kerja dapat menyebabkan efek kesehatan yang merugikan baik akut maupun jangka panjang. Terdapat banyak jenis bahan kimia berbahaya, seperti neurotoksin, zat imun, zat dermatologi, karsinogen, racun reproduksi, racun sistemik, asmagen, zat pneumokoniotik, dan pemeka. Bahaya ini dapat menyebabkan risiko fisik dan/atau kesehatan. Berdasarkan bahan kimianya, bahaya yang terlibat dapat bervariasi, sehingga penting untuk mengetahui dan menerapkan APD terutama pada laboratorium.
Gambar luka bakar kimia
Jenis bahaya
Bahan kimia dapat berubah keadaan fisikanya tergantung pada suhu atau tekanan. Dengan demikian adalah penting untuk mengidentifikasi risiko kesehatan karena keadaan-keadaan ini dapat menentukan rute potensial paparan bahan kimia. Misalnya, bahan kimia dalam keadaan gas akan terhirup atau bahan kimia keadaan cair dapat diserap oleh kulit.
ilustrasi jenis bahaya kimia
Rute Paparan
Simbol
Piktograf bahaya adalah jenis sistem pelabelan yang memberitahu individu secara efisien secara sekilas jika terdapat bahan kimia berbahaya. Simbol-simbol tersebut membantu mengidentifikasi jika bahan kimia yang akan digunakan dapat berpotensi menyebabkan kerusakan fisik atau merusak lingkungan. Simbol-simbol tersebut khas karena mereka berbentuk seperti berlian dengan warna tepi merah. Tanda-tanda ini dapat dibagi menjadi:
Piktograf ini juga dibagi ke dalam kelas dan kategori untuk masing-masing klasifikasi. Pemasangan untuk masing-masing bahan kimia tergantung pada jenis dan tingkat keparahan mereka.
Pertolongan Pertama
Dalam kasus darurat, dianjurkan untuk memahami prosedur pertolongan pertama dalam rangka untuk meminimalkan kerusakan. Berbagai jenis bahan kimia akan menyebabkan berbagai kerusakan namun sebagian besar sumber menyarankan bahwa yang terbaik adalah untuk membilas setiap kulit atau mata yang terkena dengan air selama minimal 15 – 20 menit. Saat ini, tidak ada bukti yang cukup waktu pembilasan yang harus dilakukan karena tingkat dampak yang bervariasi untuk zat-zat seperti bahan kimia korosif. Namun, dianjurkan waktu pembilasan dengan air mengalir adalah sebagai berikut:
segera siram bagian yang terkena. Selain itu, membawa orang yang terkena ke fasilitas pelayanan kesehatan adalah penting tergantung pada kondisi korban. Dalam kasus itu, korban harus diangkut sebelum waktu bilas yang direkomendasikan, kemudian pembilasan harus dilakukan selama proses transportasi. Perlu dicatat bahwa beberapa produsen kimia dapat menyatakan jenis zat pembersih tertentu yang dianjurkan.
Sumber Artikel: Wikipedia.org
Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 28 Februari 2022
Sistem sanitasi: pengumpulan, pengosongan, transportasi, pengolahan, dan pemusnahan atau penggunaan ulang
Sanitasi adalah sebuah bidang yang membahas fasilitas dan pelayanan untuk membuang kotoran manusia seperti feses dan urin dengan aman. Sistem sanitasi yang baik melindungi kesehatan masyarakat dengan mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya. Sanitasi juga mempromosikan mencuci tangan dengan sabun sebagai bagian dari higenitas.
Tujuan sanitasi adalah melindungi kesehatan manusia dengan menyediakan lingkungan yang bersih yang akan menghentikan penularan penyakit, terutama melalui jalur fekal–oral. Diare, sebagai salah satu penyebab utama malnutrisi dan hambatan pertumbuhan pada anak, dapat dikurangi melalui sanitasi yang memadai. Ada banyak penyakit yang mudah menular apabila masyarakat hidup dengan tingkat sanitasi yang rendah, seperti askariasis (salah satu jenis cacingan), kolera, hepatitis, poliomielitis, schistosomiasis, dan trakoma.
Hak asasi manusia atas air dan sanitasi diakui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2010. Sanitasi merupakan prioritas pembangunan internasional dan menjadi subjek Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 6. Kurangnya akses terhadap sanitasi tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada martabat manusia dan keselamatan pribadi.
Beberapa "tingkat" sanitasi digunakan untuk membandingkan penerapan sanitasi di dalam suatu negara atau di antara sejumlah negara. Tangga sanitasi yang ditetapkan Program Pemantauan Bersama (JMP) pada tahun 2016 dimulai dari buang air besar sembarangan dan terus meningkat ke atas dengan menggunakan istilah "tidak baik", "terbatas", "dasar", dan tingkat tertingginya adalah "dikelola dengan aman". Istilah-istilah ini terutama digunakan untuk menjelaskan penerapan sanitasi di negara-negara berkembang.
Definisi
Kata Sanitasi berasal dari bahasa Latin, yaitu sanitas yang artinya sehat. Ada berbagai macam penggunaan istilah "sanitasi" baik oleh negara maupun organisasi. Ada istilah "sanitasi lingkungan" yang mengacu pada pengaturan semua variabel fisik yang mungkin berdampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Di Indonesia, sanitasi memiliki beberapa definisi, misalnya sebagai segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Sementara itu, beberapa definisi lainnya menitikberatkan pada pemutusan mata rantai patogen dari sumber penularannya dan pengendalian lingkungan.
Definisi sanitasi di Indonesia
Sanitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat. Dalam ilmu terapan, sanitasi diartikan penciptaan dan pemeliharaan kondisi-kondisi higienis dan sehat. Menurut Kementerian Kesehatan RI, sanitasi merupakan upaya kesehatan melalui cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar tidak dibuang sembarangan.
Definisi sanitasi di tingkat internasional
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa, "Sanitasi pada umumnya merujuk kepada penyediaan sarana dan pelayanan pembuangan limbah kotoran manusia seperti urin dan feses. Istilah 'sanitasi' juga mengacu kepada pemeliharaan kondisi higienis melalui upaya pengelolaan sampah dan pengolahan limbah cair."
Menurut Water Supply and Sanitation Collaborative Council (Dewan Kerjasama Sanitasi dan Suplai Air), sanitasi merupakan pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, pembuangan atau penggunaan kembali limbah, seperti limbah kotoran, air limbah, dan limbah padat, dan promosi kebersihan terkait. Melalui definisi ini, promosi kebersihan atau higiene dianggap sebagai komponen penting dari sanitasi.
Definisi lain dapat ditemukan dalam panduan Departemen Pembangunan Internasional tentang program suplai air dan sanitasi, yang diterbitkan pada tahun 1998, di mana Istilah "sanitasi" digunakan sendiri dalam buku pegangan ini untuk merujuk pada pembuangan kotoran manusia yang tepat. Ini juga mencakup pemanfaatan kembali dan pembuangan akhir kotoran manusia.
Pada kamus Lexico, sanitasi didefinisikan sebagai kondisi kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan penyediaan air minum yang bersih serta pengolahan dan pembuangan kotoran manusia dan air limbah.
Di negara-negara terbelakang, selain tindakan yang tercakup dalam konsep sanitasi yang telah disebutkan, sanitasi juga biasanya mencakup drainase, pengelolaan limbah padat, dan pengendalian vektor. Sanitasi termasuk di dalamnya empat prasarana teknologi (walaupun sering kali hanya yang pertama yang berkaitan erat dengan istilah 'sanitasi'): Pengelolaan kotoran manusia (feces), sistem pengelolaan air limbah (termasuk instalasi pengolahan air limbah), sistem pengelolaan sampah, sistem drainase atau disebut juga dengan pengelolaan limpahan air hujan.
Tujuan
Peta sebaran air minum yang aman (2016)
Tujuan umum dari sanitasi adalah untuk memberikan lingkungan hidup yang sehat bagi semua orang, menjaga sumber daya alam (seperti air permukaan, air tanah, dan tanah), dan memberikan keselamatan, keamanan, dan martabat kepada orang-orang ketika mereka buang air besar atau kecil.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui Hak Asasi Manusia atas Air dan Sanitasi pada tahun 2010. Perjanjian-perjanjian ini membahas mengenai hak asasi manusia, deklarasi, dan standar lainnya, serta yang telah menerima dalam hukum internasional. Itu berasal dari hak asasi manusia untuk standar hidup yang memadai.
Sistem sanitasi efektif menciptakan penghambat oleh apabila manusia tidak memutus siklus penularan penyakit (misalnya dalam kasus penyakit yang ditularkan melalui tinja).F-diagram menggambarkan aspek ini, dengan semua saluran utama penularan penyakit fecal-oral dimulai dengan huruf F: kotoran (feces), jari (fingers), lalat (flies), cairan (fluids), dan makanan (food).
Sanitasi masyarakat membutuhkan perhatian dan evaluasi dengan cermat pada keseluruhan sistem, tidak hanya komponen teknis seperti toilet, pengelolaan lumpur tinja, dan instalasi pengolahan air limbah. Pengalaman pengguna, sistem pengumpulan kotoran dan air limbah, pengangkutan dan pengolahan limbah, dan penggunaan kembali atau pembuangan semuanya merupakan bagian dari "rantai sanitasi".
Sistem dan tekonologi sanitasi
Menurut jenis perangkat, perangkat sanitasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perangkat keras fisik (seperti jamban dan saluran pembuangan) dan perangkat lunak (peraturan dan promosi kebersihan) yang diperlukan untuk mengurangi penularan penyakit fekal-oral. Di samping fakta bahwa pengolahan air limbah juga termasuk bagian dari sanitasi, kedua istilah ini sering kali ditulis berdampingan seperti "pengelolaan sanitasi dan air limbah".
Sistem sanitasi kerap berhubungan atau terkait dengan sistem-sistem lainnya sehingga muncul istilah sanitasi yang bervariasi seperti sanitasi berkelanjutan, sanitasi lingkungan, sanitasi setempat, sanitasi ekologis, sanitasi (toilet) kering, sanitasi total berbasis masyarakat, dan sanitasi darurat.
Sistem sanitasi mencakup pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan atau penggunaan kembali kotoran (baik manusia atau hewan) dan air limbah (baik yang berasal dari rumah tangga, industri, atau pertanian). Saat digunakan kembali, pengelola sistem sanitasi dapat berfokus pada nutrisi, air, energi, atau bahan organik yang terkandung dalam kotoran dan air limbah. Hal ini disebut sebagai "rantai nilai sanitasi" atau "ekonomi sanitasi". Orang-orang yang bertanggung jawab untuk membersihkan, memelihara, atau mengoperasikan teknologi sanitasi pada setiap langkah rantai sanitasi disebut sebagai pekerja sanitasi.
Hubungan sanitasi dan kesehatan
Sanitasi memiliki hubungan yang erat dengan bidang kesehatan. Sarana dan prasarana sanitasi yang tidak layak dapat berpengaruh pada penyebaran penyakit seperti diare dan kolera melalui beberapa jalur penularan yang dikenal dengan 5F. Jalur penularan tersebut adalah dari Feces(kotoran manusia) masuk ke pencernaan manusia melalui 1) Fluids (air atau cairan), 2) Fields (tanah), 3) Flies (lalat), 4) Fingers (tangan), dan 5) Foods(makanan).
Badan kesehatan dunia menyatakan bahwa sanitasi dan mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi angka kesakitan diare sebanyak 37,5% dan 35%. Beberapa studi juga menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi dan kasus diare pada anak. Intervensi sanitasi dapat menurunkan kejadian diare pada balita sebesar 12,9%. Angka ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan intervensi air bersih yang hanya mencapai 7,3%. Dampak dari intervensi sanitasi sayangnya tidak terlihat dalam jangka waktu singkat. Kurangnya sarana dan prasarana sanitasi juga berdampak pada masalah kesehatan lainnya seperti infeksi trakhoma dan kecacingan.
Di samping dampak langsung pada kesehatan, kurangnya akses terhadap sarana sanitasi dapat secara tidak langsung berdampak pada kesehatan ibu dan anak dan kasus kekurangan gizi pada anak. Dampak tidak langsung lainnya adalah kesulitan bagi kaum perempuan terkait dengan upaya mendapatkan privasi dan layanan higiene menstruasi (haid bulanan), yang juga berdampak pada tingkat kehadiran siswa perempuan di sekolah.
Hubungan sanitasi dan air
Air dan sanitasi merupakan komponen vital dalam kehidupan. Lingkungan akan menjadi kotor, pepohonan akan musnah, dan persediaan air secara alami akan berkurang kuantitas dan kualitasnya jika sanitasi tidak diperbaiki. Terdapat hubungan yang erat antara masalah sanitasi dan penyediaan air, di mana sanitasi berhubungan langsung dengan:
Kondisi sanitasi di Indonesia
Hingga 2018, masih ada 25 juta penduduk Indonesia yang melakukan praktik buang air besar sembarangan (BABS). Mereka yang melakukan praktik tidak sehat ini kebanyakan berasal dari kelas ekonomi bawah dan juga yang paling terdampak dari kondisi sanitasi yang buruk ini.
Sumber Artikel: Wikipedia.org