Penulis Tiongkok

Sun Zi

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Sun Tzu (/ˈsuːnˈdzuː/;merujuk pada Sūn Zǐ) juga merupakan seorang Jenderal dari Tiongkok, ahli strategi militer, dan filsuf yang hidup pada Zaman Musim Semi dan Gugur pada masa Tiongkok Kuno. Sun Tzu diketahui sebagai penulis The Art of War, sebuah strategi militer yang secara luas berpengaruh terhadap filosofi Barat dan Timur. Diluar peninggalannya sebagai penulis The Art of War, Sun Tzu merujuk kepada figur sejarah dari Tiongkok dan Kebudayaan Asia. Dia lahir dengan nama Sun Wu dan dikenal dengan nama Changqing. Nama Sun Tzu sendiri merupakan sebuah gelar kehormatan yang berarti “Master Sun”.

LahirSun Wu
544 SM (tradisional)
Qi atau WuKerajaan Zhou Meninggal 496 SM (tradisional; umur 47–48)
Gusu, Wu, Kerajaan Zhou

Sejarah mengenai Sun Tzu masih belum pasti. Sima Qian dan ahli sejarah kuno lainnya menempatkan dia sebagai menteri dari Raja Helü di Negara Wu dan menetapkan masa hidupnya antara 544–496 SM. Para pakar modern mengemukakan bahwa Sun Tzu hidup pada Periode Negara Perang berdasarkan gaya komposisi dan deskripsinya mengenai Medan Perang. Sejarah juga mencatat bahwa keturunan Sun Tzu yaitu Sūn Bin (孫彬) juga menulis mengenai taktik militer yang juga berjudul The Art of War. Dalam beberapa karya klasik Tiongkok Sun Tzu merujuk kepada Sun Tzu dan Sun Bin, beberapa ahli sejarah percaya bahwa keidentikan mereka merujuk pada ditemukannya Perjanjian Militer Sun Bin pada tahun 1972.

Hasil kerja Sun Tzu telah banyak dipuji dan digunakan di sepanjang Asia Timur karena komposisinya. Selama abad ke 20, The Art of War mengalami pertumbuhan popularitas dan secara praktik digunakan oleh Masyarakat Barat. Karya ini juga mempengaruhi banyak usaha di Asia, Eropa, dan Amerika termasuk budaya, politik, bisnis, dan olahraga, sebagaimana juga dalam medan perang modern.

Kehidupan

Perkamen bambu tentang "Art of War" yang

ditemukan pada tahun 1972 di Provinsi Shandong dan

disimpan di Museum Shandong.

Sumber-sumber lain yang tersedia belum menemukan kesepakatan mengenai tempat lahir Sun Tzu. Pada kronik The Spring and Autumn Annals dikatakan bahwa Sun Tzu lahir pada masa Dinasti Qi, sementara Sima Qian dalam Records of Grand Historian mengatakan bahwa Sun Tzu merupakan warga lokal Wu. Kedua sumber setuju bahwa Sun Tzu lahir pada akhir Spring and Autumn Period dan dia aktif sebagai seorang jenderal dan ahli strategi. Dia melayani Raja Helu dari Wu pada akhir abad ke 6 sebelum masehi, dimulai sekitar tahun 512 SM. Kemenangan Sun Tzu menginspirasinya untuk menulis The Art of War. The Art of War merupakan satu dari banyak Pakta Militer yang digunakan dalam Periode Negara Perang, sebuah masa dimana terjadi perang yang secara terus menerus terjadi antara 7 negara - Zhao, Qi, Qin, Chu, Han, Wei, dan Yan - yang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan ke wilayah timur daratan Tiongkok.

Satu dari banyaknya cerita tentang Sun Tzu didapat dari Sima Qian. Sebelum mempekerjakan Sun Tzu, Raja Wu ingin menguji kemampuannya untuk melatih dengan memintanya melatih selir-selirnya yang berjumlah 180 orang untuk dijadikan tentara. Sun Tzu membagi mereka menjadi dua kelompok dan menunjuk dua selir kesayangan raja untuk memimpin masing-masing kelompok atau disebut jenderal. Saat Sun Tzu memerintahkan para selir menghadap ke kanan, mereka tertawa. Sebagai respon dari hal itu, Sun Tzu mengatakan bahwa para jenderal dalam hal ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa para tentara memahami perintah yang diberikan pada mereka. Kemudian, dia mengulangi perintah itu lagi dan sekali lagi para selir tertawa. Sun Tzu kemudian memerintahkan eksekusi terhadap dua selir favorit raja, meskipun raja melakukan protes. Dia menjelaskan bahwa jika para jenderal mengerti apa yang diperintahkan, tetapi tidak mematuhinya, hal itu adalah jelas kesalahan pemimpinnya. Sun Tzu juga mengatakan bahwa saat seorang jenderal ditunjuk, maka itu adalah tugasnya untuk melaksanakan misi yang telah diberikan, meskipun raja melakukan protes. Setelah kedua selir tersebut dibunuh, masing-masing kelompok digantikan pemimpin baru. Setelahnya, kedua kelompok itu melakukan setiap manuver yang diperintahkan dengan sempurna karena mereka sangat menyadari konsekuensi dari tindakan cerobah yang telah dilakukan.

Sima Qian menegaskan bahwa setelahnya Sun Tzu membuktikan bahwa teorinya bekerja sangat efektif dalam medan perang (contohnya dalam Perang Boju). Sun Tzu memiliki karier yang sukses di militer dan menulis The Art of War berdasarkan pengalaman dan keahliannya yang teruji. Bagaimanapun, dalam Zuozhuan, sebuah teks sejarah yang ada sebelum Records of Grand Historian, lebih memberikan penjelasan detail mengenai Perang Boju, namun tidak menyebutkan Sun Tzu sama sekali.

Historisitas

Dimulai sekitar abad ke-12, beberapa ahli mulai meragukan keberadaan historis Sun Tzu, utamanya karena dia tidak disebutkan dalam Sejarah Klasik The Commentary of Zuo (Zuo zhuan 左傳), yang menyebutkan tokoh-tokoh penting dari Periode Musim Semi dan Gugur.  Nama “Sun Wu” (孫武) tidak muncul dalam teks apapun sebelum Records of the Grand Historian,  dan mungkin namanya adalah sebuah julukan deskriptif yang dibuat-buat dan memiliki arti “Prajurit Buronan”: Nama “Sun” dapat diartikan sebagai ‘buronan’ (xùn 遜), sementara “Wu” adalah kebijaksanaan Tiongkok Kuno dari “Beladiri, gagah berani” (wǔ 武), yang berhubungan dengan peran Sunzi sebagai kembaran (doppelgänger) pahlawan dalam cerita Wu Zixu. Para skeptis mengutip ketidakakuratan sejarah yang memungkinkan dan anakronisme dalam teks, menyimpulkan bahwa buku itu sebenarnya merupakan kompilasi dari penulis yang berbeda dan strategi-strategi militer. Hubungan dari para penulis The Art of War bervariasi antara para ahli, orang-orang dan gerakan-gerakan sosial yang ada, termasuk Sun; sarjana dari Negara Chu yaitu Wu Zixu; seorang penulis anonim; sebuah sekolah teori di Negeri Qi atau Negeri Wu; Sun Bin; dan lain-lain. Tidak seperti Sun Wu, Sun Bin tampaknya adalah seseorang yang sungguh ada dan merupakan penguasa yang sebenarnya dalam urusan militer. Dia mungkin telah menjadi inspirasi bagi terciptanya tokoh sejarah "Sunzi" melalui bentuk euhemerisme. Nama Sun Wu selanjutnya muncul pada sumber selanjutnya Records of the Grand Historian (Shiji 史記) dan Wu Yue chunqiu. Satu-satunya pertarungan bersejarah yang dikaitkan pada Sun Tzu yaitu Perang Boju, tidak memiliki catatan pertarungan dirinya.

Munculnya fitur dari The Art of War dalam teks-teks sejarah lainnya dianggap bukti kesejarahan tentang keberadaannya dan bukti karya penulisannya. Konsep strategi tertentu seperti klasifikasi medan (peperangan) dikaitkan dengan Sun Tzu. Penggunaannya (konsep strategi Sun Tzu) dalam karya-karya lain seperti Metode Sima dianggap sebagai bukti prioritas mengenai sejarah (keberadaan) Sun Tzu. Menurut Ralph Sawyer, sangat mungkin Sun Tzu memang ada dan tidak hanya menjabat sebagai seorang jenderal perang tetapi juga merupakan penulis dari buku yang menyandang namanya (The Art of War). Dalam The Art of War dikatakan bahwa ada perbedaan antara perang skala besar dan teknik canggih yang dirinci dalam teks, serta pertempuran skala kecil yang lebih primitif (dipercaya banyak digunakan di Tiongkok selama abad ke-6 SM). Menentang hal tersebut, Sawyer berpendapat bahwa ajaran Sun Wu sangat mungkin diajarkan kepada generasi-generasi di keluarganya atau bahkan untuk para murid di sekolah-sekolah kecil dan pada akhirnya termasuk Sun Bin. Keturunannya atau para siswa mungkin telah merevisi atau memperluas titik-titik tertentu dalam teks aslinya.

Para skeptis mengidentifikasi masalah dengan sudut pandang tradisionalis ke sudut pandang anakronisme dalam The Art of War termasuk mengidentifikasi istilah, teknologi (seperti busur anakronistik dan kavaleri yang tidak disebutkan), ide-ide filosofis, peristiwa, dan teknik militer yang tidak seharusnya tersedia untuk Sun Wu. Selain itu, tidak ada catatan sejarah mengenai seorang jenderal profesional selama Zaman Musim Semi dan Gugur; ini hanyalah bagian dari Periode Negara Perang, sehingga masih ada keraguan mengenai pangkat dan keahlian militer Sun Tzu. Hal ini menyebabkan banyak kebingungan tentang kapan The Art of War benar-benar ditulis. Pandangan tradisional pertama menyatakan bahwa The Art of War ditulis pada 512 SM oleh Sun Wu, yang aktif selama tahun-tahun terakhir Periode Musim Semi dan Gugur (c. 722-481 BC). Pandangan kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh para sarjana seperti Samuel Griffith, menempatkan The Art of War selama masa pertengahan hingga akhir Periode Negara Perang (c. 481-221 BC). Akhirnya, aliran ketiga mengklaim bahwa teks bambu tersebut diterbitkan pada paruh terakhir abad 5 SM; hal ini didasarkan pada bagaimana penganutnya menafsirkan slip bambu yang ditemukan di Yin-ch'ueh-shan pada tahun 1972 AD.

The Art of War

The Art of War secara tradisional dianggap berasal dari Sun Tzu. The Art of War menyajikan filsafat perang untuk mengelola konflik dan memenangkan pertempuran. Hal ini diterima sebagai sebuah karya besar mengenai strategi dan telah sering dikutip dan dijadikan referensi oleh para jenderal dan ahli teori sejak pertama kali diterbitkan, diterjemahkan, dan didistribusikan secara internasional.

There are numerous theories concerning when the text was completed and concerning the identity of the author or authors, but archeological recoveries show The Art of War had taken roughly its current form by at least the early Han. Because it is impossible to prove definitively when the Art of War was completed before this date, the differing theories concerning the work's author or authors and date of completion are unlikely to be completely resolved. Some modern scholars believe that it contains not only the thoughts of its original author but also commentary and clarifications from later military theorists, such as Li Quan and Du Mu.

Dari teks militer yang ditulis sebelum Unifikasi Tiongkok dan pembakaran buku Shi Huangdi di abad ke 2 sebelum masehi, enam karya besar berhasil selamat. Selama Dinasti Song yang berikut-berikutnya, enam karya ini disatukan dengan sebuah teks Tang (dinasti) menjadi sebuah koleksi yang dinamakan Seven Military Classics. Sebagai bagian penting dari kompilasi tersebut, The Art of War membentuk pondasi teori militer ortodok pada awal masa Tiongkok modern. Untuk mengilustrasikan poin ini, buku tersebut disyaratkan sebagai bacaan wajib untuk lulus dalam tes penunjukan kekaisaran dalam mengisi posisi militer.

The Art of War milik Sun Tzu menggunakan bahasa yang mungkin tidak biasa dalam sebuah teks barat untuk topik medan perang dan strategi. Contohnya, pada bab sebelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus “tenang dan tidak dapat ditebak” dan memiliki kemampuan untuk memahami “rencana yang tak terduga”. Teks ini (The Art of War) berisi banyak komentar serupa yang sudah lama membuat bingung pembaca barat yang kurang memahami konteks Asia Timur. Arti dari pernyataan-pernyataan tersebut lebih jelas ketika menginterpretasikan konteks pemikiran dan praktik Taoisme. Sun Tzu melihat seorang jenderal yang ideal sebagai seorang master Taoisme yang tercerahkan, yang mana hal ini menuntun The Art of War dianggap sebagai sebuah contoh utama strategi penganut Taois.

Buku ini juga menjadi populer di kalangan para pemimpin politik dan orang-orang dalam manajemen bisnis. Meskipun memiliki judul The Art of War dan membahas strategi secara luas, namun juga menyentuh pada administrasi publik dan perencanaan. Teks tersebut menguraikan teori peperangan, namun (dapat) juga (mengacu pada) diplomasi dan (cara) budidaya hubungan dengan negara-negara lain sebagai aspek penting untuk perkembangan negara.

Pada 10 April 1972, Makam Yinqueshan Han secara tidak sengaja ditemukan oleh pekerja konstruksi di Shandong. Para ahli menemukan sebuah koleksi naskah kuno yang ditulis pada slip bambu yang ternyata masih terawat dengan baik. Di antara temuan tersebut terdapat The Art of War dan Metode Militer Sun Bin. Meskipun bibliografi Dinasti Han menyatakan bahwa publikasi terakhir yang masih ada diteruskan dan ditulis oleh seorang keturunan Sun, publikasi itu telah hilang. Ditemukannya karya Sun Bin dianggap sebagai momen penting oleh para sarjana, baik karena hubungan Sun Bin ke Sun Tzu dan karena penambahan pekerjaan pada pemikiran militer di akhir zaman kuno Tiongkok. Penemuan tersebut secara keseluruhan, sangat signifikan dalam menambah pengetahuan mengenai teori militer yang dibuat pada Periode Negara Perang. Risalah Sun Bin adalah satu-satunya teks militer yang selamat dari Periode Negara Perang dan ditemukan pada abad kedua puluh serta memiliki kemiripan dengan The Art of War jika dibandingkan dengan teks yang lain.

Peninggalan

The Art of War milik Sun Tzu telah mempengaruhi banyak tokoh penting. Sima Qian menceritakan bahwa Kaisar pertama dalam sejarah China, Qin Shi Huangdi, menganggap The Art of War sebagai buku yang sangat berharga dalam mengakhiri Periode Negara Perang. Pada abad ke-20, Pemimpin Komunis Tiongkok, Mao Zedong pada kemenangannya atas Chiang Kai-shek dan Kuomintang pada tahun 1949 berhutang budi pada The Art of War. Karya ini (The Art of War) sangat mempengaruhi tulisan-tulisan Mao tentang perang gerilya, yang selanjutnya mempengaruhi pemberontakan komunis di seluruh dunia.

The Art of War diperkenalkan ke Jepang pada tahun 760 AD dan buku ini dengan cepat menjadi populer di kalangan jenderal Jepang. Melalui pengaruhnya pada Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu, karya ini secara signifikan mempengaruhi penyatuan Jepang di era modern awal. Sebelum Restorasi Meiji, penguasaan ajaran-ajarannya dihormati di kalangan samurai dan ajaran-ajaran tersebut didorong (untuk diajarkan) dan dicontohkan (dalam ajaran) oleh daimyo yang berpengaruh dan para shogun. Selanjutnya, karya ini tetap populer di kalangan angkatan bersenjata Kekaisaran Jepang. Laksamana Armada, Togo Heihachiro, yang memimpin kemenangan pasukan Jepang dalam Perang Rusia-Jepang, adalah seorang pembaca setia dari Sun Tzu.

Ho Chi Minh menerjemahkan karya ini untuk tentara Vietnam dengan tujuan belajar. Umumnya Vo Nguyen Giap, ahli strategi di balik kemenangan atas pasukan Prancis dan Amerika di Vietnam adalah juga seorang mahasiswa yang sangat rajin dan seorang praktisi dari ide-ide Sun Tzu.

Konflik Asia-Amerika melawan Jepang, Korea Utara, dan Vietnam Utara membawa Sun Tzu menjadi perhatian pemimpin militer Amerika. Lembaga Militer di Amerika Serikat, melalui Command and General Staff College, telah mengarahkan semua unit untuk menyokong perpustakaan-perpustakaan di bawah naungan masing-masing kantor pusat untuk melanjtkan edukasi para personil mengenai The Art of War. The Art of War disebutkan sebagai sebuah contoh karya untuk dipertahankan pada setiap fasilitas dan staf yang bertugas jaga berkewajiban untuk menyiapkan makalah singkat serta mempresentasikannya kepada petugas yang lain mengenai bacaan mereka. Serupa dengan hal itu, The Art of War milik Sun Tzu juga terdaftar dalam Professional Reading Program Korps Angkatan Laut. Selama Perang Gulf pada tahun 1990an, Jenderal Norman Schwarzkopf Jr. dan Jenderal Colin Powell menerapkan prinsip-prinsip Sun Tzu yang terkait dengan penipuan, kecepatan, dan titik lemah seseorang musuh.[30] Bagaimanapun, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya dikritik karena tidak benar-benar memahami karya Sun Tzu dan tidak menghargai The Art of War dalam konteks yang lebih luas mengenai masyarakat Tiongkok.

Retorika Taois adalah sebuah komponen yang tergabung ke dalam The Art of War. Menurut Steven C. Combs dalam "Sun-zi and the Art of War: The Rhetoric of Parsimony", medan peperangan "digunakan sebagai metafora untuk retorika, dan bahwa keduanya secara filosofis didasarkan pada seni." Combs menulis "Medan peperangan dianalogikan sebagai persuasi, sebagai (bentuk) pertempuran antara hati dan pikiran." Penerapan strategi The Art of War sepanjang sejarah dikaitkan dengan retorika filosofisnya. Taoisme adalah prinsip utama dalam The Art of War. Combs membandingkan Taois Tiongkok kuno hingga ke retorika Aristoteles tradisional, terutama untuk perbedaannya dalam hal persuasi. Retorika Taois dalam strategi medan perang The Art of War digambarkan sebagai "damai dan pasif, mendukung keheningan selama berbicara.” Bentuk komunikasi ini adalah bentuk kekikiran. Sifat pelit, yang sangat ditekankan dalam The Art of War sebagai cara menghindari konfrontasi dan menjadi sosok spiritual dengan alam, membentuk prinsip-prinsip dasar Taoisme.

Mark McNeilly dalam Sun Tzu and The Art Modern Warfare menulis bahwa interpretasi modern dari Sun dan peran pentingya sepanjang sejarah Tiongkok sangat penting dalam memahami dorongan China untuk menjadi negara adidaya di abad kedua puluh satu. Para sarjana Tiongkok modern secara eksplisit mengandalkan pelajaran strategis sejarah dan The Art of War dalam mengembangkan teori mereka, (Para sarjana) melihat hubungan langsung antara perjuangan modern mereka dan orang-orang Tiongkok pada masa Sun Tzu. Ada nilai keuntungan yang dirasakan dalam ajaran Sun Tzu dan penulis tradisional Tiongkok lainnya, yang mana digunakan secara teratur dalam mengembangkan strategi bagi Negara Tiongkok dan para pemimpinnya.

Pada tahun 2008, produser Zhang Jizhong mengadaptasi kisah hidup Sun Tzu untuk dijadikan serial televisi drama sejarah sepanjang 40-episode berjudul Bing Sheng, dibintangi Zhu Yawen sebagai Sun Tzu.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Sun Zi

Manipulasi Perilaku

Modifikasi Perilaku

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Modifikasi perilaku menunjuk kepada teknik mengubah perilaku, seperti mengubah perilaku dan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus melalui penguatan perilaku adaptif dan/atau penghilangan perilaku maladaptif melalui hukuman. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Edward Thorndike pada tahun 1911 dalam artikelnya Provisional laws of acquired behavior or learning.

Eksperimen psikologi klinis menggunakan istilah modifikasi perilaku untuk merujuk pada teknik psikoterapi khususnya untuk meningkatkan perilaku adaptif dan menghilangkan yang maladaptif. Dua istilah lain yang berhubungan adalah terapi perilaku dan analisis perilaku. Dalam hal ini, beberapa penulis, menganggap bahwa modifikasi perilaku cakupannya lebih luas dibanding

Gagasan dasar

Proses pengubahan perilaku melalui modifikasi perilaku adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar. Modifikasi perilaku merupakan gagasan yang berasal dari asumsi bahwa proses belajar menghasilkan sebagian dari perilaku maladaptif. Asumsi yang sama diberlakukan atas gejala-gejala perilaku hingga tingkatan tertentu. Fokus dari modifikasi perilaku adalah tentang perilaku dan perubahannya. Modifikasi perilaku merupakan hasil penerapan dari teori pengondisian operan. Tujuan dari modifikasi perilaku adalah untuk mengubah perilaku.

Karakteristik

Modifikasi perilaku memiliki karakteristik utama berupa penekanan terhadap definisi masalah melalui perilaku yang dapat diukur menggunakan cara tertentu. Tingkat bantuan atas suatu masalah perilaku menggunakan indikator berupa perubahan-perubahan dalam ukuran perilaku. Karakter lain dari modifikasi perilaku adalah pengubahan lingkungan seseorang melalui prosedur dan teknik perlakuannya. Hasilnya, individu dapat kembali melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Modifikasi perilaku juga memiliki penjelasan yang tepat atas metode dan dasar pemikirannya. Teknik modifikasi perilaku juga dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian dari individu.

Fungsi

Modifikasi perilaku dapat menilai dan memperbaiki perilaku individu baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati. Hal tersebut berfungsi dalam peningkatan potensi individu. Modifikasi perilaku umumnya digunakan sebagai pendekatan dalam memunculkan suatu perilaku baru atau memperkuat perilaku yang telah ada tetapi sifatnya lemah. Selain itu, modikasi perilaku juga berfungsi mengurangi perilaku yang berlebihan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.

Pelaksanaan

Modifikasi perilaku dapat dilakukan menggunakan prosedur aktual yang disebut pengondisian. Pelaksanaan modifikasi perilaku bersifat kooperatif karena dapat direncanakan, didiskusikan dan dimintai persetujuan terlebih dahulu dari para pihak yang akan terlibat. Perincian atas penerapan modifikasi perilaku juga dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jika suatu teknik modifikasi perilaku gagal diterapkan, maka hasil pengawasan atas modifikasi perilaku dapat digunakan untuk mencari solusi yang lain. Modifikasi perilaku juga dapat dievaluasi secara objektif karena penjelasan dan pengaturannya dilakukan secara rasional. Pelaksanaan modifikasi perilaku juga tidak memerlukan waktu yang lama.

Peningkatan kemunculan perilaku yang diharapkan ada, dapat dilakukan dengan metode pembantuan. Pembantuan merupakan bentuk rangsangan yang dapat berupa bantuan fisik, bantuan isyarat maupun bantuan verbal.

Teknik

Teknik fading

Modifikasi perilaku menggunakan teknik fading dilakukan dengan mengurangi ketergantungan terhadap suatu bantuan. Pengurangan ini dilakukan melalui prosedur tertentu. Secara bertahap, penerapan teknik fading akan menghapus atau mengubah bantuan menjadi sesuatu yang sifatnya menyerupai anteseden normal untuk perilaku.

Teknik penguatan positif

Teknik penguatan positif merupakan teknik modifikasi perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku yang diharapkan di masa depan. Hasil yang diharapkan dari teknik penguatan positif adalah munculnya perilaku yang sama dari individu ketika menghadapi situasi di masa depan yang kondisinya sama seperti ketika teknik penguatan positif dilakukan.

Teknik pembentukan

Teknik pembentukan merupakan penguatan aproksimasi suksesif dan pemunahan aproksimasi sebelumnya terhadap suatu perilaku sehingga muncul sebuah perilaku operan yang baru pada target atau subjek. Tujuan teknik pembentukan adalah untuk mengurangi atau meniadakan perilaku yang bersifat maladaptif. Teknik ini juga bertujuan untuk memunculkan perilaku baru yang lebih adaptif.

Manfaat

Modifikasi perilaku merupakan salah satu teknik pengubahan perilaku yang umum diterapkan oleh pendidik maupun psikolog. Penyebabnya adalah adanya kemudahan pengamatan atas perilaku yang diubah. Selain itu, modifikasi perilaku juga dapat diterapkan ke berbagai jenis perilaku.

Modifikasi perilaku dapat digunakan untuk pengendalian dan pengelolaan perilaku bermasalah yang terjadi pada anak. Modifikasi perilaku merupakan bentuk penggabungan antara terapi farmakologi dengan terapi psikologi. Karena itu, modifikasi perilaku merupakan cara yang paling efektif dalam mengatasi perilaku anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Selain itu, terapi kombinasi yang menggabungkan antara modifikasi perilaku dengan diet dan obat, efektif dalam penanganan perilaku hiperaktivitas.

Pengembangan

Modifikasi perilaku kognitif

Modifikasi perilaku kognitif merupakan hasil penggabungan antara modifikasi perilaku dengan terapi kognitif. Tokoh pengembang dari modifikasi perilaku kognitif adalah Donald Meichenbaum. Teknik yang digunakan dalam modifikasi perilaku kognitif dapat beragam, di antaranya adalah teknik relaksasi dan manajemen waktu.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Modifikasi Perilaku

Liberalisme Klasik

Laissez-faire

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Laissez-faire (IPA: [lɛse fɛr]) adalah sebuah frasa bahasa Prancis yang berarti "biarkan terjadi" (secara harafiah "biarkan berbuat"). Istilah ini berasal dari diksi Prancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat pada abad ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan. Laissez-faire menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebas yang ketat selama awal dan pertengahan abad ke-19. Secara umum, istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pendukung doktrin ini berpendapat bahwa suatu perekonomian perusahaan swasta (private-enterprise economy) akan mencapai tingkat efesiensi yang lebih tinggi dalam pengalokasian dan penggunaan sumber-sumber ekonomi yang langka dan akan mencapai pertumpuhan ekonomi yang lebih besar bila dibandingkan dengan perekonomian yang terencana secara terpusat (centrally planned economy). Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan pribadi atas sumber daya dan kebebasan penuh untuk menggunakan sumber daya tersebut akan menciptakan dorongan kuat untuk mengambil risiko dan bekerja keras. Sebaliknya, birokrasi pemerintah cenderung mematikan inisiatif dan menekan perusahaan.

Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan bersandar pada sumbangan dan sistem pasar. Laissez faire juga menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh memberi hak khusus dalam bisnis. Misalnya, penganut dari laissez-faire mendukung ide yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat monopoli legal atau menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk merusak monopoli de facto. Pendukung dari laissez-faire juga mendukung ide perdagangan bebas dalam artian negara tidak boleh melakukan proteksi, seperti tarif dan subsidi, di wilayah ekonominya.

Pada masa awal dari teori ekonomi Eropa dan Amerika, kebijakan laissez-faire terbentuk konflik dengan merkantilisme, yang telah menjadi sistem dominan di Britania raya, Spanyol, Prancis dan negara Eropa lainnya pada masa kejayaannya.

Istilah laissez-faire sering digunakan bergantian dengan istilah "pasar bebas". Beberapa menggunakan laissez-faire untuk merujuk pada perilaku "biarkan terjadi, biarkan lewat" dalam hal-hal di luar ilmu ekonomi.

Laissez-faire dihubungkan dengan Liberalisme klasik, libertarianisme dan Obyektivisme. Asalnya dikenalkan dalam bahasa Inggris tahun 1774, oleh George Whatley, dalam buku Principles of Trade, yang di dampingi oleh Benjamin Franklin. Ekonom klasik, seperti Thomas Malthus, Adam Smith dan David Ricardo tidak menggunakan istilah ini. Jeremy Bentham menggunakan ini, tetapi hanya dalam Liga Hukum Anti-Jagung dan nyaris sama dengan pengertian Inggrisnya.

Teori Ekonomi

Laissez-faire berarti bahwa mahzab pemikiran ekonomi neoklasik memegang pandangan pasar yang murni atau liberal secara ekonomi: bahwa pasar bebas sebaiknya dibiarkan pada seperti apa adanya, dan akan didispensasikan dengan inefisiensi dalam cara yang lebih bebas dan cepat seperti pemberian harga, produksi, konsumsi, dan distribusi dari barang dan jasa dibuat untuk ekonomi yang lebih baik atau efisien.

Ekonom Adam Smith dalam bukunya 'Wealth of Nations' berpendapat bahwa sebuah "tangan tak terlihat" dari pasar akan memandu masyarakat untuk bertindak dengan mengikuti kepentingan pribadi mereka sendiri, karena satu-satunya cara menghasilkan uang adalah dengan melalui pertukaran secara sukarela, dan satu-satunya cara untuk mendapatkan uang dari masyarakat adalah untuk memberikan apa yang mereka inginkan. Smith menunjukkan kalau seseorang tidak mendapatkan makan malam dengan mengandalkan belas kasih dari tukang daging, petani atau tukang roti. Tapi mereka mengandalkan kepentingan pribadi mereka dan membayar mereka atas kerja keras mereka.

Teori Politik

Laissez-faire disebut dalam pernyataan sebelumnya bahwa semua warga kota memiliki persamaan hak, dan pemerintah tidak boleh turut campur dalam memperkuat persamaan pengeluaran melalui redistribusi pemerintah dan tindakan lain. Pengemuka laissez-faire menyukai negara yang netral antara bermacam grup yang bersaing yang bertarung untuk keuntungan dan kekuatan politik di dalam satu negara. Pendukung dari laissez-faire penting untuk ekonomi campuran dalam landasan yang mengarah ke politik kepentingan golongan di mana setiap kelompok mencari keuntungan itu sendiri pada pengeluaran dari orang lain dan dari konsumen.

Sejarah Laissez-Faire

Pada abad ke 19 di Inggris, laissez-faire memiliki pengikut yang sedikit namun kuat seperi Liberalis Manchester seperti Richard Cobden dan Richard Wright. Tahun 1867, ini berujung pada kesepakatan perdagangan bebas ditandatangani antara Britania dan Prancis, setelah beberapa dari perjanjian ini ditandatangani bersama negara-negara Eropa lainnya. Koran The Economist didirikan sebelumnya pada tahun 1843, dan perdagangan bebas didiskusikan dalam sebuah tempat berjulukan The Cobden Club, didirikan setahun setelah kematian Richard Cobden, tahun 1866.

Bagaimanapun, laissez-faire tidak pernah menjadi doktrin negara manapun, dan diakhir seribu delapanratus-an, negara-negara Eropa malah menganut sistem intervionisme dan proteksionisme lagi. Prancis contohnya, mulai membatalkan ksepakatannya dengan negara Eropa lain tahun 1890. Proteksionisme Jerman dimulai (lagi) pada Desember 1878 surat dari Bismarck, berujung pada tarif yang keras dan tinggi tahun 1879.

Amerika Serikat

Walaupun periode sebelum Perang Saudara Amerika dikenal atas pengaruh terbatas dari pemerintahan federal, ada beberapa bagian intervensi yang signifikan dalam ekonomi—khususnya setelah 1820-an. Contoh nyata dari intervensi pemerintah pada periode sebelum perang saudara termasuk didirikannya First National Bank dan Second National Bank dan juga bermacam usaha proteksionis (contohnya tarif 1828). Beberapa dari proposal ini menemui tentangan yang cukup keras, dan membutuhkan banyak sekali tawar menawar sebelum dimasukan dalam undang-undang. Contohnya, First National Bank tidak akan sampai ke meja Presiden Washington dalam absenya kesepakatan yang dicapai oleh Alexander Hamilton dan beberapa anggota selatan dari Kongres untuk menetapkan ibu kota di District of Columbia.

Sebagian besar penentang asas ekonomi campuran di Amerika Serikat terdaftar pada American School (ekonomi). Sekolah pemikiran ini terinspirasi oleh ide-ide Alexander Hamilton, yang mengajukan pembuatan dari bank yang disponsori pemerintah dan kenaikan tarif untuk memenangkan kepentingan industri utara. Setelah kematian Hamilton, proteksionis yang lebih toleran pada periode sebelum perang saudara Amerika datang dari Henry Clay dan American System-nya.

Setelah Perang Saudara, gerakan menuju ekonomi campuran dipercepat dengan lebih banyak lagi proteksionisme dan regulasi pemerintah. Pada tahun 1880-an dan 1890-an, kenaikan tarif signifikan dipakai (lihat Tarif McKinley dan Tarif Dingley). Lebih lanjut, dengan adanya Undang-Undang Komersial Antar Negara Bagian tahun 1887, dan Undang-Undang Anti-trust Sherman, pemerintah federal mulai mengasumsikan sebuah peran yang makin menanjak dalam pengaturan dan pengarahan ekonomi negara.

Pada Era Progresif disahkannya undang-undang untuk lebih mengontrol dalam ekonomi, yang dibuktikan oleh program New Freedom pemerintahan Wilson.

Depresi Hebat

Ada banyak debat tentang hubungan antara laissez-faire dan terjadinya depresi hebat. Beberapa ekonom dan sejarawan (seperti John Maynard Keynes) berpendapat kalau laissez-faire membuat kondisi dibawah depresi hebat menanjak. Sarjana lain seperti Milton Friedman dan Murray Rothbard, mengatakan bahwa Depresi bukanlah hasil dari kebijakan ekonomi laissez-faire tetapi intervensi pemerintah dalam moneter dan sistem kredit. Isu ini, masih menjadi perdebatan keras dalam ekonomi, politik, dan sejarah.

Pada karya Keynes tahun 1936, The General Theory of Employment Interest and Money, Keynes mengenalkan konsep dan istilah yang ditujukan untuk membantu menjelaskan Depresi Hebat. Satu pendapat untuk kebijakan ekonomi laissez-faire selama resesi ialah jika konsumsi jatuh, maka rasio bunga akan jatuh juga. Tingkat bunga yang lebih rendah akan mengakibatkan peningkatan investasi dan permintaan akan tetap konstan. Bagaimanapun, Keynes percaya kalau adaalasan kenapa investasi tidak selamanya secara otomatis naik sebagai reaksi atas jatuhnya konsumsi. Bisnis membuat investasi berdasar pada ekspektasi atas adanya keuntungan. Menurut Keynes, jika jatuhnya konsumsi muncul pada waktu lama, bisnis akan menganalisis tren akan menurunkan harapan dari penjualan masa depan. Maka, menurut Keynes, hal terakhir yang mereka pikir menarik ialah berinvestasi dalam meningkatkan produksi pada masa depan bahkan apabila bunga yang lebih rendah membuat modal tidak menjadi mahal. Dalam kasus ini, menurut Keynes dan kebalikan dari Hukum Say, ekonomi bisa ditaruh dalam kejatuhan umum. ((Keen 2000:198)) Ekonom Keynesian dan sejarawan berpendapat kalau dinamika memperkuat diri ini adalah apa yang terjadi dalam tingkat yang ekstrem pada Depresi Hebat, di mana kebangkrutan merupakan hal umum dan investasi, yang membutuhkan tingkat optimisme, sangat harang terjadi. Solusi dari masalah ini, menurut Keynes, untuk melepaskan ketidakstabilan pasar melalui intervensi pemerintah. Dalam pandangan ini, karena aktor swasta tidak bisa diandalkan untuk membuat permintaan agregat selama resesi, pemerintah memiliki kewajiban untuk membuat permintaan.

Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, Keynes spertinya memiliki pandangan yang lebih disenangi dari pemerintahan fasis saat itu, karena, ketika dia dia disorot ketika edisi Jerman dari The General Theory of Employment Interest and Money, "teori dari produksi agregat, di mana inti dari ['The General Theory of Employment Interest of Employment Interest and Money'], bisa diadaptasi lebih mudah diadapsi ke kondisi negara otalitarian [eines totalen Staates] dibanding teori produksi dan distribusi dari produksi yang diberi ditaruh pada kondisi kompetisi bebas dan tingkat tinggi dari laissez-faire.

Freidrich August von Hayek dan Milton Friedman, dengan kontras, berpendapat kalau Depresi Hebat bukanlah hasil dari kebijakan ekonomi laissez-faire tetapi hasil dari terlalu besarnya intervensi pemerintah dan regulasi atas pasar. Mereka mencatat bahwa Depresi Hebat merupakan depresi terlama dalam sejarah Amerika Serikat dan satu-satunya depresi di mana pemerintah mengintervensi besar-besaran. Dalam karya Friedman, Captilaism and Freedom deia berpendapat: "Sebuah agensi yang dibuat pemerintah--The Federal Reserve System-- telah diberi tugas untuk kebijakan moneter. Tahun 1930 dan 1931, agensi ini melaksanakan tanggung jawab dengan baik untuk mengganti apa tindakan yang lain menjadi kontraksi moderat menjadi bencana besar-besaran.

Lebih jauh, Pemerintahan Federal Amerika Serikat membuat sebuah mata uang tetap yang didasarkan nilai emas. Pada satu titik nilai terikat tersebut bisa dibilang lebih tinggi dari harga dunia yang membuat surplus masif atas emas. Permintaan emas naik dan harga dunia meningkat tetapi nilai terikat tersebut terlalu rendah di Amerika Serikat dan membuat migrasi besar-besaran atas emas dari Amerika Serikat. Milton Friedman dan Freidrich Hayek keduanya berpendapat kalau ketidakmampuan untuk beraiksi pada permintaan nilai mata uang membuat kerusuhan dalam bank-bank dan bank tersebut tidak lagi bisa menanganinya, dan tingkat pertukaran tetap antara dollar dan emas keduanya menyebabkan Depresi Hebat, dan tidak memperbaiki, tekanan deflasi. Dia lebih jauh berpendapat dalam tesisnya, kalau pemerintah memberi sakit lebih banyak pada publik Amerika dengan menaikkan pajak, dan mencetak uang untuk membayar hutang (dan menyebabkan inflasi), kombinasi dari apa yang membantu memusnahkan tabungan dari kelas menengah. Friedman menyimpulkan kalau efek dari Depresi Hebat tidak dimitigasi sampai akhir Perang Dunia II dimana ekonomi sampai pada kebangkitan normal dengan penghapusan berbagai pengaturan harga. Opini ini secara khusus menyalahkan sebuah kombinasi dari kebijakan Federal Reserve dan regulasi ekonomi oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai penyebab Depresi Hebat, dan depresi diperparah dengan meningkatkan pajak pendapatan dalam pendapatan tertinggi dari 25% ke 63%, sebuah "pajak cek", dan Tarif Smooth-Hawley. Freidman percaya kalau kebijakan intervesionis Herbert Hoover dan New Deal Franklin Delano Roosevelt akan memperpanjang dan memperparah depresi. Friedman menyimpulkan, "Depresi Hebat dalam Amerika Serikat, jauh dari tanda-tanda atas instabilitas dari sistem perusahaan swasta, merupakan saksi pada berapa besar kerusakan yang bisa terjadi oleh kesalahan-kesalahan pada bagian dari beberapa orang ketika mereka memiliki kekuasaan besar atas sistem moneter dari sebuah negara."

Kembalinya Ekonomi Pasar setelah Perang Dunia Kedua

Artikel utama: Neoliberalisme, Ordoliberalisme, Ekonomi pasar sosial, Reaganomi, dan Tachterisme

Setelah Perang Dunia Kedua, pemikiran laissez-faire dibangkitkan kembali melalui Austrian School dan Chicago School, dan pemikir liberal seperti Ludwig von Mises, Freidrich Hayek dan Milton Friedman, yang berpendapat kalau Dunia Bebas didefinisikan oleh kebebasan itu sendiri, lalu penduduknya harus memiliki kebebasan ekonomi secara penuh. Hong Kong merupakan teritori pertama yang menggunakan kebijakan laissez-faire pada era ini, mengikuti jalan tersebut sejak 1960-an.

jerman memakai ini, dengan dukungan koalisi antara Demokratik Kristen dan Demokrat Sosial, yang dijuluki dengan Ekonomi pasar sosial, yang merestorasi ulang ekonomi Jerman yang hancur karena perang dengan membiarkan harga mengambang bebas. Kemudian pada tahun 1970 dan 1980, ide dari Chicago School'"meresonansi"dalam kebijakan ekonomi di Chili, Reaganomi Ronald Reagan, dan kebijakan privatisasi dari Margaret Tatcher.

Kembalinya ekonomi pasar setelah Perang Dunia Kedua masih jauh dari syarat laissez-faire. Amerika Serikat, pada tahun 1980-an misalnya, berkecendrungan melindungi industri mobil dengan pembatasan ekspor "sukarela" dari Jepang. Salah satu sarjana menulis tentang ini:

Bahasa Inggris

“ By and large, the comparative strength of the dollar against major foreign currencies has reflected high U.S. interest rates driven by huge federal budget deficits. Hence, the source of much of the current deterioration of trade is not the general state of the economy, but rather the government's mix of fiscal and monetary policies — that is, the problematic juxtaposition of bold tax reductions, relatively tight monetary targets, generous military outlays, and only modest cuts in major entitlement programs. Put simply, the roots of the trade problem and of the resurgent protectionism it has fomented are fundamentally political as well as economic.”

Bahasa Indonesia

“ Dari berbagai sisi, kekuatan komparatif dari dolar terhadap mata uang asing yang besar lainnya dicerminkan dalam tingkat bunga Amerika Serikat yang dipicu oleh defisit anggaran Federal yang besar. Maka dari itu, sumber dari banyaknya deteriorasi saat ini dalam perdagangan bukanlah keadaan umum dalam ekonomi, tetapi kebijakan campuran pemerintah atas fiskal dan moneter — dan itu, merupakan cerminan problematik dari penurunan pajak yang tinggi, target moneter yang relatif ketat, pengeluaran militer yang besar, dan hanya sedikit pemotongan anggaran pada program utama. Sederhananya, akar dari masalah perdagangan dan proteksionisme yang makin meningkat itu bersumber dari kebijakan politis dan juga ekonomis.”

Laissez-faire Sekarang

Kebanyakan negara modern industrialis sekarang tidak mewakilkan laissez-faire dalam prinsip maupun kebijakannya, karena biasanya mereka melibatkan sejumlah besar intervensi pemerintah dalam ekonomi. Intervensi ini termasuk upah minimum, kesejahteraan korporasi, antitrust, nasionalisasi, dan kesejahteraan sosial di antara bentuk lain dari intervensi pemerintah. Subsidi untuk bisnis dan agrikultur, kepemilikan pemerintah pada beberapa industri (biasanya dalam sumber daya alam), regulasi dari kompetisi pasar, pembatasan perdagangan dalam bentuk tarif protektif - kuta impor - atau regulasi internal yang mengntungkan industri domestik, dan bentuk lain favoritme pemerintah.

Menurut 2007 Index of Economic Freedom Diarsipkan 2008-02-13 di Wayback Machine. yang dikeluarkan Heritage Foundation, 7 negara dengan ekonomi paling bebas ialah: Hong Kong, Singapura, Singapura, Australia, Amerika Serikat dan Irlandia (semuanya merupakan bekas jajahan Britania). Hong Kong diperingkat satu dari 12 tahun berturut-turut dalam indeks yang tujuannya "menghitung äbsennya koersi pemerintah pada pembatasan produksi, distribusi, atau konsumsi barang dan jasa lebih jauh dari keperluan dari penduduk untuk memproteksi dan menetapkan kebebasan itu sendiri."Milton Friedman memuji pendekatan laissez faire oleh Hong Kong yang mengubah kemiskinan menjadi kemakmuran dalam 50 tahun".

Bagaimanapun pada konfrensi pres pada 11 September 2006, Donald Tsang, Eksekutif dari Hong Kong berkata kalau "Non-Proteksionisme positif merupakan kebijakan yang diusulkan oleh Mentri Keuangan sebelumnya, tetapi kita tidak pernah berkata kalau ketia masih menggunakannya sebagai kebijakan kami yang sekarang.... Kami lebih senang dijulukji dengan kebijakan 'pasar-besar, pemerintah kecil'." Respon dalam Hong Kong terbagi secara luas, sebagian melihat sebagai pengumuman untuk meninggalkan non-intervesionisme positif, yang lain melihatnya sebagai respon yang lebih realistis ke kebijakan pemerintah pada beberapa tahun terakhir, seperti intervensi pada pasar modal untuk mencegah broker.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Laissez-faire

Politik

Otoritarianisme

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai oleh penyerahan kekuasaan. Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin. Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.

Otoritarianisme berbeda dari totalitarianisme di lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang terjadi, yang tidak di bawah kendali pemerintah. Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa pemilihan umum secara demokratis.

Asal Kata

Istilah otoritarianisme berasal dari bahasa Inggris, authoritarian. Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari kata Latin auctoritas. Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas. Oleh otoritas itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok. Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak.

Beberapa Ciri

Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya.[5] Namun, hal ini hanya berlaku untuk dirinya. Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah

Dalam Berkomunikasi

Penganut otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi, yaitu satu arah. Komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan model demokratis dengan kemungkinan perbedaan dan pertentangan pendapat secara verbal atau secara konseptual akan dimengerti, tetapi sulit untuk dihayati. Komunikasi yang bebas dan terbuka, berasal dari berbagai arah dan tertuju ke segala penjuru akan asing baginya, karena gaya komunikasi tersebut tidak masuk dan klop dalam kerangka berpikirnya. Oleh karena itu, komunikasi satu arah menjadi andalan bagi orang ini dalam menjalankan tugasnya. Dalam menjalankan tugasnya baik dalam menyampaikan gagasan, pemikiran, dan pesan, orang otoritarian hanya mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu instruksi. Istilah yang dikenalnya terbatas pada pengarahan, petunjuk, wejangan, perintah, pembinaan, sehingga bentuk komunikasi yang sifatnya sekadar memberitahu perkaranya (informatif) dianggap sudah mencukupi. Bentuk komunikasi yang persuasif untuk meyakinkan, dinilai menghabiskan waktu dan tidak efisien.

 

Mengandalkan diri pada kekuasaan

Jika dalam komunikasi orang otorianisme hanya mengenal komunikasi dalam bentuk instruksi, dalam bertindak mereka suka main kuasa. Yang dimaksud dengan main kuasa adalah pemaksaan kuasa dengan melumpuhkan orang, menggunakan ancaman, dan menyepelekan perkara.[5] Orang otoritarianisme juga akan mempermainkan perasaan bawahannya dengan sengaja membuat mereka salah dan malu. Dengan kata lain, daripada bertitik tolak dari hakikat dan kepentingan perkara, keadaan dan kemampuan orang, serta situasi dan kondisi yang ada, dalam bertindak orang otoritarianisme akan berkutat pada kekuasaan yang dimilikinya.

Perbandingan Karakteristik Otoriter dan Totaliter

Berdasarkan penelitian ahli politik, Syed Mohd Aizuddin Tuan Sembak (UTM), Juan Linz, dan Paul C. Sondrol dari University of Colorado di Colorado Springs, maka perbedaan karateristik otoriter dan totaliter (diktator) dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:

Totaliter 

  • Kharisma : Tinggi
  • Konsep kebijakan : Pemimpin hanya menjalankan fungsi
  • Batas kekuasaan : Publik
  • Korupsi : Rendah
  • Ideologi resmi : Ada
  • Pluralisme : Tidak ada
  • Legitimasi : Ada

Otoriter

  • Kharisma : Rendah
  • Konsep kebijakan : Pemimpin sebagai kepribadian
  • Batas kekuasaan : Pribadi
  • Korupsi : Tinggi
  • Ideologi resmi : Tidak ada
  • Pluralisme : Ada
  • Legitimasi : Tidak ada

Kritik terhadap Otoritarianisme

Kekuasaan merupakan faktor penting dalam kehidupan. Dengan penggunaan kekuasaan yang baik dan tepat, banyak hal dapat diselesaikan dan berbagai prestasi dicapai. Kesalahan otoritarianisme dan para penganutnya ialah memandang kekuasaan bukan sebagai sarana, melainkan untuk tujuan sendiri. Karena itu, yang penting bagi mereka adalah bagaimana kekuasaan berfungsi, digunakan dan ditampakkan. Apa yang hendak dicapai, bagaimana cara mencapainya, dan nasib orang-orang yang diikutsertakan dalam pencapaian tidaklah penting.

Pemutarbalikkan pemahaman tentang kekuasaan sebagai sarana menjadi tujuan itu mengakibatkan penggunaannya tidak pas. Hasilnya hidup menjadi sempit sebatas tanggungjawab dan wewenang, komunikasi menjadi satu arah, dan permainan kekuasaan merajalela. Akibatnya hidup tidak terkelola dengan baik dan yang berkembang adalah berbagai trik dan usaha untuk mendapatkan kekuasaan, mempertahankannya, dan memanipulasinya dengan alasan apapun. Otoritarianisme entah sadar ataupun tidak, berporos pada pemahaman tentang kekuasaan dan penggunaannya, dengan bentuk-bentuk akibat dalam komunikasi dan gaya hidup yang diciptakannya. Otoritarianisme dan orang-orang otoritarian akan berkembang dan banyak muncul dalam masyarakat yang formalistis, legalistis, dan konvensionalistis.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Otoritarianisme

Kepemimpinan

Kepemimpinan, Sejarah, Teori

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Kepemimpinan merupakan sebuah bidang riset dan juga suatu keterampilan praktis yang mencakup kemampuan seseorang atau sebuah organisasi untuk "memimpin" atau membimbing orang lain, tim, atau seluruh organisasi. Literatur para spesialis saling beradu pandangan, membandingkan antara pendekatan Timur dan Barat dalam kepemimpinan, dan juga (di Barat sendiri) antara pendekatan Amerika Serikat dengan Eropa. Civitas akademika di A.S. mengartikan kepemimpinan sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang di dalamnya seseorang dapat melibatkan bantuan dan dukungan selainnya dalam usaha mencapai suatu tugas bersama.

Kajian tentang kepemimpinan telah menghasilkan berbagai teori yang meliputi sifat-sifat, interaksi situasional, fungsi, perilaku, kekuasaan, visi dan misi, nilai-nilai, kharisma, dan kecerdasan, di antaranya.

Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.

Pandangan sejarah

Sumber dalam bahasa Sansekerta mengidentifikasi sepuluh macam pemimpin. Karakteristik tegas dari kesepuluh macam pemimpin tersebut dijelaskan dengan contoh-contoh dari sejarah dan mitologi.

Di bidang kepemimpinan politik, doktrin Cina Mandat Langit mengemukakan kewajiban para raja untuk memerintah dengan adil dan hak rakyat untuk menggulingkan raja-raja yang tampaknya kurang mematuhi perintah langit.

Para pemikir pro-aristokrasi mengemukakan bahwa kepemimpinan bergantung pada hubungan "darah biru" seseorang. Monarki menggunakan pandangan ekstrim dari gagasan yang sama, dan mungkin melakukan pembelaan atas ketidakberpihakannya terhadap sistem aristokrasi dengan menggunakan dalil ilahi (lihat hak ilahi raja-raja). Di lain pihak, yang mengemukakan teori-teori yang cenderung lebih demokratis memberikan contoh para pemimpin meritokratis, seperti marsekal Napoleon yang ternyata meraih keuntungan dari berbagai karier yang menerima berbagai talenta.

Dalam aliran pemikiran otokratis / paternalistik, kaum tradisionalis mengingat peran kepemimpinan pater familias Romawi. Di sisi lain, para feminis, mungkin keberatan dengan model seperti patriarki dan menentang " "bimbingan empati yang selaras secara emosional, responsif, dan suka sama suka, yang kadang-kadang dikaitkan [oleh siapa?] Dengan matriarki".

"Dibandingkan dengan tradisi Romawi, pandangan konfusianisme terhadap "hidup yang benar" lebih sangat ideal dengan pemimpin pria dan pemerintahannya yang baik hati ditopang oleh tradisi kesalehan berbakti."

"Kepemimpinan adalah masalah kecerdasan, kepercayaan, kemanusiaan, keberanian, dan disiplin ... Ketergantungan pada kecerdasan saja menghasilkan pemberontakan. Latihan kemanusiaan saja menghasilkan kelemahan. Fiksasi pada kepercayaan menghasilkan kebodohan. Ketergantungan pada kekuatan keberanian menghasilkan kekerasan. Disiplin yang berlebihan dan ketegasan dalam memberi perintah menghasilkan kekejaman. Ketika seseorang memiliki kelima kebajikan bersama-sama, masing-masing sesuai dengan fungsinya, maka dia bisa menjadi pemimpin." - Jia Lin, dalam komentarnya tentang Sun Tzu, Art of War

The Prince karya Machiavelli, yang ditulis pada awal abad ke-16, memberikan panduan bagi para penguasa ("pangeran" atau "tiran" dalam terminologi Machiavelli) untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

Sebelum abad ke-19, konsep kepemimpinan memiliki relevansi yang kurang dari hari ini - masyarakat mengharapkan dan memperoleh penghormatan dan kepatuhan tradisional kepada tuan, raja, ahli-ahli dan tuan-budak. (Perhatikan bahwa Oxford English Dictionary melacak kata "kepemimpinan" dalam bahasa Inggris hanya sejak tahun 1821.) Secara historis, industrialisasi, penentangan terhadap rezim kuno dan penghapusan perbudakan barang secara bertahap berarti bahwa beberapa organisasi yang baru berkembang (republik negara-bangsa, perusahaan komersial) mengembangkan kebutuhan akan paradigma baru yang dapat digunakan untuk mencirikan politisi terpilih dan pemberi kerja pemberi pekerjaan - dengan demikian pengembangan dan teori gagasan "kepemimpinan". Hubungan fungsional antara pemimpin dan pengikut mungkin tetap ada, tetapi terminologi yang dapat diterima (mungkin yang halus) telah berubah.

Dari abad ke-19 pun, elaborasi pemikiran anarkis mempertanyakan seluruh konsep kepemimpinan. Salah satu tanggapan terhadap penolakan élitisme ini datang dengan Leninisme - Lenin (1870-1924) menuntut sekelompok elit kader yang disiplin untuk bertindak sebagai pelopor revolusi sosialis, dengan mewujudkan kediktatoran proletariat.

Pandangan historis lain tentang kepemimpinan telah membahas perbedaan yang tampak antara kepemimpinan sekuler dan religius. Doktrin Caesaro-papisme telah berulang dan memiliki pengkritiknya selama beberapa abad. Pemikiran Kristen tentang kepemimpinan sering kali menekankan penatalayanan sumber daya yang disediakan ilahi — manusia dan materi — dan penerapannya sesuai dengan rencana Ilahi. Bandingkan kepemimpinan yang melayani.

Untuk melihat pandangan yang lebih umum tentang kepemimpinan dalam politik dapat dibandingkan dengan konsep negarawan.

Teori

Sejarah Awal Barat

Pencarian karakteristik atau sifat pemimpin terus berlanjut selama berabad-abad. Tulisan-tulisan filosofis dari Republik Plato hingga Kehidupan Plutarch telah mengeksplorasi pertanyaan "Kualitas apa yang membedakan seorang individu sebagai seorang pemimpin?" Yang mendasari pencarian ini adalah pengakuan awal akan pentingnya kepemimpinan dan asumsi bahwa kepemimpinan berakar pada karakteristik yang dimiliki individu tertentu. Gagasan bahwa kepemimpinan didasarkan pada atribut individu yang dikenal sebagai "teori sifat kepemimpinan".

Sejumlah karya di abad ke-19 - ketika otoritas tradisional raja, tuan, dan uskup mulai menyusut - mengeksplorasi teori sifat secara panjang lebar: perhatikan terutama tulisan-tulisan Thomas Carlyle dan Francis Galton, yang karyanya telah mendorong puluhan tahun penelitian. Dalam Heroes and Hero Worship (1841), Carlyle mengidentifikasi bakat, keterampilan, dan karakteristik fisik pria yang naik ke tampuk kekuasaan. Galton's Hereditary Genius (1869) meneliti kualitas kepemimpinan dalam keluarga orang-orang yang berkuasa. Setelah menunjukkan bahwa jumlah kerabat terkemuka menurun ketika fokusnya berpindah dari kerabat tingkat satu ke tingkat dua, Galton menyimpulkan bahwa kepemimpinan diwariskan. Dengan kata lain, pemimpin dilahirkan, bukan dikembangkan. Kedua karya penting ini memberikan dukungan awal yang besar untuk gagasan bahwa kepemimpinan berakar pada karakteristik seorang pemimpin.

Cecil Rhodes (1853–1902) percaya bahwa kepemimpinan yang berjiwa publik dapat dipupuk dengan mengidentifikasi kaum muda dengan "kekuatan moral karakter dan naluri untuk memimpin", dan mendidik mereka dalam konteks (seperti lingkungan perguruan tinggi Universitas Oxford) yang mengembangkan lebih lanjut karakteristik tersebut. Jaringan internasional dari para pemimpin semacam itu dapat membantu mempromosikan pemahaman internasional dan membantu "membuat perang menjadi tidak mungkin". Visi kepemimpinan ini mendasari terciptanya Beasiswa Rhodes, yang telah membantu membentuk gagasan tentang kepemimpinan sejak didirikan pada tahun 1903.

Munculnya teori alternatif

Pada akhir 1940-an dan awal 1950-an, serangkaian tinjauan kualitatif studi ini (misalnya, Bird, 1940;  Stogdill, 1948;  Mann, 1959 ) mendorong para peneliti untuk mengambil pandangan yang sangat berbeda dari kekuatan pendorong di belakang kepemimpinan. Dalam meninjau literatur yang ada, Stogdill dan Mann menemukan bahwa sementara beberapa ciri umum di sejumlah penelitian, bukti keseluruhan menunjukkan bahwa orang yang menjadi pemimpin dalam satu situasi mungkin tidak selalu menjadi pemimpin dalam situasi lain. Selanjutnya, kepemimpinan tidak lagi dicirikan sebagai sifat individu yang bertahan lama, karena pendekatan situasional (lihat teori kepemimpinan alternatif di bawah) menyatakan bahwa individu dapat menjadi efektif dalam situasi tertentu, tetapi tidak pada orang lain. Fokusnya kemudian bergeser dari ciri-ciri pemimpin ke penyelidikan perilaku pemimpin yang efektif. Pendekatan ini mendominasi banyak teori dan penelitian kepemimpinan selama beberapa dekade berikutnya.

Munculnya kembali teori sifat

Metode dan pengukuran baru dikembangkan setelah tinjauan berpengaruh ini yang pada akhirnya akan membangun kembali teori sifat sebagai pendekatan yang layak untuk mempelajari kepemimpinan. Sebagai contoh, perbaikan dalam penggunaan peneliti dari metodologi desain penelitian round robin memungkinkan peneliti untuk melihat bahwa individu dapat dan memang muncul sebagai pemimpin di berbagai situasi dan tugas.  Selain itu, selama kemajuan statistik 1980-an memungkinkan para peneliti untuk melakukan meta-analisis, di mana mereka dapat menganalisis secara kuantitatif dan meringkas temuan dari beragam penelitian. Kemunculan ini memungkinkan ahli teori sifat untuk membuat gambaran komprehensif tentang penelitian kepemimpinan sebelumnya daripada mengandalkan tinjauan kualitatif di masa lalu. Dilengkapi dengan metode baru, peneliti kepemimpinan mengungkapkan hal-hal berikut:

  • Individu dapat dan memang muncul sebagai pemimpin dalam berbagai situasi dan tugas.
  • Ada hubungan yang signifikan antara kemunculan kepemimpinan dan ciri-ciri individu seperti:
  • Intelijen
  • Penyesuaian
  • Ekstraversi
  • Kesadaran
  • Keterbukaan untuk merasakan
  • Efikasi diri secara umum
  • Sementara teori sifat kepemimpinan sudah pasti mendapatkan kembali popularitasnya, kemunculannya kembali tidak disertai dengan peningkatan yang sesuai dalam kerangka konseptual yang canggih.

Secara khusus, Zaccaro (2007) mencatat bahwa teori sifat masih:

  • Fokus pada sekumpulan kecil atribut individu seperti "Lima Besar" ciri kepribadian, dengan mengabaikan kemampuan kognitif, motif, nilai, keterampilan sosial, keahlian, dan keterampilan memecahkan masalah.
  • Gagal mempertimbangkan pola atau integrasi beberapa atribut.
  • Jangan membedakan antara atribut kepemimpinan yang umumnya tidak dapat ditempa dari waktu ke waktu dan atribut yang dibentuk oleh, dan terikat pada, pengaruh situasional.
  • Jangan pertimbangkan bagaimana atribut pemimpin yang stabil menjelaskan keragaman perilaku yang diperlukan untuk kepemimpinan yang efektif.

Pendekatan pola atribut

Mempertimbangkan kritik terhadap teori sifat yang diuraikan di atas, beberapa peneliti telah mulai mengadopsi perspektif yang berbeda dari perbedaan individu pemimpin — pendekatan pola atribut pemimpin. Berbeda dengan pendekatan tradisional, pendekatan pola atribut pemimpin didasarkan pada argumen ahli teori bahwa pengaruh karakteristik individu pada hasil paling baik dipahami dengan mempertimbangkan orang sebagai totalitas terintegrasi daripada penjumlahan variabel individu. Dengan kata lain, pendekatan pola atribut pemimpin berpendapat bahwa konstelasi atau kombinasi yang terintegrasi dari perbedaan individu dapat menjelaskan varians substansial dalam kemunculan pemimpin dan efektivitas pemimpin melebihi yang dijelaskan oleh atribut tunggal, atau dengan kombinasi aditif dari beberapa atribut.

Teori perilaku dan gaya

Menanggapi kritik awal dari pendekatan sifat, ahli teori mulai meneliti kepemimpinan sebagai seperangkat perilaku, mengevaluasi perilaku pemimpin yang sukses, menentukan taksonomi perilaku, dan mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang luas. David McClelland, misalnya, mengemukakan bahwa kepemimpinan membutuhkan kepribadian yang kuat dengan ego positif yang berkembang dengan baik. Untuk memimpin, kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi berguna, bahkan mungkin penting.

Kurt Lewin, Ronald Lipitt, dan Ralph White pada tahun 1939 mengembangkan karya penting tentang pengaruh gaya kepemimpinan dan kinerja. Para peneliti mengevaluasi kinerja kelompok anak laki-laki berusia sebelas tahun dalam berbagai jenis iklim kerja. Di masing-masing, pemimpin melaksanakan pengaruhnya mengenai jenis pengambilan keputusan kelompok, pujian, dan kritik (umpan balik), dan pengelolaan tugas kelompok (manajemen proyek) menurut tiga gaya: otoriter, demokratis, dan laissez-faire.

Pada tahun 1945, Universitas Negeri Ohio melakukan penelitian yang menyelidiki perilaku yang dapat diamati yang digambarkan oleh para pemimpin yang efektif. Mereka kemudian akan mengidentifikasi apakah perilaku khusus ini mencerminkan efektivitas kepemimpinan. Mereka mampu mempersempit temuan mereka menjadi dua perbedaan yang dapat diidentifikasi Dimensi pertama diidentifikasi sebagai "Struktur Inisiasi", yang menggambarkan bagaimana seorang pemimpin dengan jelas dan akurat berkomunikasi dengan pengikut, menentukan tujuan, dan menentukan bagaimana tugas dilakukan. Ini dianggap sebagai perilaku yang "berorientasi pada tugas". Dimensi kedua adalah "Pertimbangan", yang menunjukkan kemampuan pemimpin untuk membangun hubungan interpersonal dengan pengikutnya, untuk membentuk suatu bentuk rasa saling percaya. Ini dianggap sebagai perilaku "berorientasi sosial".

Michigan State Studies, yang dilakukan pada 1950-an, melakukan penyelidikan lebih lanjut dan temuan yang berkorelasi positif dengan perilaku dan efektivitas kepemimpinan. Meskipun mereka memiliki temuan yang serupa dengan studi Ohio State, mereka juga memberikan kontribusi perilaku tambahan yang diidentifikasi pada pemimpin: perilaku partisipatif (juga disebut "kepemimpinan yang melayani"), atau memungkinkan pengikut untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kelompok dan mendorong masukan bawahan. Ini memerlukan menghindari jenis-jenis kepemimpinan yang dikendalikan dan memungkinkan interaksi yang lebih pribadi antara para pemimpin dan bawahan mereka.

Model jaringan manajerial juga didasarkan pada teori perilaku. Model ini dikembangkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton pada tahun 1964 dan menyarankan lima gaya kepemimpinan yang berbeda, berdasarkan perhatian pemimpin terhadap orang-orang dan perhatian mereka terhadap pencapaian tujuan.

Penguatan positif

B. F. Skinner adalah bapak modifikasi perilaku dan mengembangkan konsep penguatan positif. Penguatan positif terjadi ketika stimulus positif disajikan sebagai respons terhadap suatu perilaku, meningkatkan kemungkinan perilaku itu di masa depan. Berikut ini adalah contoh bagaimana penguatan positif dapat digunakan dalam pengaturan bisnis. Asumsikan pujian adalah penguat positif bagi karyawan tertentu. Karyawan ini tidak masuk kerja tepat waktu setiap hari. Manajer karyawan ini memutuskan untuk memuji karyawan tersebut karena muncul tepat waktu setiap hari karyawan tersebut benar-benar muncul untuk bekerja tepat waktu. Akibatnya, karyawan lebih sering masuk kerja karena suka dipuji. Dalam contoh ini, pujian (stimulus) adalah penguat positif bagi karyawan ini karena karyawan tersebut lebih sering tiba di tempat kerja (perilaku) setelah dipuji karena muncul di tempat kerja tepat waktu. Penguatan positif yang diciptakan oleh Skinner memungkinkan suatu perilaku diulangi dengan cara yang positif, dan di sisi lain penguatan negatif diulangi dengan cara yang tidak masuk akal seperti positif.

Penggunaan penguatan positif adalah teknik yang berhasil dan berkembang yang digunakan oleh para pemimpin untuk memotivasi dan mencapai perilaku yang diinginkan dari bawahan. Organisasi seperti Frito-Lay, 3M, Goodrich, Michigan Bell, dan Emery Air Freight semuanya telah menggunakan penguatan untuk meningkatkan produktivitas. Penelitian empiris yang mencakup 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa teori penguatan memiliki peningkatan kinerja 17 persen. Selain itu, banyak teknik penguatan seperti penggunaan pujian tidak mahal, memberikan kinerja yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah.

Teori situasional dan kontingensi

Teori situasional juga muncul sebagai reaksi terhadap teori sifat kepemimpinan. Ilmuwan sosial berpendapat bahwa sejarah lebih dari hasil intervensi orang-orang hebat seperti yang dikemukakan Carlyle. Herbert Spencer (1884) (dan Karl Marx) mengatakan bahwa waktu menghasilkan orang dan bukan sebaliknya. Teori ini mengasumsikan bahwa situasi yang berbeda membutuhkan karakteristik yang berbeda; Menurut kelompok teori ini, tidak ada satu pun profil psikografis yang optimal dari seorang pemimpin. Menurut teori tersebut, "apa yang sebenarnya dilakukan seseorang ketika bertindak sebagai pemimpin sebagian besar bergantung pada karakteristik situasi di mana dia berfungsi."

Beberapa ahli teori mulai mensintesis sifat dan pendekatan situasional. Berdasarkan penelitian Lewin et al., Akademisi mulai menormalisasi model deskriptif iklim kepemimpinan, mendefinisikan tiga gaya kepemimpinan dan mengidentifikasi situasi di mana setiap gaya bekerja lebih baik. Gaya kepemimpinan otoriter, misalnya, disetujui dalam periode krisis tetapi gagal memenangkan "hati dan pikiran" pengikut dalam manajemen sehari-hari; gaya kepemimpinan demokratis lebih memadai dalam situasi yang membutuhkan pembangunan konsensus; akhirnya, gaya kepemimpinan laissez-faire dihargai karena tingkat kebebasan yang diberikannya, tetapi karena para pemimpin tidak "mengambil alih", mereka dapat dianggap sebagai kegagalan dalam masalah organisasi yang berlarut-larut atau sulit.  Dengan demikian, ahli teori mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai kontingen pada situasi, yang kadang-kadang diklasifikasikan sebagai teori kontingensi. Tiga teori kepemimpinan kontingensi muncul lebih menonjol dalam beberapa tahun terakhir: model kontingensi Fiedler, model keputusan Vroom-Yetton, dan teori jalur-tujuan.

Model kontingensi Fiedler mendasarkan efektivitas pemimpin pada apa yang disebut Fred Fiedler kontingensi situasional. Ini hasil dari interaksi gaya kepemimpinan dan kesukaan situasional (kemudian disebut kontrol situasional). Teori ini mendefinisikan dua jenis pemimpin: mereka yang cenderung menyelesaikan tugas dengan mengembangkan hubungan yang baik dengan kelompok (berorientasi pada hubungan), dan mereka yang memiliki perhatian utama melaksanakan tugas itu sendiri (berorientasi pada tugas). Menurut Fiedler, tidak ada pemimpin yang ideal. Baik pemimpin yang berorientasi pada tugas maupun yang berorientasi pada hubungan dapat menjadi efektif jika orientasi kepemimpinan mereka sesuai dengan situasi. Ketika ada hubungan pemimpin-anggota yang baik, tugas yang sangat terstruktur, dan kekuasaan posisi pemimpin yang tinggi, situasi tersebut dianggap sebagai "situasi yang menguntungkan". Fiedler menemukan bahwa pemimpin yang berorientasi pada tugas lebih efektif dalam situasi yang sangat menguntungkan atau tidak menguntungkan, sedangkan pemimpin yang berorientasi pada hubungan bekerja paling baik dalam situasi dengan kesukaan menengah.

Victor Vroom, bekerja sama dengan Phillip Yetton (1973) dan kemudian dengan Arthur Jago (1988), mengembangkan taksonomi untuk menggambarkan situasi kepemimpinan, yang digunakan dalam model keputusan normatif di mana gaya kepemimpinan dihubungkan dengan variabel situasional , mendefinisikan pendekatan mana yang lebih cocok untuk situasi tertentu. Pendekatan ini baru karena mendukung gagasan bahwa manajer yang sama dapat mengandalkan pendekatan pengambilan keputusan kelompok yang berbeda tergantung pada atribut dari setiap situasi. Model ini kemudian disebut sebagai teori kontingensi situasional.

Teori jalur-tujuan kepemimpinan dikembangkan oleh Robert House (1971) dan didasarkan pada teori harapan dari Victor Vroom. Menurut House, inti dari teori ini adalah "meta proposition bahwa pemimpin, agar efektif, terlibat dalam perilaku yang melengkapi lingkungan dan kemampuan bawahan dengan cara yang mengkompensasi kekurangan dan berperan penting untuk kepuasan bawahan dan kinerja individu dan unit kerja." Teori ini mengidentifikasi empat perilaku pemimpin, berorientasi pada pencapaian, direktif, partisipatif, dan suportif, yang bergantung pada faktor lingkungan dan karakteristik pengikut. Berbeda dengan model kontingensi Fiedler, model jalur-tujuan menyatakan bahwa empat perilaku kepemimpinan adalah cair, dan bahwa pemimpin dapat mengadopsi salah satu dari empat tergantung pada apa yang dituntut oleh situasi. Model jalur-tujuan dapat diklasifikasikan baik sebagai teori kontingensi, karena bergantung pada keadaan, dan sebagai teori kepemimpinan transaksional, karena teori tersebut menekankan perilaku timbal balik antara pemimpin dan pengikut.

Teori fungsional

Teori kepemimpinan fungsional (Hackman & Walton, 1986; McGrath, 1962; Adair, 1988; Kouzes & Posner, 1995) adalah teori yang sangat berguna untuk menangani perilaku pemimpin tertentu yang diharapkan berkontribusi pada efektivitas organisasi atau unit. Teori ini berpendapat bahwa tugas utama pemimpin adalah memastikan bahwa apa pun yang diperlukan untuk kebutuhan kelompok terpenuhi; dengan demikian, seorang pemimpin dapat dikatakan telah melakukan tugasnya dengan baik ketika mereka telah berkontribusi pada efektivitas dan kohesi kelompok (Fleishman et al., 1991; Hackman & Wageman, 2005; Hackman & Walton, 1986). Sementara teori kepemimpinan fungsional paling sering diterapkan pada kepemimpinan tim (Zaccaro, Rittman, & Marks, 2001), itu juga telah secara efektif diterapkan pada kepemimpinan organisasi yang lebih luas juga (Zaccaro, 2001). Dalam meringkas literatur tentang kepemimpinan fungsional (lihat Kozlowski et al. (1996), Zaccaro et al. (2001), Hackman dan Walton (1986), Hackman & Wageman (2005), morge (2005)), Klein, Zeigert, Knight, dan Xiao (2006) mengamati lima fungsi luas yang dilakukan seorang pemimpin ketika mempromosikan efektivitas organisasi. Fungsi-fungsi ini meliputi pemantauan lingkungan, pengorganisasian kegiatan bawahan, pengajaran dan pembinaan bawahan, memotivasi orang lain, dan campur tangan secara aktif dalam pekerjaan kelompok.

Berbagai perilaku kepemimpinan diharapkan dapat memfasilitasi fungsi-fungsi tersebut. Dalam pekerjaan awal mengidentifikasi perilaku pemimpin, Fleishman (1953) mengamati bahwa bawahan menganggap perilaku supervisor mereka dalam dua kategori luas yang disebut sebagai pertimbangan dan struktur awal. Pertimbangan mencakup perilaku yang terlibat dalam membina hubungan yang efektif. Contoh perilaku seperti itu termasuk menunjukkan kepedulian terhadap bawahan atau bertindak dengan cara yang mendukung orang lain. Struktur inisiasi melibatkan tindakan pemimpin yang difokuskan secara khusus pada pencapaian tugas. Ini dapat mencakup klarifikasi peran, menetapkan standar kinerja, dan meminta pertanggungjawaban bawahan terhadap standar tersebut.

Teori psikologis terintegrasi

Teori Kepemimpinan Psikologis Terpadu adalah upaya untuk mengintegrasikan kekuatan teori yang lebih tua (yaitu sifat, perilaku / gaya, situasional dan fungsional) sambil mengatasi keterbatasan mereka, memperkenalkan elemen baru - kebutuhan bagi pemimpin untuk mengembangkan kehadiran kepemimpinan mereka, sikap terhadap orang lain dan fleksibilitas perilaku dengan mempraktikkan penguasaan psikologis. Ini juga menawarkan landasan bagi para pemimpin yang ingin menerapkan filosofi kepemimpinan yang melayani dan kepemimpinan otentik.

Teori Psikologi Terpadu mulai menarik perhatian setelah publikasi model James Scouller's Three Levels of Leadership (2011). Scouller berpendapat bahwa teori yang lebih tua hanya menawarkan bantuan terbatas dalam mengembangkan kemampuan seseorang untuk memimpin secara efektif. Dia menunjukkan, misalnya, bahwa:

  • Teori sifat, yang cenderung memperkuat gagasan bahwa pemimpin dilahirkan bukan dibuat, mungkin membantu kita memilih pemimpin, tetapi mereka kurang berguna untuk mengembangkan pemimpin.
  • Gaya yang ideal (misalnya gaya tim Blake & Mouton) tidak akan cocok untuk semua keadaan.
  • Sebagian besar teori situasional / kontingensi dan fungsional mengasumsikan bahwa para pemimpin dapat mengubah perilaku mereka untuk memenuhi keadaan yang berbeda atau memperluas jangkauan perilaku mereka sesuka hati, ketika dalam praktiknya banyak yang merasa sulit untuk melakukannya karena keyakinan, ketakutan, atau kebiasaan yang tidak disadari. Karena itu, menurutnya, para pemimpin perlu memperbaiki psikologi batin mereka.
  • Tak satu pun dari teori lama berhasil mengatasi tantangan mengembangkan "kehadiran kepemimpinan"; bahwa ada "sesuatu" tertentu dalam diri pemimpin yang dapat menarik perhatian, menginspirasi orang, memenangkan kepercayaan mereka, dan membuat pengikut ingin bekerja dengan mereka.
  • Tak satu pun dari teori lama berhasil mengatasi tantangan mengembangkan "kehadiran kepemimpinan"; bahwa "sesuatu" tertentu dalam diri pemimpin yang menarik perhatian, menginspirasi orang, memenangkan kepercayaan mereka, dan membuat pengikut ingin bekerja dengan mereka.

Scouller mengusulkan model Tiga Tingkat Kepemimpinan, yang kemudian dikategorikan sebagai teori "Psikologis Terpadu" di situs web pendidikan Businessballs. Intinya, modelnya bertujuan untuk merangkum apa yang harus dilakukan pemimpin, tidak hanya membawa kepemimpinan ke kelompok atau organisasinya, tetapi juga untuk mengembangkan diri secara teknis dan psikologis sebagai pemimpin.

Tiga tingkatan dalam modelnya adalah Kepemimpinan Publik, Pribadi dan Pribadi:

  • Dua yang pertama - kepemimpinan publik dan swasta - adalah tingkat "luar" atau perilaku. Ini adalah perilaku yang merujuk pada apa yang disebut Scouller sebagai "empat dimensi kepemimpinan". Dimensi ini adalah: (1) tujuan bersama yang memotivasi kelompok; (2) aksi, kemajuan dan hasil; (3) kesatuan kolektif atau semangat tim; (4) seleksi dan motivasi individu. Kepemimpinan publik berfokus pada 34 perilaku yang terlibat dalam mempengaruhi dua orang atau lebih secara bersamaan. Kepemimpinan pribadi mencakup 14 perilaku yang diperlukan untuk mempengaruhi individu secara pribadi.
  • Ketiga - kepemimpinan pribadi - adalah tingkat "batin" dan menyangkut pertumbuhan seseorang menuju kehadiran, pengetahuan, dan keterampilan kepemimpinan yang lebih besar. Mengembangkan kepemimpinan pribadi memiliki tiga aspek: (1) Pengetahuan dan keterampilan teknis (2) Mengembangkan sikap yang benar terhadap orang lain - yang merupakan dasar dari kepemimpinan yang melayani (3) Penguasaan diri secara psikologis - dasar untuk kepemimpinan yang otentik.

Scouller berpendapat bahwa penguasaan diri adalah kunci untuk menumbuhkan kehadiran kepemimpinan seseorang, membangun hubungan saling percaya dengan pengikut dan menghilangkan kepercayaan dan kebiasaan yang membatasi seseorang, sehingga memungkinkan fleksibilitas perilaku ketika keadaan berubah, sambil tetap terhubung dengan nilai-nilai inti seseorang (yaitu, sambil tetap otentik). Untuk mendukung perkembangan para pemimpin, ia memperkenalkan model baru jiwa manusia dan menguraikan prinsip dan teknik penguasaan diri, yang mencakup praktik meditasi kesadaran.

Teori transaksional dan transformasional

Bernard Bass dan rekannya mengembangkan gagasan tentang dua jenis kepemimpinan, transaksional yang melibatkan pertukaran tenaga kerja untuk penghargaan dan transformasional yang didasarkan pada kepedulian terhadap karyawan, stimulasi intelektual, dan memberikan visi kelompok.

Pemimpin transaksional (Burns, 1978) diberi kekuasaan untuk melakukan tugas tertentu dan memberi penghargaan atau menghukum untuk kinerja tim. Ini memberi kesempatan kepada manajer untuk memimpin kelompok dan kelompok setuju untuk mengikuti petunjuknya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan imbalan sesuatu yang lain. Kekuasaan diberikan kepada pemimpin untuk mengevaluasi, mengoreksi, dan melatih bawahan ketika produktivitas tidak mencapai tingkat yang diinginkan, dan menghargai efektivitas ketika hasil yang diharapkan tercapai.

Teori pertukaran pemimpin-anggota

Teori LMX ini membahas aspek tertentu dari proses kepemimpinan yaitu teori pertukaran pemimpin-anggota (LMX), [41] yang berevolusi dari teori sebelumnya yang disebut model vertical dyad linkage (VDL). [42] Kedua model ini berfokus pada interaksi antara pemimpin dan pengikut individu. Mirip dengan pendekatan transaksional, interaksi ini dipandang sebagai pertukaran yang adil di mana pemimpin memberikan manfaat tertentu seperti bimbingan tugas, nasihat, dukungan, dan / atau penghargaan signifikan dan pengikut membalas dengan memberikan rasa hormat, kerja sama, komitmen kepada pemimpin. dan performa bagus. Namun, LMX menyadari bahwa pemimpin dan pengikut individu akan bervariasi dalam jenis pertukaran yang berkembang di antara mereka. [43] LMX berteori bahwa jenis pertukaran antara pemimpin dan pengikut tertentu dapat mengarah pada pembuatan grup dalam dan luar. Anggota dalam grup dikatakan memiliki pertukaran berkualitas tinggi dengan pemimpin, sementara anggota grup luar memiliki kualitas pertukaran rendah dengan pemimpin.

Anggota dalam grup

Anggota dalam kelompok dianggap oleh pemimpin sebagai lebih berpengalaman, kompeten, dan bersedia memikul tanggung jawab daripada pengikut lainnya. Pemimpin mulai mengandalkan individu-individu ini untuk membantu tugas-tugas yang sangat menantang. Jika pengikut merespons dengan baik, pemimpin memberi penghargaan kepadanya dengan pembinaan ekstra, penugasan kerja yang menguntungkan, dan pengalaman pengembangan. Jika pengikut menunjukkan komitmen dan upaya tinggi diikuti dengan penghargaan tambahan, kedua belah pihak mengembangkan rasa saling percaya, pengaruh, dan dukungan satu sama lain. Penelitian menunjukkan anggota dalam kelompok biasanya menerima evaluasi kinerja yang lebih tinggi dari pemimpin, kepuasan yang lebih tinggi, dan promosi yang lebih cepat daripada anggota luar kelompok. Anggota dalam kelompok juga cenderung membangun ikatan yang lebih kuat dengan pemimpin mereka dengan berbagi latar belakang dan minat sosial yang sama.

Anggota luar kelompok

Anggota luar kelompok sering menerima lebih sedikit waktu dan pertukaran yang lebih jauh daripada rekan mereka dalam kelompok. Dengan anggota luar kelompok, pemimpin mengharapkan tidak lebih dari kinerja pekerjaan yang memadai, kehadiran yang baik, rasa hormat yang wajar, dan kepatuhan terhadap uraian pekerjaan dengan imbalan upah yang adil dan tunjangan standar. Pemimpin menghabiskan lebih sedikit waktu dengan anggota luar kelompok, mereka memiliki pengalaman perkembangan yang lebih sedikit, dan pemimpin cenderung menekankan otoritas formalnya untuk mendapatkan kepatuhan terhadap permintaan pemimpin. Penelitian menunjukkan bahwa anggota kelompok luar kurang puas dengan pekerjaan dan organisasi mereka, menerima evaluasi kinerja yang lebih rendah dari pemimpin, melihat pemimpin mereka kurang adil, dan lebih mungkin untuk mengajukan keluhan atau meninggalkan organisasi.

Emosi

Kepemimpinan dapat dianggap sebagai proses yang berhubungan berat dengan emosi, dengan emosi yang berkait dengan proses pengaruh sosial. Dalam sebuah organisasi, suasana hati pemimpin memiliki beberapa pengaruh pada kelompoknya. Efek ini dapat dijelaskan dalam tiga tingkatan:

  1. Suasana hati masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok dengan pemimpin dengan suasana hati yang positif mengalami perasaan yang lebih positif daripada anggota kelompok dengan pemimpin yang memiliki suasana hati yang negatif. Para pemimpin mengirimkan suasana hati mereka kepada anggota kelompok lain melalui mekanisme penularan emosional. Penularan suasana hati merupakan salah satu mekanisme psikologis yang digunakan oleh pemimpin karismatik untuk mempengaruhi pengikutnya.
  2. Nada afektif kelompok. Nada afektif kelompok mewakili reaksi afektif yang konsisten atau homogen dalam suatu kelompok. Nada afektif kelompok adalah kumpulan suasana hati anggota individu kelompok dan mengacu pada suasana hati pada tingkat analisis kelompok. Kelompok dengan pemimpin dalam suasana hati yang positif memiliki nada afektif yang lebih positif daripada kelompok dengan pemimpin dalam suasana hati yang negatif.
  3. Kelompok memproses hal-hal seperti koordinasi, pengeluaran usaha, dan strategi tugas. Pengekspresian suasana hati di depan umum memengaruhi cara anggota kelompok berpikir dan bertindak. Ketika orang mengalami dan mengekspresikan suasana hati, mereka mengirimkan sinyal kepada orang lain. Para pemimpin menandai tujuan, niat, dan sikap mereka melalui ekspresi suasana hati mereka. Misalnya, ekspresi suasana hati yang positif oleh para pemimpin menandakan bahwa para pemimpin menganggap kemajuan menuju tujuan itu baik. Anggota kelompok menanggapi sinyal tersebut secara kognitif dan perilaku dengan cara yang tercermin dalam proses kelompok.

Dalam penelitian tentang layanan klien, ditemukan bahwa ekspresi mood yang positif oleh pemimpin dapat meningkatkan kinerja kelompok, meskipun pada sektor lain terdapat temuan lain.[46]

Di luar suasana hati pemimpin, perilakunya merupakan sumber emosi positif dan negatif karyawan di tempat kerja. Pemimpin menciptakan situasi dan peristiwa yang mengarah pada respons emosional. Perilaku pemimpin tertentu yang ditampilkan selama interaksi dengan karyawan mereka adalah sumber dari peristiwa afektif ini. Pemimpin membentuk afektif di tempat kerja. Contoh - pemberian umpan balik, pengalokasian tugas, distribusi sumber daya. Karena perilaku dan produktivitas karyawan secara langsung dipengaruhi oleh keadaan emosional mereka, sangat penting untuk mempertimbangkan tanggapan emosional karyawan terhadap pemimpin organisasi. [47]Kecerdasan emosional, kemampuan untuk memahami dan mengatur suasana hati dan emosi dalam diri sendiri dan orang lain, berkontribusi pada kepemimpinan yang efektif dalam organisasi.

Teori Neo-Muncul

Teori kepemimpinan neo-emergent (dari Oxford Strategic Leadership Program[48]) melihat kepemimpinan sebagai kesan yang dibentuk melalui komunikasi informasi oleh pemimpin atau oleh pemangku kepentingan lainnya, bukan melalui tindakan sebenarnya dari pemimpin itu sendiri. [Dengan kata lain, reproduksi informasi atau cerita menjadi dasar persepsi mayoritas tentang kepemimpinan. Diketahui bahwa pahlawan angkatan laut Lord Nelson sering menulis versinya sendiri tentang pertempuran tempat dia terlibat, sehingga ketika dia tiba di rumah di Inggris dia akan menerima sambutan pahlawan sejati. Dalam masyarakat modern , pers, blog, dan sumber lain melaporkan pandangan mereka sendiri tentang para pemimpin, yang mungkin didasarkan pada kenyataan, tetapi mungkin juga didasarkan pada perintah politik, pembayaran, atau kepentingan yang melekat pada penulis, media, atau pemimpin. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa persepsi semua pemimpin diciptakan dan pada kenyataannya sama sekali tidak mencerminkan kualitas kepemimpinan mereka yang sebenarnya. Oleh karena itu fungsi historis kepercayaan pada (misalnya) darah bangsawan sebagai landasan untuk kepercayaan atau analisis keterampilan pemerintahan yang efektif.

Analisis konstruktivis

Beberapa konstruktivis mempertanyakan apakah kepemimpinan itu ada, atau menyarankan bahwa (misalnya) kepemimpinan "adalah mitos yang setara dengan kepercayaan pada UFO".

Peranan kepemimpinan

Tiap organisasi yang memerlukan kerjasama antar manusia dan menyadari bahwa masalah manusia yang utama adalah masalah kepemimpinan. Kita melihat perkembangan dari kepemimpinan pra ilmiah kepada kepemimpinan yang ilmiah. Dalam tingkatan ilmiah kepemimpinan itu disandarkan kepada pengalaman intuisi, dan kecakapan praktis. Kepemimpinan itu dipandang sebagai pembawaan seseorang sebagai anugerah Tuhan. Karena itu dicarilah orang yang mempunyai sifat-sifat istimewa yang dipandang sebagai syarat suksesnya seorang pemimpin. Dalam tingkatan ilmiyah kepemimpinan dipandang sebagai suatu fungsi, bukan sebagai kedudukan atau pembawaan pribadi seseorang. Maka diadakanlah suatu analisis tentan gunsur-unsur dan fungsi yang dapat menjelaskan kepada kita, syarat-syarat apa yang diperlukan agar pemimpin dapat bekerja secara efektif dalam situasi yang berbeda-beda. Pandangan baru ini membawa pembahasan besar. Cara bekerja dan sikap seorang pemimpin yang dipelajari. Konsepsi baru tentang kepemimpinan melahirkan peranan baru yang harus dimainkan oleh seorang pemimpin. Titik berat beralihkan dari pemimpin sebagai orang yang membuat rencana, berpikir dan mengambil tanggung jawab untuk kelompok serta memberikan arah kepada orang-orang lain. Kepada anggapan, bahwa pemimpin itu pada tingkatan pertama adalah pelatih dan koordinator bagi kelompoknya. Fungsi yang utama adalah membantu kelompok untuk belajar memutuskan dan bekerja secara lebih efisien dalam peranannya sebagai pelatih seorang pemimpin dapat memberikan bantuan-bantuan yang khas. Yaitu:

  • Pemimpin membantu akan terciptanya suatu iklim sosial yang baik.
  • Pemimpin membantu kelompok dalam menetapkan prosedur-prosedur kerja.
  • Pemimpim membantu kelompok untuk mengorganisasi diri.
  • Pemimpin bertanggung jawab dalam mengambil keputusan sama dengan kelompok.
  • Pemimpin memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajar dari pengalaman.

Kepemimpinan Yang Efektif

Barangkali pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya ratusan buku yang membahas kepemimpinan. Terdapat nasihat tentang siapa yang harus ditiru (Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang harus dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma), perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang), perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin), pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas pribadi dari kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa dipercaya), bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam diri anda), dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan tanya). Terdapat lebih dari 3000 buku yang judulnya mengandung kata pemimpin (leader). Bagaimana menjadi pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku. Guru manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat: "fondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata. Salah satu guru kepemimpinan adalah John Maxwell dengan bukunya "21 Laws Of Leadership."

Kepemimpinan Karismatik

Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik. Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa. Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap sebagai seorang pemimpin.

Kemunculan Kepemimpinan

Dalam kemunculan kepemimpinan, banyak karakteristik kepribadian yang ditemukan.  Daftar ini mencakup: ketegasan, keaslian, faktor kepribadian Lima Besar, urutan kelahiran, kekuatan karakter, dominasi, kecerdasan emosional, identitas gender, kecerdasan, narsisme, efikasi diri untuk kepemimpinan, pemantauan diri dan motivasi sosial, dan masih banyak lagi. Kemunculan kepemimpinan adalah gagasan bahwa orang yang lahir dengan karakteristik tertentu akan menjadi pemimpin, dan mereka yang tidak memiliki karakteristik tersebut tidak menjadi pemimpin. Orang-orang hebat seperti Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, dan Nelson Mandela semuanya memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki orang biasa. Ini termasuk orang-orang yang memilih untuk berpartisipasi dalam peran kepemimpinan, dibandingkan dengan mereka yang tidak. Penelitian menunjukkan bahwa hingga 30% kemunculan pemimpin memiliki dasar genetik. Tidak ada penelitian terkini yang menunjukkan bahwa ada “gen kepemimpinan”, tetapi kita mewarisi ciri-ciri tertentu yang mungkin mempengaruhi keputusan kita untuk mencari kepemimpinan. Baik bukti anekdot maupun empiris mendukung hubungan yang stabil antara sifat-sifat tertentu dan perilaku kepemimpinan. Menggunakan sampel internasional yang besar, peneliti menemukan bahwa ada tiga faktor yang memotivasi pemimpin; identitas afektif (kenikmatan memimpin), non-kalkulatif (memimpin mendapatkan penguatan), dan sosial-normatif (rasa kewajiban).

Ketegasan

Hubungan antara ketegasan dan kemunculan kepemimpinan bersifat melengkung; individu yang memiliki sifat asertif yang sangat rendah atau sangat tinggi cenderung tidak diidentifikasi sebagai pemimpin.

Keaslian

Individu yang lebih sadar akan kualitas kepribadian mereka, termasuk nilai dan keyakinan mereka, dan tidak bias saat memproses informasi, lebih cenderung diterima sebagai pemimpin.

Faktor kepribadian Lima Besar

Mereka yang muncul sebagai pemimpin cenderung lebih (urutan dalam kekuatan hubungan dengan munculnya kepemimpinan): ekstrover, teliti, stabil secara emosional, dan terbuka untuk pengalaman, walaupun kecenderungan ini lebih kuat dalam penelitian laboratorium kelompok tanpa pemimpin. Sedangkan persetujuan, faktor terakhir dari Lima Besar ciri kepribadian, tampaknya tidak memainkan peran yang berarti dalam munculnya kepemimpinan.

Urutan lahir

Mereka yang lahir pertama dalam keluarga dan anak tunggal dihipotesiskan lebih terdorong untuk mencari kepemimpinan dan kendali dalam lingkungan sosial. Anak-anak kelahiran tengah cenderung menerima peran pengikut dalam kelompok, dan mereka yang lahir belakangan dianggap lebih pemberontak dan kreatif.

Kekuatan karakter

Mereka yang mencari posisi kepemimpinan dalam organisasi militer telah mendapatkan skor tinggi pada sejumlah indikator kekuatan karakter, termasuk kejujuran, harapan, keberanian, industri, dan kerja tim.

Dominasi

Individu dengan kepribadian dominan - mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang yang memiliki keinginan tinggi untuk mengontrol lingkungan mereka dan mempengaruhi orang lain, dan cenderung mengekspresikan pendapat mereka dengan cara yang kuat - lebih cenderung bertindak sebagai pemimpin dalam situasi kelompok kecil.

Kecerdasan emosional

Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi memiliki kemampuan yang lebih untuk memahami dan berhubungan dengan orang lain. Mereka memiliki keterampilan dalam mengkomunikasikan dan memecahkan kode emosi serta bersikap bijaksana dan efektif dalam menghadapi orang lain. Orang-orang seperti itu mengomunikasikan gagasan mereka dengan kuat, lebih mampu membaca politik suatu dari suatu situasi, cenderung tidak kehilangan kendali atas emosi mereka, cenderung tidak marah atau kritis secara tidak tepat, dan sebagai konsekuensinya lebih cenderung muncul sebagai pemimpin.

Intelijen

Individu dengan kecerdasan yang lebih tinggi menunjukkan penilaian yang superior, keterampilan verbal yang lebih tinggi (baik tertulis maupun lisan), lebih cepat memahami pengetahuan, dan cenderung muncul sebagai pemimpin. Korelasi antara IQ dan munculnya kepemimpinan ditemukan antara 0,25 dan 0,30. Namun, kelompok umumnya lebih memilih pemimpin yang tidak melebihi kecakapan kecerdasan rata-rata anggota, karena mereka takut bahwa kecerdasan yang tinggi dapat tidak berarti sama dalam komunikasi, kepercayaan, kepentingan dan nilai-nilai.

Kepercayaan diri untuk memimpin

Keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk memimpin dikaitkan dengan peningkatan kesediaan seseorang untuk menerima peran kepemimpinan dan kesuksesan dalam peran itu.

Pemantauan diri

Pribadi dengan pemantauan diri yang tinggi lebih mungkin muncul sebagai pemimpin kelompok dibanding mereka dengan pemantauan diri yang rendah, karena mereka lebih peduli dengan peningkatan status dan lebih cenderung menyesuaikan tindakan mereka agar sesuai dengan tuntutan situasi.

Motivasi sosial

Individu yang berorientasi pada kesuksesan dan afiliasi, seperti yang dinilai dengan ukuran proyektif, lebih aktif dalam pengaturan pemecahan masalah kelompok dan lebih mungkin untuk dipilih ke posisi kepemimpinan dalam kelompok tersebut.

Narsisme, keangkuhan, dan sifat negatif lainnya

Sejumlah sifat negatif kepemimpinan juga telah dipelajari. Individu yang mengambil peran kepemimpinan dalam situasi yang bergejolak, seperti kelompok yang menghadapi ancaman atau yang statusnya ditentukan oleh persaingan yang ketat antar rival dalam kelompok, cenderung narsistik: sombong, egois, bermusuhan, dan terlalu percaya diri.

Pemimpin yang absen

Penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa pemimpin yang absen - mereka yang naik ke kekuasaan, tetapi tidak karena keterampilan mereka, dan tidak terlalu terlibat dengan peran mereka - sebenarnya lebih buruk daripada pemimpin yang merusak, karena butuh waktu lebih lama untuk menunjukkan kesalahan mereka.

Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah gaya pemimpin dalam memberikan arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi orang. Itu adalah hasil filosofi, kepribadian, dan pengalaman pemimpin. Spesialis retorika juga telah mengembangkan model untuk memahami kepemimpinan (Robert Hariman, Political Style, Philippe-Joseph Salazar, L'Hyperpolitique. Technologies politiques De La Domination).

Situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Dalam keadaan darurat ketika hanya ada sedikit waktu untuk menyatukan kesepakatan dan di mana otoritas yang ditunjuk memiliki pengalaman atau keahlian yang jauh lebih banyak daripada anggota tim lainnya, gaya kepemimpinan otokratis mungkin paling efektif; namun, dalam tim yang sangat termotivasi dan selaras dengan tingkat keahlian yang homogen, gaya yang lebih demokratis atau Laissez-faire mungkin lebih efektif. Gaya yang diadopsi harus menjadi salah satu yang paling efektif mencapai tujuan kelompok sambil menyeimbangkan kepentingan masing-masing anggotanya. Bidang di mana gaya kepemimpinan mendapat perhatian kuat adalah bidang ilmu militer, baru-baru ini mengungkapkan pandangan kepemimpinan yang holistik dan terintegrasi, termasuk bagaimana kehadiran fisik seorang pemimpin menentukan bagaimana orang lain memandang pemimpin itu. Faktor kehadiran fisik adalah bantalan militer, kebugaran fisik, kepercayaan diri, dan ketahanan. Kapasitas intelektual pemimpin membantu membuat konsep solusi dan memperoleh pengetahuan untuk melakukan pekerjaan itu. Kemampuan konseptual seorang pemimpin menerapkan ketangkasan, penilaian, inovasi, kebijaksanaan interpersonal, dan pengetahuan domain. Pengetahuan domain untuk para pemimpin mencakup pengetahuan taktis dan teknis serta kesadaran budaya dan geopolitik.

Otokratis atau otoriter

Di bawah gaya kepemimpinan otokratis, semua kekuatan pengambilan keputusan dipusatkan di pemimpin, seperti halnya diktator.

Pemimpin otokratis tidak meminta atau menerima saran atau inisiatif dari bawahan. Manajemen otokrasi telah berhasil karena memberikan motivasi yang kuat kepada manajer. Ini memungkinkan pengambilan keputusan yang cepat, karena hanya satu orang yang memutuskan untuk seluruh kelompok dan menyimpan setiap keputusan untuk dirinya sendiri sampai dia merasa perlu untuk dibagikan dengan anggota kelompok lainnya.

Partisipatif atau demokratis

Gaya kepemimpinan demokratis terdiri dari pemimpin yang berbagi kemampuan pengambilan keputusan dengan anggota kelompok dengan mempromosikan kepentingan anggota kelompok dan dengan mempraktikkan kesetaraan sosial. Ini juga disebut kepemimpinan bersama.

Laissez-faire atau Free-rein Leadership

Dalam kepemimpinan Laissez-faire atau kebebasan, pengambilan keputusan diteruskan ke sub-ordinat. Gaya kepemimpinan ini dikenal dengan “laissez faire” yang artinya tidak ada campur tangan dalam urusan orang lain. (Frasa laissez-faire adalah bahasa Prancis dan secara harfiah berarti "biarkan mereka melakukan"). Para bawahan diberi hak dan kekuasaan penuh untuk membuat keputusan guna menetapkan tujuan dan mengatasi masalah atau rintangan.

Para pengikut diberikan kemandirian dan kebebasan yang tinggi untuk merumuskan tujuan dan cara mereka sendiri untuk mencapainya.

Berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan

Artikel utama: Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan

Kepemimpinan berorientasi tugas adalah gaya di mana pemimpin difokuskan pada tugas-tugas yang perlu dilakukan untuk memenuhi tujuan produksi tertentu. Pemimpin yang berorientasi pada tugas umumnya lebih peduli dengan menghasilkan solusi langkah demi langkah untuk masalah atau tujuan tertentu, dengan ketat memastikan tenggat waktu ini terpenuhi, hasil dan mencapai hasil yang ditargetkan.

Kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan adalah gaya yang kontras di mana pemimpin lebih fokus pada hubungan di antara kelompok dan umumnya lebih peduli dengan kesejahteraan dan kepuasan anggota kelompok secara keseluruhan. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan menekankan komunikasi dalam kelompok, menunjukkan kepercayaan dan kepercayaan pada anggota kelompok, dan menunjukkan penghargaan atas pekerjaan yang telah dilakukan.

Pemimpin yang berorientasi pada tugas biasanya kurang peduli dengan gagasan melayani anggota kelompok, dan lebih peduli dengan memperoleh solusi tertentu untuk memenuhi tujuan produksi. Untuk alasan ini, mereka biasanya dapat memastikan bahwa tenggat waktu terpenuhi, namun kesejahteraan anggota kelompok mereka mungkin terganggu. Para pemimpin ini memiliki fokus mutlak pada tujuan dan tugas-tugas yang dipotong untuk setiap anggota. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan difokuskan pada pengembangan tim dan hubungan di dalamnya. Hal positif dari memiliki lingkungan seperti ini adalah anggota tim lebih termotivasi dan memiliki dukungan. Namun, penekanan pada hubungan sebagai lawan menyelesaikan pekerjaan mungkin membuat produktivitas menurun.

Paternalisme

Gaya kepemimpinan paternalisme sering kali mencerminkan pola pikir figur ayah. Struktur tim diatur secara hierarkis di mana pemimpin dilihat di atas pengikut. Pemimpin juga memberikan arahan profesional dan pribadi dalam kehidupan anggota. Seringkali ada batasan pada pilihan yang dapat dipilih anggota karena arahan berat yang diberikan oleh pemimpin. Istilah paternalisme berasal dari bahasa Latin yang berarti "ayah". Pemimpinnya paling sering adalah laki-laki. Gaya kepemimpinan ini sering ditemukan di Rusia, Afrika, dan Masyarakat Asia Pasifik.

Kepemimpinan yang melayani

Dengan transformasi menjadi masyarakat pengetahuan, konsep kepemimpinan yang melayani menjadi lebih populer, terutama melalui gaya manajemen teknologi modern seperti Agile. Dalam gaya ini, kepemimpinan dieksternalisasi dari pemimpin yang berfungsi sebagai penjaga metodologi dan "pelayan" atau penyedia layanan bagi tim yang dipimpinnya. Kohesi dan arahan bersama dari tim ditentukan oleh budaya yang sama, tujuan bersama dan terkadang metodologi tertentu. Gaya ini berbeda dari laissez-faire karena pemimpinnya terus-menerus bekerja untuk mencapai tujuan bersama sebagai sebuah tim, tetapi tanpa memberikan arahan eksplisit pada tugas.

Perbedaan kepemimpinan dipengaruhi oleh gender

Faktor lain yang mempengaruhi gaya kepemimpinan adalah apakah orang tersebut laki-laki atau perempuan. Ketika pria dan wanita berkumpul dalam kelompok, mereka cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang berbeda. Pria umumnya mengambil gaya kepemimpinan agen. Mereka berorientasi pada tugas, aktif, fokus pada keputusan, mandiri dan berorientasi pada tujuan. Wanita, di sisi lain, umumnya lebih komunal ketika mereka mengambil posisi kepemimpinan; mereka berusaha untuk membantu orang lain, hangat dalam hubungan dengan orang lain, memahami, dan memperhatikan perasaan orang lain. Secara umum, ketika perempuan diminta untuk menggambarkan diri mereka kepada orang lain dalam kelompok yang baru dibentuk, mereka menekankan kualitas komunal mereka yang terbuka, adil, bertanggung jawab, dan menyenangkan. Mereka memberi nasihat, menawarkan jaminan, dan mengelola konflik dalam upaya memelihara hubungan positif di antara anggota kelompok. Wanita terhubung secara lebih positif dengan anggota kelompok dengan tersenyum, menjaga kontak mata, dan menanggapi komentar orang lain dengan bijaksana. Pria, sebaliknya, mendeskripsikan diri mereka sebagai orang yang berpengaruh, kuat, dan ahli dalam tugas yang perlu diselesaikan. Mereka cenderung lebih fokus pada memulai struktur dalam grup, menetapkan standar dan tujuan, mengidentifikasi peran, menentukan tanggung jawab dan prosedur operasi standar, mengusulkan solusi untuk masalah, memantau kepatuhan terhadap prosedur, dan terakhir, menekankan perlunya produktivitas dan efisiensi dalam pekerjaan yang perlu dilakukan. Sebagai pemimpin, pria terutama berorientasi pada tugas, tetapi wanita cenderung berorientasi pada tugas dan hubungan. Namun, penting untuk dicatat bahwa perbedaan jenis kelamin ini hanyalah kecenderungan, dan tidak memanifestasikan dirinya dalam diri pria dan wanita di semua kelompok dan situasi. Meta-analisis menunjukkan bahwa orang mengasosiasikan maskulinitas dan agensi lebih kuat dengan kepemimpinan daripada feminitas dan persekutuan. Stereotip semacam itu mungkin berdampak pada evaluasi kepemimpinan pria dan wanita.

Hambatan bagi pemimpin wanita non-barat

Banyak alasan yang dapat berkontribusi pada hambatan yang secara khusus mempengaruhi masuknya perempuan ke dalam kepemimpinan. Hambatan ini juga berubah sesuai dengan budaya yang berbeda. Terlepas dari peningkatan jumlah pemimpin perempuan di dunia, hanya sebagian kecil yang berasal dari budaya non-kebarat-baratan. Penting untuk dicatat bahwa meskipun penghalang yang tercantum di bawah ini mungkin lebih parah dalam budaya non-barat, itu tidak berarti bahwa budaya kebarat-baratan tidak memiliki penghalang ini juga. Ini bertujuan untuk membandingkan perbedaan antara keduanya.

Penelitian dan Literatur

Meskipun ada banyak penelitian yang dilakukan tentang kepemimpinan bagi perempuan dalam dekade terakhir, sangat sedikit penelitian yang dilakukan untuk perempuan dalam budaya paternalistik. Literatur dan penelitian yang dilakukan agar perempuan muncul ke dalam masyarakat yang lebih memilih laki-laki masih kurang. Hal ini pada akhirnya menghalangi perempuan untuk mengetahui bagaimana mencapai tujuan kepemimpinan individu mereka, dan gagal untuk mendidik rekan laki-laki dalam perbedaan ini.

Cuti Bersalin

Penelitian telah menunjukkan pentingnya cuti melahirkan yang dibayar lebih lama dan dampak positifnya terhadap kesehatan mental karyawan perempuan dan kembali bekerja. Di Swedia, ditunjukkan bahwa peningkatan fleksibilitas waktu bagi ibu untuk kembali bekerja, menurunkan kemungkinan laporan kesehatan mental yang buruk. Dalam budaya non-barat yang sebagian besar mengikuti paternalisme, kurangnya pengetahuan tentang manfaat cuti melahirkan berdampak pada dukungan yang diberikan kepada perempuan selama masa penting dalam hidup mereka.

Masyarakat dan Hukum

Negara-negara tertentu yang menganut paternalisme, seperti India, masih membiarkan perempuan diperlakukan tidak adil. Perkawinan anak dan hukuman ringan bagi pelaku kejahatan terhadap perempuan, membentuk pandangan masyarakat tentang bagaimana perempuan seharusnya diperlakukan. Hal ini dapat mencegah wanita merasa nyaman untuk berbicara baik dalam lingkungan pribadi maupun profesional.

Langit-langit Kaca dan Tebing Kaca

Wanita yang bekerja dalam budaya atau industri yang sangat paternalistik (misalnya industri minyak atau teknik), sering menghadapi keterbatasan dalam karier mereka yang mencegah mereka untuk naik lebih jauh. Pergaulan ini sering kali disebabkan oleh mentalitas bahwa hanya laki-laki yang memiliki ciri kepemimpinan. Istilah tebing kaca mengacu pada proyek yang tidak diinginkan yang sering diberikan kepada perempuan karena memiliki peningkatan risiko kegagalan. Proyek yang tidak diinginkan ini diberikan kepada karyawan wanita di mana mereka lebih cenderung gagal dan meninggalkan organisasi.

Performa

Di masa lalu, beberapa peneliti berpendapat bahwa pengaruh sebenarnya dari pemimpin pada hasil organisasi terlalu dibesar-besarkan dan diromantisasi sebagai hasil dari atribusi bias tentang pemimpin (Meindl & Ehrlich, 1987). Terlepas dari pernyataan ini, bagaimanapun, sebagian besar diakui dan diterima oleh praktisi dan peneliti bahwa kepemimpinan itu penting, dan penelitian mendukung gagasan bahwa pemimpin memang berkontribusi pada hasil organisasi utama (Day & Lord, 1988; Kaiser, Hogan, & Craig, 2008) . Untuk memfasilitasi kinerja yang sukses, penting untuk memahami dan mengukur kinerja kepemimpinan secara akurat.

Prestasi kerja umumnya mengacu pada perilaku yang diharapkan memberikan kontribusi bagi keberhasilan organisasi (Campbell, 1990). Campbell mengidentifikasi sejumlah jenis dimensi kinerja; kepemimpinan adalah salah satu dimensi yang dia identifikasi. Tidak ada definisi keseluruhan yang konsisten dari kinerja kepemimpinan (Yukl, 2006). Banyak konseptualisasi yang berbeda sering disatukan di bawah payung kinerja kepemimpinan, termasuk hasil seperti efektivitas pemimpin, kemajuan pemimpin, dan kemunculan pemimpin (Kaiser et al., 2008). Misalnya, kinerja kepemimpinan dapat merujuk pada keberhasilan karier pemimpin individu, kinerja kelompok atau organisasi, atau bahkan kemunculan pemimpin. Masing-masing ukuran ini dapat dianggap berbeda secara konseptual. Meskipun aspek-aspek ini mungkin terkait, namun hasilnya berbeda dan pencantumannya harus bergantung pada fokus terapan atau penelitian.

"Cara lain untuk mengkonseptualisasikan kinerja pemimpin adalah dengan fokus pada hasil dari pengikut, kelompok, tim, unit, atau organisasi pemimpin. Dalam mengevaluasi jenis kinerja pemimpin ini, dua strategi umum biasanya digunakan. Yang pertama bergantung pada persepsi subjektif dari pemimpin tersebut. kinerja pemimpin dari bawahan, atasan, atau kadang-kadang rekan kerja atau pihak lain. Jenis ukuran efektivitas lainnya adalah indikator yang lebih obyektif dari kinerja pengikut atau unit, seperti ukuran produktivitas, pencapaian tujuan, angka penjualan, atau kinerja keuangan unit (Bass & Riggio , 2006, hlm. 47)."

Seorang pemimpin beracun adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab atas sekelompok orang atau organisasi, dan yang menyalahgunakan hubungan pemimpin-pengikut dengan meninggalkan kelompok atau organisasi dalam kondisi yang lebih buruk daripada ketika dia bergabung.

Sifat

Kebanyakan teori di abad ke-20 menyatakan bahwa pemimpin besar dilahirkan, bukan dibuat. Studi terkini menunjukkan bahwa kepemimpinan jauh lebih kompleks dan tidak dapat diringkas menjadi beberapa ciri utama individu. Pengamatan dan studi bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa satu sifat atau sekumpulan sifat tidak membuat seorang pemimpin yang luar biasa. Apa yang dapat diperoleh para sarjana adalah bahwa ciri-ciri kepemimpinan individu tidak berubah dari satu situasi ke situasi lain; ciri-ciri tersebut termasuk kecerdasan, ketegasan, atau daya tarik fisik.[78] Namun, setiap ciri utama dapat diterapkan pada situasi secara berbeda, tergantung pada situasinya. Berikut ini adalah ringkasan dari ciri-ciri kepemimpinan utama yang ditemukan dalam penelitian oleh Jon P. Howell, profesor bisnis di New Mexico State University dan penulis buku Snapshots of Great Leadership

Penentuan dan dorongan mencakup sifat-sifat seperti inisiatif, energi, ketegasan, ketekunan, dan terkadang dominasi. Orang-orang dengan sifat-sifat ini sering kali cenderung mengejar tujuan mereka dengan sepenuh hati, bekerja berjam-jam, ambisius, dan sering kali sangat kompetitif dengan orang lain. Kapasitas kognitif meliputi kecerdasan, kemampuan analitis dan verbal, fleksibilitas perilaku, dan penilaian yang baik. Individu dengan ciri-ciri ini mampu merumuskan solusi untuk masalah yang sulit, bekerja dengan baik di bawah tekanan atau tenggat waktu, beradaptasi dengan situasi yang berubah, dan membuat rencana yang matang untuk masa depan. Howell memberikan contoh Steve Jobs dan Abraham Lincoln yang mencakup sifat determinasi dan dorongan serta memiliki kapasitas kognitif, yang ditunjukkan oleh kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka yang terus berubah.

Kepercayaan diri mencakup sifat harga diri yang tinggi, ketegasan, stabilitas emosi, dan kepercayaan diri. Individu yang percaya diri tidak meragukan diri sendiri atau kemampuan dan keputusan mereka; mereka juga memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kepercayaan diri ini kepada orang lain, membangun kepercayaan dan komitmen mereka. Integritas ditunjukkan pada individu yang jujur, dapat dipercaya, berprinsip, konsisten, dapat diandalkan, setia, dan tidak menipu. Pemimpin berintegritas sering berbagi nilai-nilai ini dengan pengikut mereka, karena sifat ini terutama merupakan masalah etika. Sering dikatakan bahwa para pemimpin ini menepati janji mereka dan jujur serta terbuka dengan kelompok mereka. Sosiabilitas menggambarkan individu yang ramah, ekstrover, bijaksana, fleksibel, dan kompeten secara interpersonal. Sifat seperti itu memungkinkan pemimpin diterima dengan baik oleh publik, menggunakan langkah-langkah diplomatik untuk menyelesaikan masalah, serta memiliki kemampuan untuk menyesuaikan kepribadian sosialnya dengan situasi yang dihadapi. Menurut Howell, Bunda Teresa adalah contoh luar biasa yang mewujudkan integritas, ketegasan, dan kemampuan sosial dalam hubungan diplomatiknya dengan para pemimpin dunia.

Beberapa pemimpin hebat mencakup semua sifat yang disebutkan di atas, tetapi banyak yang memiliki kemampuan untuk menerapkan beberapa di antaranya agar berhasil sebagai pelopor organisasi atau situasi mereka.

Model ontologis-fenomenologis

Salah satu definisi yang lebih baru tentang kepemimpinan berasal dari Werner Erhard, Michael C. Jensen, Steve Zaffron, dan Kari Granger yang menggambarkan kepemimpinan sebagai "latihan dalam bahasa yang menghasilkan realisasi masa depan yang tidak akan terjadi bagaimanapun juga, yang masa depan memenuhi (atau berkontribusi untuk memenuhi) keprihatinan pihak terkait ... ". Definisi ini memastikan bahwa kepemimpinan berbicara tentang masa depan dan mencakup perhatian mendasar dari pihak terkait. Ini berbeda dengan berhubungan dengan pihak terkait sebagai "pengikut" dan memanggil gambar pemimpin tunggal dengan diikuti orang lain. Sebaliknya, masa depan yang memenuhi keprihatinan mendasar dari pihak terkait menunjukkan bahwa masa depan yang tidak akan terjadi bukanlah "gagasan pemimpin", melainkan apa yang muncul dari menggali lebih dalam untuk menemukan keprihatinan mendasar dari mereka yang dipengaruhi oleh kepemimpinan.

Konteks

Organisasi

Organisasi yang didirikan sebagai instrumen atau sarana untuk mencapai tujuan yang ditetapkan disebut sebagai organisasi formal. Desainnya menentukan bagaimana tujuan dibagi dan tercermin dalam subdivisi organisasi. Divisi, departemen, seksi, posisi, pekerjaan, dan tugas menyusun struktur kerja ini. Dengan demikian, organisasi formal diharapkan berperilaku impersonik dalam hubungannya dengan klien atau dengan anggotanya. Menurut model Weber, masuk dan kemajuan selanjutnya adalah berdasarkan prestasi atau senioritas. Karyawan menerima gaji dan menikmati tingkat masa jabatan yang melindungi mereka dari pengaruh sewenang-wenang dari atasan atau klien yang berkuasa. Semakin tinggi posisi seseorang dalam hierarki, semakin besar anggapan keahlian seseorang dalam mengadili masalah yang mungkin timbul selama pekerjaan yang dilakukan di tingkat yang lebih rendah dalam organisasi. Struktur birokrasi ini menjadi dasar pengangkatan kepala atau kepala subdivisi administrasi dalam organisasi dan memberikan kewenangan yang melekat pada jabatannya.

Berbeda dengan kepala atau kepala unit administratif yang ditunjuk, seorang pemimpin muncul dalam konteks organisasi informal yang mendasari struktur formal. Organisasi informal mengungkapkan objektivitas dan tujuan pribadi dari keanggotaan individu. Sasaran dan sasaran mereka mungkin atau mungkin tidak sama dengan organisasi formal. Organisasi informal merupakan perpanjangan dari struktur sosial yang umumnya mencirikan kehidupan manusia - kemunculan spontan kelompok dan organisasi sebagai tujuan itu sendiri.

Di zaman prasejarah, umat manusia disibukkan dengan keamanan pribadi, pemeliharaan, perlindungan, dan kelangsungan hidup. Sekarang umat manusia menghabiskan sebagian besar waktu bangunnya untuk bekerja untuk organisasi. Kebutuhan untuk mengidentifikasi diri dengan komunitas yang memberikan keamanan, perlindungan, pemeliharaan, dan perasaan memiliki terus tidak berubah dari zaman prasejarah. Kebutuhan ini dipenuhi oleh organisasi informal dan pemimpin yang muncul, atau tidak resmi.

Pemimpin muncul dari dalam struktur organisasi informal. Kualitas pribadi mereka, tuntutan situasi, atau kombinasi dari faktor-faktor ini dan lainnya menarik pengikut yang menerima kepemimpinan mereka dalam satu atau beberapa struktur tumpang tindih. Alih-alih otoritas posisi yang dipegang oleh kepala atau kepala yang ditunjuk, pemimpin yang muncul memegang pengaruh atau kekuasaan. Pengaruh adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan kerja sama dari orang lain melalui persuasi atau kendali atas penghargaan. Kekuasaan adalah bentuk pengaruh yang lebih kuat karena mencerminkan kemampuan seseorang untuk menegakkan tindakan melalui pengendalian sarana hukuman.

Seorang pemimpin adalah orang yang mempengaruhi sekelompok orang menuju hasil tertentu. [83]Dalam skenario ini, kepemimpinan tidak bergantung pada gelar atau otoritas formal. Ogbonnia (2007) mendefinisikan pemimpin yang efektif "sebagai individu dengan kapasitas untuk secara konsisten berhasil dalam kondisi tertentu dan dipandang memenuhi harapan organisasi atau masyarakat". Pemimpin dikenali dari kapasitas mereka untuk memperhatikan orang lain, komunikasi yang jelas, dan komitmen untuk bertahan. Seorang individu yang diangkat ke posisi manajerial memiliki hak untuk memerintahkan dan menegakkan kepatuhan berdasarkan otoritas posisinya. Namun, dia harus memiliki atribut pribadi yang memadai untuk menyamai otoritas ini, karena otoritas hanya tersedia baginya. Dengan tidak adanya kompetensi pribadi yang memadai, seorang manajer mungkin dihadapkan pada pemimpin yang muncul yang dapat menantang perannya dalam organisasi dan menguranginya menjadi peran boneka. Namun, hanya otoritas jabatan yang didukung oleh sanksi formal. Oleh karena itu, siapa pun yang memiliki pengaruh dan kekuasaan pribadi dapat melegitimasi ini hanya dengan mendapatkan posisi formal dalam hierarki, dengan otoritas yang sepadan. Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk membuat orang lain mau mengikuti. Setiap organisasi membutuhkan pemimpin di setiap tingkatan.

Management

Selama bertahun-tahun istilah "manajemen" dan "kepemimpinan", dalam konteks organisasi, telah digunakan baik sebagai sinonim dan dengan arti yang dibedakan dengan jelas. Perdebatan cukup umum tentang apakah penggunaan istilah-istilah ini harus dibatasi, dan umumnya [mengukur] mencerminkan kesadaran akan perbedaan yang dibuat oleh Burns (1978) antara kepemimpinan "transaksional" (ditandai dengan penekanan pada prosedur, imbalan kontingen, manajemen dengan pengecualian ) dan kepemimpinan "transformasional" (ditandai dengan karisma, hubungan pribadi, kreativitas).

Group

Berbeda dengan kepemimpinan individu, beberapa organisasi telah mengadopsi kepemimpinan kelompok. Dalam apa yang disebut kepemimpinan bersama ini, lebih dari satu orang memberikan arahan kepada kelompok secara keseluruhan. Hal ini selanjutnya ditandai dengan tanggung jawab bersama, kerja sama dan pengaruh timbal balik di antara anggota tim. Beberapa organisasi telah mengambil pendekatan ini dengan harapan dapat meningkatkan kreativitas, mengurangi biaya, atau perampingan. Orang lain mungkin melihat kepemimpinan tradisional bos sebagai biaya terlalu banyak dalam kinerja tim. Dalam beberapa situasi, anggota tim yang paling mampu menangani setiap fase proyek menjadi pemimpin sementara. Selain itu, karena setiap anggota tim memiliki kesempatan untuk mengalami tingkat pemberdayaan yang meningkat, hal itu memberi energi kepada staf dan memberi makan siklus kesuksesan.

Pemimpin yang menunjukkan ketekunan, keuletan, tekad, dan keterampilan komunikasi yang sinergis akan memunculkan kualitas yang sama dalam kelompoknya. Pemimpin yang baik menggunakan mentor batin mereka sendiri untuk memberi energi pada tim dan organisasi mereka dan memimpin tim untuk mencapai kesuksesan.

Menurut National School Boards Association (AS)

Kepemimpinan Grup atau Tim Kepemimpinan ini memiliki karakteristik khusus:

Karakteristik sebuah tim

  • Harus ada kesadaran persatuan di pihak semua anggotanya.
  • Harus ada hubungan interpersonal. Anggota harus memiliki kesempatan untuk berkontribusi, dan belajar dari serta bekerja dengan orang lain.
  • Para anggota harus memiliki kemampuan untuk bertindak bersama untuk mencapai tujuan bersama.

Sepuluh karakteristik tim yang berjalan dengan baik

  • Tujuan: Anggota dengan bangga berbagi pemahaman tentang mengapa tim ada dan berinvestasi dalam mencapai misi dan tujuannya.
  • Prioritas: Anggota tahu apa yang perlu dilakukan selanjutnya, oleh siapa, dan kapan untuk mencapai tujuan tim.
  • Peran: Anggota mengetahui peran mereka dalam menyelesaikan tugas dan kapan mengizinkan anggota yang lebih terampil untuk melakukan tugas tertentu.
  • Keputusan: Garis otoritas dan pengambilan keputusan dipahami dengan jelas.
  • Konflik: Konflik ditangani secara terbuka dan dianggap penting untuk pengambilan keputusan dan pertumbuhan pribadi.
  • Ciri-ciri pribadi: anggota merasa kepribadian unik mereka dihargai dan dimanfaatkan dengan baik.
  • Norma: Norma kelompok untuk bekerja bersama ditetapkan dan dilihat sebagai standar untuk setiap orang dalam kelompok.
  • Keefektifan: Anggota menganggap rapat tim efisien dan produktif dan menantikan waktu bersama ini.
  • Sukses: Anggota mengetahui dengan jelas ketika tim telah mencapai kesuksesan dan berbagi dalam hal ini secara setara dan bangga.
  • Pelatihan: Kesempatan untuk mendapatkan umpan balik dan memperbarui keterampilan disediakan dan dimanfaatkan oleh anggota tim.

Kepemimpinan diri

Kepemimpinan diri adalah proses yang terjadi dalam diri individu, bukan tindakan eksternal. Ini adalah ekspresi tentang siapa kita sebagai manusia. Kepemimpinan diri adalah mengembangkan kesadaran tentang siapa Anda, apa yang dapat Anda capai, apa tujuan Anda ditambah dengan kemampuan untuk mempengaruhi emosi Anda , perilaku dan komunikasi. Di pusat kepemimpinan adalah orang yang termotivasi untuk membuat perbedaan. Kepemimpinan diri adalah cara untuk memimpin orang lain secara lebih efektif.

Kepemimpinan diri menjadi basis awal bagi seseorang untuk mengembangkan kepemimpinannya sehingga menjadi lebih berdampak secara luas, jadi artinya sebelum sampai ke tahap tersebut, seseorang di harapkan memiliki kepemimpinan diri yang berfungsi supaya dia dapat membuat dampak perubahan yang positif bagi dirinya, oleh karena itu fokus kepada kepemimpinan dini sangatlah penting.

Biologi dan evolusi kepemimpinan

Mark van Vugt dan Anjana Ahuja dalam Naturally Selected: The Evolutionary Science of Leadership (2011) menyajikan kasus kepemimpinan pada hewan non-manusia, dari semut dan lebah hingga babun dan simpanse. Mereka berpendapat bahwa kepemimpinan memiliki sejarah evolusi yang panjang dan bahwa mekanisme yang sama yang mendasari kepemimpinan pada manusia juga muncul pada spesies sosial lainnya. Mereka juga menyatakan bahwa asal mula evolusioner kepemimpinan berbeda dari dominasi. Dalam sebuah penelitian, Mark van Vugt dan timnya melihat hubungan antara testosteron basal dan kepemimpinan versus dominasi. Mereka menemukan bahwa testosteron berkorelasi dengan dominasi tetapi tidak dengan kepemimpinan. Ini direplikasi dalam sampel manajer di mana tidak ada hubungan antara posisi hierarki dan tingkat testosteron. Richard Wrangham dan Dale Peterson, dalam Demonic Males: Apes and the Origins of Human Violence (1996), menyajikan bukti bahwa hanya manusia dan simpanse, di antara semua hewan yang hidup di Bumi, memiliki kecenderungan yang sama untuk sekelompok perilaku: kekerasan, teritorialitas , dan persaingan untuk bersatu di belakang satu kepala laki-laki di negeri itu. Posisi ini kontroversial. Banyak hewan selain kera bersifat teritorial, bersaing, menunjukkan kekerasan, dan memiliki struktur sosial yang dikendalikan oleh jantan dominan (singa, serigala, dll.), Menunjukkan bukti Wrangham dan Peterson tidak empiris. Akan tetapi, kita harus memeriksa spesies lain juga, termasuk gajah (yang matriarkal dan mengikuti betina alfa), meerkat (yang juga matriarkal), domba (yang "mengikuti" dalam arti tertentu bellwether yang dikebiri), dan banyak lainnya.

Sebagai perbandingan, bonobo, spesies-kerabat terdekat kedua dari manusia, tidak bersatu di belakang kepala jantan negeri itu. Bonobo menunjukkan rasa hormat kepada seekor betina alfa atau peringkat atas yang, dengan dukungan koalisinya dengan betina lain, dapat membuktikan sekuat jantan terkuat. Jadi, jika kepemimpinan berarti mendapatkan jumlah pengikut terbesar, maka di antara bonobo, seorang perempuan hampir selalu menggunakan kepemimpinan yang paling kuat dan paling efektif. (Kebetulan, tidak semua ilmuwan menyetujui sifat bonobo yang diduga damai atau dengan reputasinya sebagai "simpanse hippie".)

Mitos

Kepemimpinan, meskipun banyak dibicarakan, telah digambarkan sebagai salah satu konsep yang paling tidak dipahami di semua budaya dan peradaban. Selama bertahun-tahun, banyak peneliti telah menekankan prevalensi kesalahpahaman ini, menyatakan bahwa adanya beberapa asumsi yang salah, atau mitos, tentang kepemimpinan sering mengganggu konsepsi individu tentang apa itu kepemimpinan (Gardner, 1965; Bennis, 1975).

Kepemimpinan itu bawaan

Menurut beberapa orang, kepemimpinan ditentukan oleh karakteristik disposisional khas yang ada saat lahir (misalnya, ekstraversi; kecerdasan; kecerdikan). Namun, menurut Forsyth (2009) terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kepemimpinan juga berkembang melalui kerja keras dan pengamatan yang cermat. Dengan demikian, kepemimpinan yang efektif dapat dihasilkan dari alam (yaitu, bakat bawaan) serta pengasuhan (yaitu, keterampilan yang diperoleh).

Kepemimpinan adalah menguasai orang lain

Meskipun kepemimpinan tentu saja merupakan suatu bentuk kekuasaan, itu tidak dibatasi oleh kekuasaan atas orang - melainkan, itu adalah kekuatan dengan orang-orang yang ada sebagai hubungan timbal balik antara seorang pemimpin dan pengikutnya (Forsyth, 2009). Terlepas dari kepercayaan populer, penggunaan manipulasi, paksaan, dan dominasi untuk mempengaruhi orang lain bukanlah persyaratan untuk kepemimpinan. Pada kenyataannya, individu yang mencari persetujuan kelompok dan berusaha untuk bertindak demi kepentingan terbaik orang lain juga dapat menjadi pemimpin yang efektif (misalnya ketua kelas; hakim pengadilan).

Pemimpin berpengaruh positif

Validitas pernyataan bahwa kelompok berkembang ketika dibimbing oleh pemimpin yang efektif dapat diilustrasikan dengan menggunakan beberapa contoh. Misalnya, menurut Baumeister et al. (1988), efek pengamat (kegagalan untuk menanggapi atau menawarkan bantuan) yang cenderung berkembang dalam kelompok yang menghadapi keadaan darurat berkurang secara signifikan dalam kelompok yang dipandu oleh seorang pemimpin. Selain itu, telah didokumentasikan bahwa kinerja grup, kreativitas, dan efisiensi semuanya cenderung naik dalam bisnis dengan manajer atau CEO yang ditunjuk. Namun, perbedaan yang dibuat oleh para pemimpin tidak selalu bersifat positif. Pemimpin terkadang fokus untuk memenuhi agenda mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain, termasuk pengikutnya sendiri (misalnya, Pol Pot; Josef Stalin). Pemimpin yang berfokus pada keuntungan pribadi dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang kaku dan manipulatif sering membuat perbedaan, tetapi biasanya melakukannya melalui cara-cara yang negatif.

Pemimpin sepenuhnya mengontrol hasil kelompok

Dalam budaya Barat umumnya diasumsikan bahwa pemimpin kelompok membuat semua perbedaan dalam hal pengaruh kelompok dan pencapaian tujuan secara keseluruhan. Meskipun umum, pandangan romantisme kepemimpinan ini (yaitu, kecenderungan untuk melebih-lebihkan tingkat kendali pemimpin atas kelompok mereka dan hasil kelompok mereka) mengabaikan keberadaan banyak faktor lain yang mempengaruhi dinamika kelompok. Misalnya, kohesi kelompok, pola komunikasi antar anggota, ciri kepribadian individu, konteks kelompok, sifat atau orientasi pekerjaan, serta norma perilaku dan standar yang ditetapkan mempengaruhi fungsi kelompok dalam berbagai kapasitas. Untuk alasan ini, tidak beralasan untuk berasumsi bahwa semua pemimpin memiliki kendali penuh atas pencapaian kelompok mereka.

Semua grup memiliki pemimpin yang ditunjuk

Terlepas dari anggapan yang terbentuk sebelumnya, tidak semua kelompok perlu memiliki pemimpin yang ditunjuk. Kelompok yang terutama terdiri dari wanita, memiliki ukuran terbatas, bebas dari pengambilan keputusan yang membuat stres, [100] atau hanya ada untuk waktu yang singkat (misalnya, kelompok kerja siswa; kuis pub / trivia tim) sering mengalami difusi tanggung jawab, di mana tugas dan peran kepemimpinan dibagi di antara anggota (Schmid Mast, 2002; Berdahl & Anderson, 2007; Guastello, 2007).

Anggota kelompok menolak pemimpin

Meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa ketergantungan anggota kelompok pada pemimpin kelompok dapat menyebabkan berkurangnya kemandirian dan kekuatan kelompok secara keseluruhan, kebanyakan orang sebenarnya lebih suka dipimpin daripada tanpa seorang pemimpin (Berkowitz, 1953). "Kebutuhan akan pemimpin" ini menjadi sangat kuat dalam kelompok bermasalah yang mengalami semacam konflik. Anggota kelompok cenderung lebih puas dan produktif ketika mereka memiliki seorang pemimpin untuk membimbing mereka. Meskipun individu yang mengisi peran kepemimpinan dapat menjadi sumber langsung kebencian bagi pengikut, kebanyakan orang menghargai kontribusi yang dibuat oleh pemimpin kepada kelompok mereka dan akibatnya menyambut bimbingan seorang pemimpin (Stewart & Manz, 1995).

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Kepemimpinan, Sejarah, Teori

Seni Abstrak

Ekspresionisme Abstrak

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Ekspresionisme abstrak adalah seni rupa pasca Perang Dunia II di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan gerakan Amerika pertama yang memiliki pengaruh di seluruh dunia dan menempatkan New York City sebagai pusat dunia seni barat setelah sebelumnya ditempati Paris.

Meski sebutan "ekspresionisme abstrak" pertama diterapkan pada seni Amerika tahun 1946 oleh kritikus seni Robert Coates, sebutan ini pertama digunakan di Jerman tahun 1919 di majalah Der Sturm, mengenai Ekspresionisme Jerman. Di Amerika Serikat, Alfred Hamilton Barr Jr., direktur pertama Museum of Modern Art di New York, adalah seorang sejarawan seni Amerika dan merupakan salah satu kekuatan paling berpengaruh dalam perkembangan sikap populer terhadap seni modern. Misalnya, pertama memakai sebutan ini pada 1929 merujuk karya-karya Wassily Kandinsky, dan penyusunan pameran blockbuster Van Gogh tahun 1935.

Daftar ekspresionis abstrak

Ekspresionisme abstrak di Indonesia

Gerakan abstrak di tanah air diyakini muncul dari Bandung, Jawa Barat. Ries Mulder, baik sebagai pelukis dan dosen, mulai memasukkan seni abstrak ke dalam pengajarannya di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1950-an, sehingga melahirkan generasi seniman baru, seperti But Muchtar, Mochtar Apin, Ahmad Sadali dan Rita Widagdo. Pengaruh Barat muncul dalam karya abstrak awal Indonesia.

Gerakan ini memperebutkan popularitas pada 1960-an dengan adegan seni rupa realistik dan dekoratif yang dipopulerkan oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta.

Namun, pada 1970-an, seni abstrak menjadi yang terdepan dalam pengajaran di Sekolah Seni Rupa Indonesia (STSRI), akademi penerus ASRI. Pug juga mengklaim bahwa pengaruh Barat bagi seniman asal Yogyakarta yang mampu menggabungkan seni abstrak dan tradisional menjadi berkurang. Gerakan ini juga berkembang di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada tahun 1980-an.

Gerakan abstrak mengalami penurunan kemudian pada dekade itu, tetapi dihidupkan kembali pada pertengahan 1990-an hanya untuk gagal lagi pada awal 2000-an.

Seniman besar

Seniman yang karyanya menggunakan Ekspresionisme Abstrak Amerika

  • Charles Alston
  • Karel Appel
  • Alice Baber
  • William Baziotes
  • Norman Bluhm
  • Louise Bourgeois
  • Ernest Briggs
  • James Brooks
  • Fritz Bultman
  • Hans Burkhardt
  • Jack Bush
  • Alexander Calder
  • Nicolas Carone
  • Giorgio Cavallon
  • John Chamberlain
  • Jean Dubuffet
  • Elaine de Kooning
  • Willem de Kooning
  • Robert De Niro, Sr.
  • Richard Diebenkorn
  • Mark di Suvero
  • Enrico Donati
  • Edward Dugmore
  • Friedel Dzubas
  • Jimmy Ernst
  • Herbert Ferber
  • Perle Fine
  • Sam Francis
  • Jane Frank
  • Helen Frankenthaler
  • Michael Goldberg
  • Robert Goodnough
  • Arshile Gorky
  • Adolph Gottlieb
  • Morris Graves
  • Cleve Gray
  • Philip Guston
  • David Hare
  • Grace Hartigan
  • Hans Hartung
  • Hans Hofmann
  • Paul Jenkins
  • Jasper Johns
  • Earl Kerkam
  • Franz Kline
  • Albert Kotin
  • Lee Krasner
  • Ibram Lassaw
  • Norman Lewis
  • Richard Lippold
  • Seymour Lipton
  • Morris Louis
  • Conrad Marca-Relli
  • Nicholas Marsicano
  • Mercedes Matter
  • Joan Mitchell
  • Robert Motherwell
  • Louise Nevelson
  • Barnett Newman
  • Isamu Noguchi (1904-1988), eniman dan arsitek Amerika Serikat
  • Kenzo Okada
  • Stephen Pace
  • Ray Parker
  • Jackson Pollock
  • Fuller Potter
  • Richard Pousette-Dart
  • Richard Pousette-Dart
  • Robert Rauschenberg
  • Ad Reinhardt
  • Milton Resnick
  • George Rickey
  • Jean Paul Riopelle
  • William Ronald
  • Theodore Roszak
  • Mark Rothko
  • Anne Ryan
  • Louis Schanker
  • Jon Schueler
  • Charles Seliger
  • Pablo Serrano
  • Harold Shapinsky
  • David Smith
  • Nicolas de Staël
  • Theodoros Stamos
  • Frank Stella
  • Joe Stefanelli
  • Hedda Sterne
  • Clyfford Still
  • Antoni Tàpies
  • Alma Thomas
  • Mark Tobey
  • Bradley Walker Tomlin
  • Cy Twombly
  • Jack Tworkov
  • Esteban Vicente
  • Peter Voulkos
  • Hale Woodruff
  • Emerson Woelffer
  • Taro Yamamoto
  • Manouchehr Yektai

 

Seniman Indonesia

  • Seniman Indonesia yang karyanya menggunakan Ekspresionisme Abstrak :[2][3]
  • A.D. Pirous (lahir 1932)
  • Ahmad Sadali (1924-1987)
  • Amri Yahya (1939-2004)
  • Anton Afganial (lahir 1990)[4]
  • Arin Dwihartanto Sunaryo (lahir 1987)[5]
  • Bunga Yuridespita (1989)[6]
  • But Muchtar (1930-1993)
  • Christine Ay Tjoe (lahir 1973)
  • Erna Garnasih Pirous (lahir 1941)
  • Fadjar Sidik (1930-2004)
  • F. X. Jeffrey Sumampouw (lahir 1956)[7]
  • Handrio (1926-2010)
  • FX Harsono (lahir 1949)
  • Irawan Karseno (lahir 1960)
  • Made Wianta (1949-2020)
  • Made Sumidasya (lahir 1971)[8]
  • Mochtar Apin (1923-1994)
  • Ries Mulder (1909-1973)
  • Nana Tedja (lahir 1971)[9]
  • Nashar (1928-1994)
  • Nunung WS (lahir 1948)
  • I Nyoman Erawan (lahir 1958)
  • Oesman Effendi (1919-1985)
  • Rita Widagdo (lahir 1939)
  • Salim (1908-2008)
  • Sulebar M. Soekarman (lahir 1943)
  • Sunaryo (lahir 1943)
  • Srihadi Soedarsono (lahir 1931)
  • Tisna Sanjaya (lahir 1958)
  • Umi Dachlan (1942-2009)
  • Yoes Rizal (lahir 1956)
  • Zaini (1926-1977)

Gerakan terkait, gaya, tren dan sekolah

  • Action painting
  • American Abstract Artists
  • Arte Povera
  • Asemic writing
  • Avant-garde
  • Bidang Warna
  • CoBrA
  • Dadaisme
  • Dinamika Keruangan
  • Ekspresionisme
  • Futurisme
  • Impressionisme Abstrak
  • Informalisme
  • Kubisme
  • Les Automatistes
  • Les Plasticiens
  • Lirisisme
  • Minimalisme
  • Modernisme
  • Neo-Ekspresionisme
  • New York School
  • New European Painting
  • Pop art
  • Seni abstrak
  • Seni Konkret
  • Seni Kontemporer
  • Seni Lukis
  • Sumatraisme
  • Surealisme
  • Surealisme Organik
  • Tachisme
  • 9th Street Art Exhibition

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Ekspresionisme Abstrak
« First Previous page 27 of 274 Next Last »