Energi dan Sumber Daya Mineral

Pemerintah Targetkan 3,6 GW Kapasitas Terpasang PLTS Atap

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Mendorong target bauran energi baru terbarukan (EBT), pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap menjadi salah satu perhatian Pemerintah. Bahkan Kementerian ESDM memasang target kapasitas terpasang pembangkit tersebut pada angka 3,6 Giga Watt (GW) di tahun 2025.

Direktur Jenderal, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan tingginya minat masyarakat kepada PLTS Atap akan memberikan peluang terhadap menurunnya konsumsi sumber energi fosil, yaitu batubara. "Terjadi penghematan dari konsumsi batubara sekitar 3 juta ton (per tahun)," kata Dadan di Jakarta, Kamis (26/8).

Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy (IRENA), penggunaan energi bersih tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang dan penurunan potensi Gas Rumah Kaca sebesar 5,4 juta ton CO2. "Ini akan ada investasi tambahan sekitar Rp45-64 triliun," sambung Dadan.

Potensi bisnis lain yang bisa dihasilkan adalah mendorong terciptanya green product. "Di dalam sistem perdagangan internasional mulai ada mekanisme baru bahwa produk itu harus dibuat dengan proses-proses yang lebih bersih sehingga produknya dikategorikan green produk dan tidak terkena pajak tambahan," jelas Dadan.

Pemerintah menyadari pengembangan PLTS atap yang semakin masif dapat mengurangi pertumbuhan pendapatan PT PLN (Persero). "Yang pertama pasti terjadi pengurangan pendapatan. Ini tidak bisa dihindari. Kalau 3,6 GW ini terpasang, setahun berkurang sekitar Rp5,7 triliun," Dadan menegaskan.

Namun di sisi lain, hal tersebut juga dapat menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN. "Potensi untuk menurukan BPP sebesar 12, 6 per kWh, mengurangi subsidi Rp0,9 triliun dalam satu tahun, termasuk kompensasi dari pemerintah Rp2,7 triliun," ungkap Dadan.

Manfaat bisnis lain yang mampu dibangun adalah ekspor - impor (eksim) listrik. " Pengadaan ekpor - impor diprediksi menghasilkan bisnis baru senilai Rp2 - 4 triliun," ungkap Dadan.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
Pemerintah Targetkan 3,6 GW Kapasitas Terpasang PLTS Atap

Energi dan Sumber Daya Mineral

Kementerian ESDM Pacu Pertumbuhan Industri PLTS Atap

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Kementerian ESDM terus memacu pertumbuhan industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap agar makin berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan energi baru terbarukan di Indonesia. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana mengatakan revisi Peraturan Menteri ESDM tentang pemanfaatan PLTS atap dapat menjawab kebutuhan industri penunjang PLTS atap.

"Kita ciptakan dulu pasarnya di dalam negeri, salah satunya dengan PLTS atap, kemudian nanti akan mendorong tumbuhnya industri di dalam negeri," katanya dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Jumat (27/8).

Dadan menjelaskan kecenderungan konsumen untuk mengonsumsi produk hijau yang dibuat dari proses ramah lingkungan mengharuskan pabrik-pabrik untuk menggunakan energi bersih. Menurutnya, urgensi revisi regulasi tersebut salah satunya untuk menjawab tantangan global terkait konsumsi produk hijau yang harus segera dipenuhi sektor industri secara cepat agar produk mereka tetap kompetitif dan bisa diterima konsumen.

"Kalau nanti berkembang ini bisa tumbuh industri PLTS di dalam negeri. Kita bisa menambah kapasitasnya dan punya industri dari sisi hulu untuk pembuatan sel yang sekarang masih impor," ujar Dadan.

Kehadiran industri pendukung PLTS atap akan memperbaiki keekonomian, sehingga membuat biaya pemasangan PLTS atap makin kompetitif. Dadan mengungkapkan pihaknya terus berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian dan Asosiasi mengenai kapasitas industri lokal PLTS atap yang dibangun di Indonesia.

Tujuan utama pemerintah adalah membuka seluas mungkin pasar PLTS atap di dalam negeri, sehingga bisa memacu pelaku usaha untuk membangun industri penunjang PLTS atap baik laminasi maupun sisi hulu pembuatan sel. 

Berdasarkan data Kementerian ESDM hingga Juli 2021, jumlah pengguna PLTS atap mencapai 4.028 pelanggan dengan kapasitas 35,56 megawatt peak. Pada Januari 2018, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia hanya sebanyak 351 pelanggan dengan begitu angka pertumbuhan pelanggan PLTS atap mencapai 1.047 persen dalam kurun waktu tiga tahun.

"Angka sekarang yang kami punya ada 22 atau 26 pabrikan yang siap dengan kapasitas total sekitar 500 megawatt," ujar Dadan.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
Kementerian ESDM Pacu Pertumbuhan Industri PLTS Atap

Energi dan Sumber Daya Mineral

KESDM: Pelanggan PLTS Atap Bisa Ekspor Listrik 100 Persen

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Kementerian ESDM akan merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 untuk menggenjot pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Hal ini tersebut dilakukan karena pemanfaatan PLTS atap masih minim.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, dalam revisi ini pemerintah akan mengubah ketentuan ekspor listrik dari yang saat ini berlaku 65 persen menjadi 100 persen. "Angka 65 persen ini dianggap belum menarik, kenapa dianggap belum menarik, selama 3,5 tahun setelah dimulai itu baru 35 MW," ujar Dadan dalam konferensi pers, Jumat (27/8).

Dalam Pasal 6 Ayat 1 Permen ESDM 49 Tahun 2018 dijelaskan, energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor impor dikali 65 persen. Kemudian, di Ayat 2 disebutkan, perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan kWh ekspor.

Di Ayat 3, dalam hal jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi yang diimpor pada bulan berjalan, selisih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan bulan berikutnya.

Selanjutnya, di Ayat 4 dijelaskan, selisih lebih yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud Ayat 3 diakumulasikan paling lama 3 bulan untuk perhitungan periode tagihan listrik bulan Januari sampai dengan Maret, April sampai dengan Juni, Juli sampai dengan September, atau Oktober sampai dengan Desember.

Pasal 6 Ayat 5 menjelaskan, dalam hal akumulasi selisih lebih sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 masih tersisa setelah perhitungan periode tagihan listrik bulan Maret, Juni, September dan Desember untuk tahun berjalan, selisih lebih dimaksud akan dinihilkan dan perhitungan lebih dimulai kembali pada periode tagihan listrik April, Juli, dan Oktober tahun berjalan atau bulan Januari tahun berikutnya.

Dadan mengatakan, dalam revisi aturan yang baru kelebihan akumulasi selisih tagihan yang akan dinihilkan diperpanjang dari semula 3 bulan menjadi 6 bulan. "Jadi tidak bisa, misalkan, kita nabung, kemudian dipakai kita tahun depan itu tidak bisa, pasti akan di-nol-kan. Sistemnya akan meng-nol-kan, ini untuk memastikan terjadi kepastian di dalam penyediaan listrik baik oleh konsumen maupun oleh PLN," katanya.

Selanjutnya jangka waktu permohonan PLTS atap akan dipersingkat dari semula 15 hari menjadi 12 hari untuk yang dengan perubahan perjanjian jual beli listrik (PJBL). Lalu, 5 hari untuk yang tanpa perubahan PJBL. "Mekanisme pelayanan diwajibkan berbasis aplikasi," tambah Dadan.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
KESDM: Pelanggan PLTS Atap Bisa Ekspor Listrik 100 Persen

Energi dan Sumber Daya Mineral

Pemerintah Disarankan Perbaiki Strategi Pengembangan EBT

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai perlu memperjelas kewajiban pembelian dan kompensasi listrik. Strategi pengembangan EBT pun perlu diatur ulang agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PPP Anwar Idris mengatakan, pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil. Menurutnya, harga EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah. 

"Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," ujarnya, Jumat (24/9).

Selain itu, di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik. Menurutnya, kerja sama PLN dengan swasta sah saja dilakukan, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku. 

Sayangnya, kata dia, kondisi saat ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam posisi punya fleksibilitas, kecuali harus menanggung semua risiko yang terjadi dengan kompensasi dari APBN.

Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.

Karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.

Padahal, kata Mukhtasor, PLN sedang dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari permintaan baru demi menyerap listrik. 

Daya mampu listrik PLN tercatat mencapai 57 gigawatt (GW) dengan daya mampu 39 GW. Itu berarti ada cadangan daya hingga 31 persen.

"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.

Selain itu, lanjut Mukhtasor, persoalan juga semakin rumit ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang berlebih.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
Pemerintah Disarankan Perbaiki Strategi Pengembangan EBT

Energi dan Sumber Daya Mineral

PLTBm Merauke Siap Sukseskan PON Papua dengan Energi Hijau

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 23 Maret 2022


Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) Merauke menyatakan komitmennya untuk mendukung pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional Papua 2021, khususnya di klaster Merauke, dengan pasokan listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan. Dengan nilai investasi sebesar Rp140 miliar yang berasal dari dana pinjaman SMI dan BPDLH, PLTBm Merauke telah beroperasi sejak 2020 menjadi IPP atau produsen energi independen pertama di Papua dan Papua Barat yang menggunakan hutan energi sebagai sumber biomassa utamanya.

PLTBm yang dioperasikan PT Merauke Narada Energi milik PT Medco Energi di Wapeko, Kabupaten Merauke itu memiliki kapasitas 3,5 mega watt (MW) yang bisa memasok sekitar 15 persen dari energi listrik yang digunakan di Merauke, atau lebih kurang 9.688 pelanggan. "Kami berkomitmen akan mendukung kegiatan PON ini 100 persen dengan menjaga keandalan pembangkit kami agar listrik tetap terjaga," kata General Manager PT Merauke Narada Energi, RA Satryo MR, Rabu (29/9).

Sementara Medco Papua Group menjadi salah satu perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri yang dikhususkan untuk energi biomassa tersebut. Ditandai dengan penandatanganan perjanjian jual beli tenaga listrik dengan PT PLN pada 2017, Medco Papua Group berkomitmen menghasilkan energi hijau dan bersih.

Saat ini terdapat 3.000 hektare lahan yang telah dikembangkan bersama 300 masyarakat sekitar dengan menanam, merawat, serta menjaga tanaman eucalyptus dan acacia sebagai sumber penggerak PLTBm.

Satryo mengungkapkan keberadaan PLTBm Wapeko, yang menggunakan kayu dari hutan industri sebagai sumber daya biomassa utamanya, dapat membantu mengurangi konsumsi BBM solar sebesar 27 juta liter per lima tahun serta mengurangi emisi karbon mencapai 76.300 ton dalam periode yang sama. Sementara konsesi area seluas 230.000 hektare yang dipegang Medco saat ini berpotensi untuk mengembangkan PLTBm sebesar 150-200 MW.

"Tentunya harapan kami dengan adanya energi bersih di PLTBm ini dapat menjadi contoh daerah-daerah lainnya," ujar Satryo.

"Dalam menghasilkan listrik di Merauke ini, paling tidak kami sudah mereduksi ketergantungan kita terhadap bahan bakar solar, kemudian juga bahan bakar biomassa yang berasal dari sumber daya alam di sini sehingga kemandirian energi bisa kita laksanakan," tambahnya.

Dengan sokongan PLTBm tersebut, maka Kabupaten Merauke, menjadi satu-satunya klaster tuan rumah PON Papua, selain Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, yang memanfaatkan tenaga listrik dari energi baru terbarukan. "Yang sering luput dari perhatian orang adalah bahwa PON ini sebenarnya menggunakan energi yang bersih dan hijau," ungkapSatryo.

Memanfaatkan momen pesta olahraga empat tahunan terserbut, Satryo berharap adanya dukungan pemerintah terhadap rencana peningkatan kapasitas listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021 - 2030. Medco sendiri memiliki rencana untuk meningkatkan kapasitas PLTBm dengan penambahan pembangkit baru berkapasitas 10 MW, dan hal itu memungkinkan 50 persen pasokan listrik yang ada di Merauke berasal dari energi bersih dan hijau.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
PLTBm Merauke Siap Sukseskan PON Papua dengan Energi Hijau

Energi dan Sumber Daya Mineral

INDEF: Kepentingan Nasional Lebih Penting dari Kejar Target

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 23 Maret 2022


Pemerintah diminta memprioritaskan kepentingan nasional dalam menjalankan strategi transisi energi. Upaya mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025, jangan sampai memberikan tekanan pada keuangan negara.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra El Talattov menyatakan, transisi ke energi bersih memang perlu didukung karena ini sudah menjadi komitmen global. Tapi dalam pelaksanaannya, pemerintah harus tetap mempertimbangkan kondisi pasokan listrik yang sedang berlebih. 

"Kita semua pasti memiliki dukungan ke arah transisi energi, Tapi kita juga harus objektif melihat secara utuh, seperti apa kondisi faktual, dalam konteks dinamika energi di Indonesia," ujar Abra, Jumat (1/10).

Saat ini, daya listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, sehingga ada cadangan berlebih hingga 18 GW. Kapasitas listrik akan semakin bertambah seiring dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam proyek 35.000 megawatt.

"Ini kemudian jadi pertanyaan, dari sisi EBT dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) ketika EBT baru jadi sekitar 52 persen dari awalnya 31 persen. Nah kalau EBT mau di-push, bagaimana dari fosil?" jelasnya.

Untuk itu, Abra mengingatkan agar pemerintah memperhatikan aspek supply and demand terlebih dahulu sebelum melakukan penambahan pembangkit berbasis EBT. Penambahan pembangkit EBT yang dipaksakan bakal membuat APBN jebol karena listrik berbasis EBT dikenakan skema Feed in Tariff. 

"Perlu dilihat juga risiko BUMN kita ataupun APBN. Kalau kita lihat beberapa tahun terakhir, subsidi energi tumbuh per tahun 8,6 persen subsidi energi. Tahun depan subsidi energi mencapai Rp 134 triliun, belum lagi bicara kompensasi, itu menjadi konsekuensi dari komitmen pemerintah untuk menyediakan energi murah, yang merata, tetapi juga komitmen yang sifatnya hijau," ujarnya.

Abra mengingatkan, pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada aspek keberlanjutan, tetapi juga berkeadilan. Pemenuhan energi, perlu memperhatikan kepentingan nasional, ketahanan APBN dan menjamin ketersediaan energi untuk generasi mendatang. 

"Jangan sampai menimbulkan beban baru. Kita anggap mampu beralih ke EBT, tapi nyatanya kita belum selevel ke negara-negara lain. Di sisi global, bauran EBT global 12 persen, kenapa ambisi kita lebih dari situ?" katanya.

Abra juga mengingatkan, negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Eropa yang selama ini gencar mengkampanyekan EBT pun, saat ini kembali menggunakan PLTU batu bara di tengah krisis energi. Ada dinamika eksternal yang memaksa negara-negara tersebut realistis. 

Kepentingan nasional lebih penting sehingga komitmen EBT dinomorduakan. Karena ini berhubungan dengan ketahanan energi. Begitu juga di China.

"Indonesia mumpung masih proses awal, jangan sampai terjerumus lebih dalam. Kita harus mempersiapkan diri, analoginya pendapatan perkapita kita belum selevel negara maju, tetapi kita ingin merasa tampilan sama seperti negara-negara maju," tutur Abra.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
INDEF: Kepentingan Nasional Lebih Penting dari Kejar Target
« First Previous page 3 of 11 Next Last »