Teknik Lingkungan

Efek Rumah Kaca

Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 28 Februari 2022


Penggambaran singkat tentang pertukaran energi antara matahari (sebagai sumber), permukaan bumi, atmosfer bumi dan angkasa (tempat pelepasan). Kemampuan atmosfer untuk menangkap dan melepaskan energi merupakan karakteristik yang menentukan terjadinya efek rumah kaca.

Efek rumah kaca adalah kemampuan atmosfer untuk mempertahankan suhu udara panas yang nyaman dalam perubahan nilai yang kecil. Unsur pembentuk efek rumah kaca ialah gas rumah kaca yang menahan panas keluar dari Bumi. Peran utama adanya efek rumah kaca adalah suhu udara di bumi dapat berada pada nilai yang nyaman bagi makhluk hidup. Tanpa efek rumah kaca, Bumi akan memiliki suhu rata-rata yang sangat dingin serta dapat membahayakan keberlangsungan hidup dari makhluk hidup. Efek rumah kaca pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada tahun 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya.

MarsVenus, dan benda langit yang memiliki atmosfer lainnya (seperti satelit alami SaturnusTitan) memiliki efek rumah kaca, namun artikel ini hanya membahas pengaruh di Bumi. Efek rumah kaca untuk masing-masing benda langit tadi akan dibahas di masing-masing artikelnya.

Efek rumah kaca pada Bumi dapat terpisah untuk menunjuk pada dua hal yang berbeda:

  • Efek Rumah Kaca Alami yang terjadi secara alami di bumi
  • Efek Rumah Kaca Ditingkatkan (meningkat) yang terjadi akibat kegiatan manusia seiring dengan pemanasan global .
  • Yang selama ini diterima oleh kebanyakan masyarakat awam; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat.

 

Sumber Artikel: Wikipedia.org

Selengkapnya
Efek Rumah Kaca

Teknik Lingkungan

Limbah Beracun

Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 28 Februari 2022


Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tanggaindustripertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debucair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). 

Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3.

Jenis-jenis limbah beracun

Jenis-jenis limbah beracun antara lain:

  • Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
  • Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api, gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.
  • Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
  • Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, kulit atau mulut.
  • Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.
  • Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah yang bersifat asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.

 

Sumber Artikel: Wikipedia.org

Selengkapnya
Limbah Beracun

Teknik Lingkungan

Limbah Medis

Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 28 Februari 2022


Limbah medis adalah hasil buangan dari suatu aktivitas medis. Limbah medis harus sesegera mungkin diolah setelah dihasilkan dan penyimpanan menjadi pilihan terakhir jika limbah tidak dapat langsung diolah. Faktor penting dalam penyimpanan limbah medis adalah melengkapi tempat penyimpanan dengan penutup, menjaga areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur dengan limbah non-medis, membatasi akses lokasi, dan pemilihan tempat yang tepat.

Kategori

pemisahan limbah medis berdasarkan kategori

Menurut peraturan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002, limbah medis dikategorikan berdasarkan potensi bahaya yang terkandung di dalamnya serta volume dan sifat persistensinya yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Kategori tersebut adalah:

  • Limbah benda tajam seperti jarum suntik, perlengkapan intravena, pipet Pasteur, pecahan gelas, dan lain-lain.
  • Limbah infeksius. Limbah infeksius adalah limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif) dan limbah laboratorium. Limbah ini dapat menjadi sumber penyebaran penyakit pada petugas, pasien, pengunjung, maupun masyarakat sekitar. Oleh karena itu, limbah ini memerlukan wadah atau kontainer khusus dalam pengolahannya.
  • Limbah patologi. Limbah ini merupakan limbah jaringan tubuh yang terbuang dari proses bedah atau autopsi.
  • Limbah sitotoksik, yaitu bahan yang terkontaminasi selama peracikan, pengangkutan, atau tindakan terapi sitotoksik.
  • Limbah farmasi, yang merupakan limbah yang berasal dari obat-obatan yang kedaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang pasien atau oleh masyarakat, obat-obatan yang tidak diperlukan lagi oleh institusi bersangkutan, dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
  • Limbah kimia yang dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, laboratorium, proses sterilisasi dan riset.
  • Limbah radioaktif, yaitu limbah yang terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionukleotida.

 

Sumber Artikel: Wikipedia.org

Selengkapnya
Limbah Medis

Supply Chain Management

Global Sourcing

Dipublikasikan oleh Admin pada 28 Februari 2022


Global sourcing is the practice of sourcing from the global market for goods and services across geopolitical boundaries. Global sourcing often aims to exploit global efficiencies in the delivery of a product or service. These efficiencies include low cost skilled labor, low cost raw material and other economic factors like tax breaks and low trade tariffs. A large number of Information Technology projects and Services, including IS Applications and mobile phone apps and database services are outsourced globally to countries like India and Pakistan for more economical pricing.

Common examples of globally sourced products or services include labor-intensive manufactured products produced using low-cost Chinese labor, call centers staffed with low-cost English speaking workers in the PhilippinesIndia and Pakistan, and IT work performed by low-cost programmers in India and Pakistan and Eastern Europe. While these are examples of Low-cost country sourcing, global sourcing is not limited to low-cost countries.

Global sourcing initiatives and programs form an integral part of the strategic sourcing plans and procurement strategies of many multinational companies. Global sourcing is often associated with a centralized procurement strategy for a multinational, wherein a central buying organization seeks economies of scale through corporate-wide standardization and benchmarking. A definition focused on this aspect of global sourcing is: "proactively integrating and coordinating common items and materials, processes, designs, technologies, and suppliers across worldwide purchasing, engineering, and operating locations (p. 304)".[1]

The global sourcing of goods and services has advantages and disadvantages that can go beyond low cost. Some advantages of global sourcing, beyond low cost, include: learning how to do business in a potential market, tapping into skills or resources unavailable domestically, developing alternate supplier/vendor sources to stimulate competition, and increasing total supply capacity. Some key disadvantages of global sourcing can include: hidden costs associated with different cultures and time zones, exposure to financial and political risks in countries with (often) emerging economies, increased risk of the loss of intellectual property, and increased monitoring costs relative to domestic supply. For manufactured goods, some key disadvantages include long lead times, the risk of port shutdowns interrupting supply, and the difficulty of monitoring product quality. (With regard to quality in the food industry, see Roth et al. (2008).[2]).

International procurement organizations (or IPOs) may be an element of the global sourcing strategy for a firm. These procurement organizations take primary responsibility for identifying and developing key suppliers across sourcing categories and help satisfy periodic sourcing requirements of the parent organization. Such setups help provide focus in country-based sourcing efforts. Particularly in the case of large and complex countries, such as China, where a range of sub-markets exist and suppliers span the entire value chain of a product/commodity, such IPOs provide essential on-the-ground information.

Over time, these IPOs may grow up to be complete procurement organizations in their own right, with fully engaged category experts and quality assurance teams. It is therefore important for firms to clearly define an integration and scale-up plan for the IPO.

Sumber: eng.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Global Sourcing

Ekonomi

Sejarah pemikiran ekonomi makro

Dipublikasikan oleh Admin pada 28 Februari 2022


Teori ekonomi makro berasal mula dalam studi siklus bisnis dan teori moneter. Secara umum, teoretikus awal yakin bahwa faktor moneter tidak dapat mempengaruhi faktor riil seperti output riil. John Maynard Keynes menyerang beberapa teori "klasik" ini dan menghasilkan teori umum yang menggambarkan seluruh perekonomian dalam terminologi agregat daripada individu, bagian ekonomi mikro. Mencoba menjelaskan pengangguran dan resesi, dia memperhatikan kecenderungan orang dan bisnis untuk menimbun uang tunai dan menghindari investasi selama resesi. Dia berargumen bahwa ini membatalkan asumsi ekonom klasik yang berpikir bahwa pasar selalu klir, tidak meninggalkan surplus barang dan tidak ada tenaga kerja yang dibiarkan menganggur.

Generasi ekonom yang mengikuti Keynes mensintesis teorinya dengan mikroekonomi neoklasik untuk membentuk sintesis neoklasik. Meskipun Teori Keynesian mulanya menghilangkan penjelasan tentang tingkat harga dan inflasi, belakangan Keynesian mengadopsi kurva Phillips untuk memodelkan perubahan tingkat harga. Beberapa Keynesian menentang metode sintesis yang menggabungkan teori Keynes dengan sistem ekuilibrium dan malah menganjurkan model disekuilibrium. Monetaris, dipimpin oleh Milton Friedman, mengadopsi beberapa ide Keynesian, seperti pentingnya permintaan uang, tetapi berpendapat bahwa Keynesian mengabaikan peran jumlah uang beredar dalam inflasi. Robert Lucas dan para ekonom makro klasik baru lainnya mengkritik model Keynesian yang tidak bekerja di bawah ekspektasi rasional. Lucas juga berargumen bahwa model empiris Keynesian tidak akan stabil seperti model yang didasarkan pada fondasi ekonomi mikro.

Aliran klasik baru memuncak dalam teori siklus bisnis riil (RBC). Seperti model ekonomi klasik awal, model RBC mengasumsikan bahwa pasar klir dan siklus bisnis didorong oleh perubahan teknologi dan penawaran, bukan permintaan. Keynesian Baru mencoba menjawab banyak kritik yang dilontarkan oleh Lucas dan ekonom klasik baru lainnya terhadap Neo-Keynesian. Keynesian baru mengadopsi ekspektasi rasional dan membangun model dengan fondasi mikro kekakuan harga yang menyarankan resesi masih dapat dijelaskan oleh faktor permintaan karena kekakuan menghentikan harga dari jatuh ke tingkat kliring pasar, meninggalkan surplus barang dan tenaga kerja. Sintesis neoklasik baru menggabungkan elemen-elemen makroekonomi Keynesian klasik dan baru menjadi sebuah konsensus. Ekonom lain menghindari perdebatan Keynesian klasik dan baru tentang dinamika jangka pendek dan mengembangkan teori pertumbuhan baru tentang pertumbuhan ekonomi jangka panjang.[1] Resesi Hebat menyebabkan retrospektif pada keadaan lapangan dan beberapa perhatian populer beralih ke ekonomi heterodoks.

Daftar isi

Asal mula

Punting boat in front of King's College Chapel

Teoretikus moneter awal Alfred MarshallArthur Cecil Pigou, dan Keynes berbasis di Universitas Cambridge.[2] Pigou dan Keynes diasosiasikan dengan konstituen King's College (kapel dilihatkan di atas).[3]

Makroekonomi diturunkan dari dua area penelitian: teori siklus bisnis dan teori moneter.[4][5] Teori moneter berasal dari abad ke-16 dan karya Martín de Azpilcueta, sedangkan analisis siklus bisnis berasal dari pertengahan abad ke-19.[5]

Teori siklus bisnis

Dimulai dengan William Stanley Jevons dan Clément Juglar pada tahun 1860-an,[6] para ekonom berusaha menjelaskan siklus perubahan yang sering keras dalam aktivitas ekonomi.[7] Tonggak mil dalam upaya ini adalah berdirinya Biro Riset Ekonomi Nasional AS oleh Wesley Mitchell pada tahun 1920. Ini menandai awal dari ledakan ateoretis, model statistik fluktuasi ekonomi (model berdasarkan siklus dan tren alih-alih teori ekonomi) yang mengarah pada penemuan pola ekonomi yang tampaknya reguler seperti gelombang Kuznets.[8]

Ekonom lain lebih fokus pada teori dalam analisis siklus bisnis mereka. Sebagian besar teori siklus bisnis berfokus pada satu faktor,[7] seperti kebijakan moneter atau dampak cuaca pada sebagian besar ekonomi pertanian saat itu.[6] Meskipun teori siklus bisnis telah mapan pada tahun 1920-an, karya para teoretikus seperti Dennis Robertson dan Ralph Hawtrey memiliki dampak kecil pada kebijakan publik.[9] Teori ekuilibrium parsial mereka tidak dapat menangkap ekuilibrium umum, di mana pasar berinteraksi satu sama lain; khususnya, teori siklus bisnis awal memperlakukan pasar barang dan pasar keuangan secara terpisah.[7] Penelitian di area ini menggunakan metode ekonomi mikro untuk menjelaskan pekerjaantingkat harga, dan suku bunga.[10]

Teori moneter

Mulanya, relasi antara tingkat harga dan output dijelaskan oleh teori kuantitas uangDavid Hume telah mempresentasikan teori semacam ini dalam karyanya tahun 1752 Of Money (Essays, Moral, Political, and Literary, Bagian II, Esai III).[11] Teori kuantitas memandang seluruh perekonomian melalui hukum Say, yang menyatakan bahwa apa pun yang disuplai ke pasar akan dijual—pendek, pasar selalu klir.[12] Dalam pandangan ini, uang adalah netral dan tidak dapat mempengaruhi faktor riil dalam perekonomian seperti tingkat output. Hal ini konsisten dengan pandangan dikotomi klasik bahwa aspek riil ekonomi dan faktor nominal, seperti tingkat harga dan jumlah uang beredar, dapat dianggap independen satu sama lain.[13] Misalnya, menambahkan lebih banyak uang ke perekonomian diekspektasikan hanya untuk menaikkan harga, bukan untuk menciptakan lebih banyak barang.[14]

Teori kuantitas uang mendominasi teori ekonomi makro sampai tahun 1930-an. Dua versi sangat berpengaruh, satu dikembangkan oleh Irving Fisher dalam karya-karyanya yang mencakup The Purchasing Power of Money tahun 1911 dan yang lainnya oleh para ekonom Cambridge selama awal abad ke-20.[11] Versi teori kuantitas Fisher dapat dinyatakan dengan menahan perputaran uang (frekuensi penggunaan mata uang tertentu dalam transaksi) (V) dan pendapatan riil (Q) konstan dan memungkinkan jumlah uang beredar (M) dan tingkat harga (P) bervariasi dalam persamaan pertukaran:[15]

{\displaystyle M\cdot V=P\cdot Q}{\displaystyle M\cdot V=P\cdot Q}

Sebagian besar teori klasik, termasuk Fisher, menyatakan bahwa perputaran uang stabil dan independen terhadap aktivitas ekonomi.[16] Ekonom Cambridge, seperti John Maynard Keynes, mulai menantang asumsi ini. Mereka mengembangkan Teori keseimbangan kas Cambridge, yang melihat permintaan uang dan bagaimana hal itu berdampak pada perekonomian. Teori Cambridge tidak berasumsi bahwa permintaan dan penawaran uang selalu berada pada keseimbangan, dan teori ini memperhitungkan orang-orang yang memegang lebih banyak uang tunai ketika ekonomi merosot. Dengan memperhitungkan nilai memegang uang tunai, para ekonom Cambridge mengambil langkah signifikan menuju konsep preferensi likuiditas yang nantinya akan dikembangkan oleh Keynes.[17] Teori Cambridge berpendapat bahwa orang memegang uang karena dua alasan: untuk memfasilitasi transaksi dan untuk menjaga likuiditas. Dalam karya selanjutnya, Keynes menambahkan motif ketiga, spekulasi, pada teori preferensi likuiditasnya dan membangunnya untuk menciptakan teori umum.[18]

Pada tahun 1898, Knut Wicksell mengusulkan teori moneter yang berpusat pada suku bunga. Analisisnya menggunakan dua suku: suku bunga pasar, ditentukan oleh sistem perbankan, dan suku bunga riil atau "natural", ditentukan oleh tingkat pengembalian pada modal.[19] Dalam teori Wicksell, inflasi kumulatif akan terjadi ketika inovasi teknis menyebabkan suku natural naik atau ketika sistem perbankan membiarkan suku pasar turun. Deflasi kumulatif terjadi di bawah kondisi yang berlawanan menyebabkan suku pasar naik di atas natural.[5] Teori Wicksell tidak menghasilkan relasi langsung antara kuantitas uang dan tingkat harga. Menurut Wicksell, uang akan dibuat secara endogen, tanpa peningkatan kuantitas mata uang keras, selama natural melebihi suku bunga pasar. Dalam kondisi ini, peminjam mengubah keuntungan dan menyimpan uang tunai menjadi cadangan bank, yang memperluas jumlah uang beredar. Hal ini dapat menyebabkan proses kumulatif di mana inflasi meningkat terus menerus tanpa ekspansi dalam basis moneter. Karya Wicksell mempengaruhi Keynes dan para ekonom Swedia dari Sekolah Stockholm.[20]

General Theory Keynes

Photo of Keynes

Keynes (kanan) bersama Harry Dexter White, asisten sekretaris Departemen Keuangan AS, pada pertemuan Dana Moneter Internasional 1946

Makroekonomi modern dapat dikatakan dimulai dengan Keynes dan penerbitan bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money pada tahun 1936.[21] Keynes memperluas konsep preferensi likuiditas dan membangun teori umum tentang bagaimana perekonomian bekerja. Teori Keynes menyatukan faktor moneter dan ekonomi riil untuk pertama kalinya,[7] menjelaskan pengangguran, dan menyarankan kebijakan untuk mencapai stabilitas ekonomi.[22]

Keynes berpendapat bahwa output ekonomi berkorelasi positif dengan perputaran uang.[23] Dia menjelaskan relasi melalui perubahan preferensi likuiditas:[24] orang meningkatkan kepemilikan uang mereka selama masa kesulitan ekonomi dengan mengurangi pengeluaran mereka, yang selanjutnya memperlambat perekonomian. Paradoks penghematan ini mengklaim bahwa upaya individu untuk bertahan dari penurunan hanya memperburuknya. Ketika permintaan uang meningkat, perputaran uang melambat. Perlambatan dalam kegiatan ekonomi berarti pasar mungkin tidak klir, meninggalkan kelebihan barang untuk disia-siakan dan kapasitas menganggur.[25] Membalikkan teori kuantitas, Keynes berpendapat bahwa perubahan pasar menggeser kuantitas daripada harga.[26] Keynes menggantikan asumsi perputaran stabil dengan salah satu tingkat harga tetap. Jika pengeluaran turun dan harga tidak, surplus barang mengurangi kebutuhan pekerja dan meningkatkan pengangguran.[27]

Ekonom klasik mengalami kesulitan menjelaskan pengangguran tidak sukarela dan resesi karena mereka menerapkan Hukum Say ke pasar tenaga kerja dan berekspektasi bahwa semua orang yang bersedia bekerja dengan upah yang berlaku akan dipekerjakan.[28] Dalam model Keynes, lapangan kerja dan output didorong oleh permintaan agregat, jumlah konsumsi dan investasi. Karena konsumsi tetap stabil, sebagian besar fluktuasi permintaan agregat berasal dari investasi, yang didorong oleh banyak faktor termasuk ekspektasi, "naluri binatang", dan suku bunga.[29] Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal dapat mengkompensasi volatilitas ini. Selama penurunan, pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran untuk membeli kelebihan barang dan mempekerjakan tenaga kerja menganggur.[30] Selain itu, efek pengganda meningkatkan efek pengeluaran langsung ini karena pekerja yang baru dipekerjakan akan membelanjakan pendapatan mereka, yang akan meresap ke dalam ekonomi, sementara perusahaan akan berinvestasi untuk menanggapi peningkatan permintaan ini.[24]

Preskripsi Keynes untuk investasi publik yang kuat terkait dengan minatnya pada ketidakpastian.[31] Keynes telah memberikan perspektif unik tentang inferensi statistik dalam A Treatise on Probability, yang ditulis pada tahun 1921, bertahun-tahun sebelum karya-karya ekonomi utamanya.[32] Keynes berpikir investasi publik dan kebijakan fiskal yang kuat akan melawan dampak negatif ketidakpastian fluktuasi ekonomi terhadap perekonomian. Sementara penerus Keynes tidak terlalu memperhatikan bagian probabilistik dari karyanya, ketidakpastian mungkin telah memainkan peran sentral dalam aspek preferensi investasi dan likuiditas dari General Theory.[31]

Makna sebenarnya dari karya Keynes telah lama diperdebatkan. Bahkan interpretasi preskripsi kebijakan Keynes untuk pengangguran, salah satu bagian yang lebih eksplisit dari General Theory, telah menjadi bahan perdebatan. Para ekonom dan cendekiawan memperdebatkan apakah Keynes bermaksud sarannya menjadi perubahan kebijakan besar untuk mengatasi masalah serius atau solusi konservatif moderat untuk menangani masalah kecil.[33]

Penerus Keynes

Penerus Keynes memperdebatkan formulasi, mekanisme, dan konsekuensi yang tepat dari model Keynes. Satu kelompok muncul mewakili interpretasi "ortodoks" Keynes; Mereka menggabungkan mikroekonomi klasik dengan pemikiran Keynesian untuk menghasilkan "sintesis neoklasik"[34] yang mendominasi ekonomi dari tahun 1940-an hingga awal 1970-an.[35] Dua kubu Keynesian kritis terhadap interpretasi sintesis Keynes ini. Satu kelompok berfokus pada aspek disekuilibrium karya Keynes, sementara yang lain mengambil sikap fundamentalis terhadap Keynes dan memulai tradisi heterodoks pasca-Keynesian.[36]

Sintesis neoklasik[sunting | sunting sumber]

Artikel utama: Sintesis neoklasik

Generasi ekonom yang mengikuti Keynes, neo-Keynesian, menciptakan "sintesis neoklasik" dengan menggabungkan makroekonomi Keynes dengan mikroekonomi neoklasik.[37] Neo-Keynesian berurusan dengan dua masalah ekonomi mikro: pertama, memberikan dasar untuk aspek teori Keynesian seperti konsumsi dan investasi, dan, kedua, menggabungkan makroekonomi Keynesian dengan teori ekuilibrium umum.[38] (Dalam teori ekuilibrium umum, pasar individu berinteraksi satu sama lain dan harga ekuilibrium ada jika ada persaingan sempurna, tidak ada eksternalitas, dan informasi sempurna.)[34][39] Foundations of Economic Analysis (1947) karya Paul Samuelson memberikan banyak dasar ekonomi mikro untuk sintesis.[37] Karya Samuelson mengatur pola metodologi yang digunakan oleh neo-Keynesian: teori ekonomi yang diekspresikan dalam formal, model matematika.[40] Sementara teori Keynes berjaya pada periode ini, para penerusnya sebagian besar meninggalkan metodologi informalnya demi Samuelson.[41]

Pada pertengahan 1950-an, sebagian besar ekonom telah berhenti memperdebatkan Keynesianisme dan menerima pandangan sintesis;[42] Namun, ruang untuk ketidaksepakatan tetap ada.[43] Sintesis tersebut mengaitkan masalah kliring pasar kepada kekakuan harga yang gagal menyesuaikan diri dengan perubahan penawaran dan permintaan.[44] Kelompok Keynesian lain berfokus pada ekonomi disekuilibrium dan mencoba mendamaikan konsep ekuilibrium dengan tidak adanya kliring pasar.[45]

Model Neo-Keynesian

Artikel utama: Ekonomi Neo-Keynesian

Chart showing a positive sloped Liquidity preference/Money supply supply line with an upward shifting, negative sloped Investment/Saving line.

Grafik IS/LM dengan pergeseran ke atas dalam kurva IS. Grafik tersebut menggambarkan bagaimana pergeseran kurva IS, yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti peningkatan pengeluaran pemerintah atau investasi swasta, akan menghasilkan output yang lebih tinggi (Y) dan peningkatan suku bunga (i).

Pada tahun 1937 John Hicks[a] menerbitkan sebuah artikel yang memasukkan pemikiran Keynes ke dalam kerangka ekuilibrium umum[46] di mana pasar barang dan uang bertemu dalam ekuilibrium keseluruhan.[47] Model IS/LM (Investment-Savings/Liquidity preference-Money supply) Hick menjadi dasar teori dan analisis kebijakan selama beberapa dekade hingga tahun 1960-an.[48] Model mewakili pasar barang dengan kurva IS, satu set poin yang mewakili ekuilibrium dalam investasi dan tabungan. Ekuilibrium pasar uang direpresentasikan dengan kurva LM, satu set poin yang mewakili ekuilibrium penawaran dan permintaan uang. Perpotongan kurva mengidentifikasi ekuilibrium agregat dalam perekonomian[49] di mana ada nilai ekuilibrium unik untuk suku bunga dan output ekonomi.[50] Model IS/LM berfokus pada suku bunga sebagai "mekanisme transmisi moneter," saluran di mana jumlah uang beredar mempengaruhi variabel riil seperti permintaan agregat dan lapangan kerja. Penurunan jumlah uang beredar akan menyebabkan suku bunga yang lebih tinggi, yang mengurangi investasi dan dengan demikian menurunkan output di seluruh perekonomian.[51] Ekonom lain membangun di atas kerangka IS/LM. Khususnya, pada tahun 1944, Franco Modigliani[b] menambahkan pasar tenaga kerja. Model Modigliani mewakili ekonomi sebagai sistem dengan ekuilibrium umum di seluruh pasar yang saling berhubungan untuk tenaga kerja, keuangan, dan barang,[46] dan ini menjelaskan pengangguran dengan upah nominal yang kaku.[52]

Pertumbuhan telah menarik bagi ekonom klasik abad ke-18 seperti Adam Smith, tetapi karya berkurang selama revolusi marginalis abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika para peneliti berfokus pada mikroekonomi.[53] Studi tentang pertumbuhan dihidupkan kembali ketika neo-Keynesian Roy Harrod dan Evsey Domar secara independen mengembangkan model Harrod–Domar,[54] perluasan teori Keynes untuk jangka panjang, area yang tidak dilihat Keynes sendiri.[55] Model mereka menggabungkan pengganda Keynes dengan model akselerator investasi,[56] dan menghasilkan hasil sederhana bahwa pertumbuhan sama dengan tingkat tabungan dibagi dengan rasio output modal (jumlah modal dibagi dengan jumlah output).[57] Model Harrod–Domar mendominasi teori pertumbuhan sampai Robert Solow[c] dan Trevor Swan[d] secara independen mengembangkan model pertumbuhan neoklasik pada tahun 1956.[54] Solow dan Swan menghasilkan model yang lebih menarik secara empiris dengan berbasis "pertumbuhan seimbang" pada substitusi tenaga kerja dan modal dalam produksi.[58] Solow dan Swan menyarankan bahwa peningkatan tabungan hanya dapat meningkatkan pertumbuhan sementara, dan hanya perbaikan teknologi yang dapat meningkatkan pertumbuhan dalam jangka panjang.[59] Setelah Solow dan Swan, penelitian pertumbuhan berkurang dengan sedikit atau tanpa penelitian tentang pertumbuhan dari tahun 1970 hingga 1985.[54]

Para ekonom memasukkan karya teoretis dari sintesis ke dalam model makroekonometrik skala besar yang menggabungkan persamaan individu untuk faktor-faktor seperti konsumsi, investasi, dan permintaan uang[60] dengan data yang diamati secara empiris.[61] Garis penelitian ini mencapai puncaknya dengan model MIT-Penn-Social Science Research Council (MPS) yang dikembangkan oleh Modigliani dan rekan-rekannya.[60] MPS menggabungkan IS/LM dengan aspek sintesis lainnya termasuk model pertumbuhan neoklasik[62] dan relasi kurva Phillips antara inflasi dan output.[63] Baik model skala besar maupun kurva Phillips menjadi sasaran kritik sintesis.

Kurva Phillips

Artikel utama: Kurva Phillips

Chart showing an apparently stable relationship between inflation and unemployment.

Ekonomi AS pada 1960-an mengikuti kurva Phillips, korelasi antara inflasi dan pengangguran.

Keynes tidak memaparkan teori tingkat harga yang eksplisit.[64] Model Keynesian awal mengasumsikan upah dan tingkat harga lainnya adalah tetap.[65] Asumsi-asumsi ini menyebabkan sedikit kekhawatiran pada 1950-an ketika inflasi stabil, tetapi pada pertengahan 1960-an inflasi meningkat dan menjadi masalah bagi model ekonomi makro.[66] Pada tahun 1958 A.W. Phillips[e] menetapkan dasar untuk teori tingkat harga ketika dia melakukan pengamatan empiris bahwa inflasi dan pengangguran tampaknya berbanding terbalik. Pada tahun 1960 Richard Lipsey[f] memberikan penjelasan teoretis pertama tentang korelasi ini. Umumnya penjelasan Keynesian dari kurva menyatakan bahwa kelebihan permintaan mendorong inflasi yang tinggi dan pengangguran yang rendah sementara kesenjangan output meningkatkan pengangguran dan menekan harga.[67] Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, kurva Phillips menghadapi serangan di bidang empiris dan teoritis. Pertukaran yang diduga antara output dan inflasi yang diwakili oleh kurva adalah bagian terlemah dari sistem Keynesian.[68]

Disekuilibrium ekonomi makro

Artikel utama: Disekuilibrium ekonomi makro

Terlepas dari prevalensinya, sintesis neoklasik memiliki kritik Keynesian. Ketegangan teori disekuilibrium atau "non-Walrasian" dikembangkan[69] yang mengkritik sintesis untuk kontradiksi yang jelas dalam memungkinkan fenomena disekuilibrium, terutama pengangguran tidak sukarela, untuk dimodelkan dalam model ekuilibrium.[70] Selain itu, mereka berpendapat, adanya disekuilibrium di satu pasar harus dikaitkan dengan disekuilibrium di pasar lain, sehingga pengangguran tidak sukarela harus dikaitkan dengan kelebihan suplai di pasar barang. Banyak yang melihat karya Don Patinkin sebagai yang pertama dalam nada disekuilibrium.[69] Robert W. Clower (1965)[g] memperkenalkan "hipotesis keputusan ganda" bahwa seseorang di pasar dapat menentukan apa yang ingin dia beli, tetapi pada akhirnya terbatas pada seberapa banyak dia dapat membeli berdasarkan seberapa banyak dia dapat menjual.[71] Clower dan Axel Leijonhufvud (1968)[h] berpendapat bahwa disekuilibrium membentuk bagian mendasar dari teori Keynes dan patut mendapat perhatian lebih besar.[72] Robert Barro dan Herschel Grossman merumuskan model disekuilibrium umum[i] di mana pasar individu terkunci pada harga sebelum ada ekuilibrium umum. Pasar-pasar ini menghasilkan "harga palsu" yang mengakibatkan disekuilibrium.[73] Segera setelah karya Barro dan Grossman, model disekuilibrium tidak lagi disukai di Amerika Serikat,[74][75][76] dan Barro meninggalkan Keynesianisme dan mengadopsi klasik baru, hipotesis kliring pasar.[77]

Diagram for Malinvaud's typology of unemployment. Diagram shows curves for the labor and goods markets with Walrasian equilibrium in the center. Regions for Keynesian unemployment, classical unemployment, repressed inflation, and underconsumption

Diagram berdasarkan tipologi pengangguran Malinvaud menunjukkan kurva ekuilibrium di pasar barang dan tenaga kerja berdasarkan tingkat upah dan harga. Ekuilibrium Walrasian tercapai ketika kedua pasar berada pada ekuilibrium. Menurut Malinvaud perekonomian biasanya dalam keadaan pengangguran Keynesian, dengan kelebihan suplai barang dan tenaga kerja, atau pengangguran klasik, dengan kelebihan suplai tenaga kerja dan kelebihan permintaan barang.[78]

Sementara ekonom Amerika dengan cepat meninggalkan model disekuilibrium, ekonom Eropa lebih terbuka untuk model tanpa kliring pasar.[79] Orang Eropa seperti Edmond Malinvaud dan Jacques Drèze memperluas tradisi disekuilibrium dan berkarya untuk menjelaskan kekakuan harga daripada hanya mengasumsikannya.[80] Malinvaud (1977)[j] menggunakan analisis disekuilibrium untuk mengembangkan teori pengangguran.[81] Dia berpendapat bahwa disekuilibrium dalam pasar tenaga kerja dan barang dapat menyebabkan penjatahan barang dan tenaga kerja, yang menyebabkan pengangguran.[81] Malinvaud mengadopsi kerangka harga tetap dan berpendapat bahwa penetapan harga akan kaku dalam harga industri modern dibandingkan dengan sistem penetapan harga barang mentah yang relatif fleksibel yang mendominasi ekonomi pertanian.[81] Harga tetap dan hanya jumlah yang menyesuaikan.[78] Malinvaud menganggap keadaan ekuilibrium dalam pengangguran klasik dan Keynesian sebagai kemungkinan besar.[82] Karya dalam tradisi neoklasik dibatasi sebagai kasus khusus tipologi Malinvaud, ekuilibrium Walrasian. Dalam teori Malinvaud, mencapai kasus ekuilibrium Walrasian hampir tidak mungkin dicapai mengingat sifat penetapan harga industri.[82]

Monetarisme

Artikel utama: Monetarisme

Milton Friedman mengembangkan alternatif untuk ekonomi makro Keynesian yang akhirnya diberi label monetarisme. Umumnya monetarisme adalah gagasan bahwa suplai uang penting untuk ekonomi makro.[83] Ketika monetarisme muncul pada 1950-an dan 1960-an, Keynesian mengabaikan peran uang dalam inflasi dan siklus bisnis, dan monetarisme secara langsung menentang poin-poin tersebut.[84]

Mengkritik dan menambah kurva Phillips[sunting | sunting sumber]

Kurva Phillips tampaknya merefleksikan relasi terbalik yang jelas antara inflasi dan output. Kurva tersebut rusak pada tahun 1970-an karena ekonomi mengalami stagnasi ekonomi dan inflasi simultan yang dikenal sebagai stagflasi. Ledakan empiris dari kurva Phillips mengikuti serangan yang dipasang pada landasan teoritis oleh Friedman dan Edmund Phelps. Phelps, meskipun bukan seorang monetaris, berargumen bahwa hanya inflasi atau deflasi yang tidak terduga yang berdampak pada lapangan kerja. Variasi dari "kurva Phillips yang ditambah ekspektasi" Phelps menjadi alat standar. Friedman dan Phelps menggunakan model tanpa pertukaran jangka panjang antara inflasi dan pengangguran. Alih-alih kurva Phillips mereka menggunakan model berdasarkan tingkat pengangguran natural di mana kebijakan moneter ekspansif hanya dapat menggeser pengangguran sementara di bawah tingkat natural. Akhirnya, perusahaan akan menyesuaikan harga dan upah mereka untuk inflasi berdasarkan faktor riil, mengabaikan perubahan nominal dari kebijakan moneter. Dorongan ekspansif akan terhapus.[85]

Arti pentingnya uang

Anna Schwartz berkolaborasi dengan Friedman untuk menghasilkan salah satu karya utama monetarisme, A Monetary History of the United States (1963), yang menghubungkan suplai uang dengan siklus bisnis.[86] Keynesian tahun 1950-an dan 60-an telah mengadopsi pandangan bahwa kebijakan moneter tidak mempengaruhi output agregat atau siklus bisnis berdasarkan bukti bahwa, selama Depresi Hebat, suku bunga sangat rendah tetapi output tetap tertekan.[87] Friedman dan Schwartz berpendapat bahwa Keynesian hanya melihat pada tingkat nominal dan mengabaikan peran inflasi dalam suku bunga riil, yang telah tinggi selama sebagian besar masa Depresi. Secara riil, kebijakan moneter secara efektif bersifat kontraktif, memberikan tekanan ke bawah pada output dan lapangan kerja, meskipun para ekonom yang hanya melihat pada tingkat nominal menganggap kebijakan moneter telah bersifat stimulatif.[88]

Friedman mengembangkan teori kuantitas uangnya sendiri yang mengacu pada Irving Fisher tetapi mewarisi banyak dari Keynes.[89] The Quantity Theory of Money: A Restatement[k] karya Friedman tahun 1956 memasukkan permintaan uang dan preferensi likuiditas Keynes ke dalam persamaan yang mirip dengan persamaan pertukaran klasik.[90] Teori kuantitas terbaru Friedman juga memungkinkan kemungkinan menggunakan kebijakan moneter atau fiskal untuk memperbaiki penurunan besar.[91] Friedman memutuskan hubungan dengan Keynes dengan berargumen bahwa permintaan uang relatif stabil—bahkan selama penurunan.[90] Kaum monetaris berpendapat bahwa "penyesuaian" melalui kebijakan fiskal dan moneter adalah kontraproduktif. Mereka menemukan permintaan uang stabil bahkan selama perubahan kebijakan fiskal,[92] dan kebijakan fiskal dan moneter mengalami kelambatan yang membuat mereka terlalu lambat untuk mencegah penurunan ringan.[93]

Keulungan dan kemunduran

Chart showing stable money velocity until 1980 after which the line becomes less stable.

Perputaran uang stabil dan tumbuh secara konsisten sampai sekitar tahun 1980 (hijau). Setelah tahun 1980 (biru), perputaran uang menjadi tidak menentu dan asumsi moneteris tentang perputaran uang yang stabil dipertanyakan.[94]

Monetarisme menarik perhatian para pembuat kebijakan pada akhir 1970-an dan 1980-an. Kurva Phillips versi Friedman dan Phelps berkinerja lebih baik selama stagflasi dan memberi monetarisme dorongan kredibilitas.[95] Pada pertengahan 1970-an, monetarisme telah menjadi ortodoksi baru dalam makroekonomi,[96] dan pada akhir 1970-an bank sentral di Britania Raya dan Amerika Serikat sebagian besar mengadopsi kebijakan monetaris dengan menargetkan jumlah uang beredar alih-alih suku bunga saat menetapkan kebijakan.[97] Namun, menargetkan agregat moneter terbukti sulit bagi bank sentral karena kesulitan pengukuran.[98] Monetarisme menghadapi ujian besar ketika Paul Volcker mengambil alih jabatan Ketua Federal Reserve pada tahun 1979. Volcker memperketat jumlah uang beredar dan menurunkan inflasi, menciptakan Resesi awal tahun 1980-an yang parah dalam prosesnya. Resesi mengurangi popularitas monetarisme tetapi dengan jelas menunjukkan pentingnya jumlah uang beredar dalam perekonomian.[84] Monetarisme menjadi kurang kredibel ketika perputaran uang yang dulu stabil menentang prediksi monetaris dan mulai bergerak tidak menentu di Amerika Serikat selama awal 1980-an.[94] Metode monetaris dari model persamaan tunggal dan analisis bukan-statistik dari data yang diplot juga kalah dari pemodelan persamaan simultan yang disukai oleh Keynesian.[99] Kebijakan dan metode analisis monetarisme kehilangan pengaruh di antara para bankir bank sentral dan akademisi , tetapi prinsip inti dari netralitas uang jangka panjang (peningkatan jumlah uang beredar tidak dapat memiliki efek jangka panjang pada variabel riil, seperti output) dan penggunaan kebijakan moneter untuk stabilisasi menjadi bagian dari arus utama ekonomi makro bahkan di kalangan Keynesian.[84][98]

Ekonomi klasik baru

Artikel utama: Ekonomi klasik baru

Photo of University of Chicago buildings.

Banyak penelitian klasik baru dilakukan di Universitas Chicago.

"Ekonomi klasik baru" berevolusi dari monetarisme[100] dan menghadirkan tantangan lain bagi Keynesianisme. Mulanya klasik baru menganggap diri mereka sebagai monetaris,[101] tetapi aliran klasik baru berevolusi. Klasik baru meninggalkan keyakinan monetaris bahwa kebijakan moneter secara sistematis dapat berdampak pada ekonomi,[102] dan akhirnya menganut model siklus bisnis rill yang mengabaikan faktor moneter sepenuhnya.[103]

Klasik baru putus dengan teori ekonomi Keynesian sepenuhnya sementara monetaris dibangun di atas ide-ide Keynesian.[104] Meskipun membuang teori Keynesian, ekonom klasik baru berbagi fokus Keynesian dalam menjelaskan fluktuasi jangka pendek. Klasik baru menggantikan monetaris sebagai lawan utama Keynesianisme dan mengubah perdebatan utama dalam makroekonomi dari apakah akan melihat fluktuasi jangka pendek menjadi apakah model ekonomi makro harus didasarkan pada teori ekonomi mikro.[105] Seperti monetarisme, ekonomi klasik baru berakar di Universitas Chicago, terutama dengan Robert Lucas. Pemimpin lain dalam pengembangan ekonomi klasik baru meliputi Edward Prescott di Universitas Minnesota dan Robert Barro di Universitas Rochester.[103]

Ekonom klasik baru menulis bahwa teori ekonomi makro sebelumnya hanya didasarkan pada teori ekonomi mikro dan menggambarkan upayanya sebagai "fondasi ekonomi mikro untuk makroekonomi." Klasik baru juga memperkenalkan ekspektasi rasional dan berpendapat bahwa pemerintah memiliki sedikit kemampuan untuk menstabilkan ekonomi mengingat ekspektasi rasional dari pelaku ekonomi. Yang paling kontroversial, ekonom klasik baru menghidupkan kembali asumsi kliring pasar, dengan asumsi bahwa harga fleksibel dan pasar harus dimodelkan pada ekuilibrium.[106]

Ekspektasi rasional dan ketidakrelevanan kebijakan

Chart showing a supply and demand curve where price causes quantity produced to spiral away from the equilibrium intersection.

John Muth pertama kali mengajukan ekspektasi rasional ketika dia mengkritik model jaring laba-laba (contoh di atas) dari harga pertanian. Muth menunjukkan bahwa pelaku yang membuat keputusan berdasarkan ekspektasi rasional akan lebih berhasil daripada mereka yang membuat estimasi berdasarkan ekspektasi adaptif, yang dapat mengarah pada situasi jaring laba-laba di atas di mana keputusan tentang jumlah produksi (Q) menyebabkan harga (P) melonjak di luar kendali dari ekuilibrium penawaran (S) dan permintaan(D).[107][108]

Keynesian dan monetaris mengakui bahwa orang mendasarkan keputusan ekonomi mereka pada ekspektasi tentang masa depan. Namun, hingga tahun 1970-an, sebagian besar model mengandalkan ekspektasi adaptif, yang mengasumsikan bahwa ekspektasi didasarkan pada rata-rata tren masa lalu.[109] Misalnya, jika inflasi rata-rata 4% selama satu periode, pelaku ekonomi diasumsikan mengekspektasikan inflasi 4% pada tahun berikutnya.[109] Lucas pada tahun 1972,[l] dipengaruhi oleh makalah ekonomi pertanian tahun 1961 oleh John Muth,[m] memperkenalkan ekspektasi rasional pada makroekonomi.[110] Pada dasarnya, ekspektasi adaptif memodelkan perilaku seolah-olah "melihat ke belakang", sementara ekspektasi rasional memodelkan pelaku ekonomi (konsumen, produsen, dan investor) yang "berpandangan ke depan".[111] Ekonom klasik baru juga mengklaim bahwa model ekonomi akan menjadi tidak konsisten secara internal jika diasumsikan bahwa pelaku yang dimodelkannya berperilaku seolah-olah mereka tidak mengetahui model tersebut.[112] Di bawah asumsi ekspektasi rasional, model mengasumsikan pelaku membuat prediksi berdasarkan perkiraan optimal dari model itu sendiri.[109] Ini tidak berarti bahwa orang memiliki pandangan ke depan yang sempurna,[113] tetapi bahwa mereka bertindak dengan pemahaman yang tepat tentang teori dan kebijakan ekonomi.[114]

Thomas Sargent dan Neil Wallace (1975)[n] menerapkan ekspektasi rasional pada model dengan pertukaran kurva Phillips antara inflasi dan output dan menemukan bahwa kebijakan moneter tidak dapat digunakan untuk menstabilkan ekonomi secara sistematis. Proposisi ketidakefektifan kebijakan Sargent dan Wallace menemukan bahwa pelaku ekonomi akan mengantisipasi inflasi dan menyesuaikan diri dengan tingkat harga yang lebih tinggi sebelum masuknya stimulus moneter dapat meningkatkan lapangan kerja dan output.[115] Hanya kebijakan moneter yang tidak diantisipasi yang dapat meningkatkan lapangan kerja, dan tidak ada bank sentral yang dapat secara sistematis menggunakan kebijakan moneter untuk ekspansi tanpa pelaku ekonomi menangkap dan mengantisipasi perubahan harga sebelum dapat memberikan dampak stimulatif.[116]

Robert E. Hall[o] menerapkan ekspektasi rasional pada hipotesis pendapatan permanen Friedman bahwa orang mendasarkan tingkat pengeluaran mereka saat ini pada kekayaan dan pendapatan seumur hidup mereka daripada pendapatan saat ini.[117] Hall menemukan bahwa orang akan memperhalus konsumsinya dari waktu ke waktu dan hanya mengubah pola konsumsi mereka ketika ekspektasi mereka tentang pendapatan masa depan berubah.[118] Baik hipotesis pendapatan permanen versi Hall maupun Friedman menantang pandangan Keynesian bahwa kebijakan stabilisasi jangka pendek seperti pemotongan pajak dapat menstimulir perekonomian.[117] Pandangan pendapatan permanen menunjukkan bahwa konsumen mendasarkan pengeluaran mereka pada kekayaan, sehingga peningkatan pendapatan sementara hanya akan menghasilkan peningkatan konsumsi yang moderat.[117] Tes empiris hipotesis Hall menunjukkan hal itu mungkin mengecilkan peningkatan konsumsi karena peningkatan pendapatan; namun, karya Hall membantu mempopulerkan model konsumsi persamaan Euler.[119]

Kritik Lucas dan fondasi mikro

Pada tahun 1976 Lucas menulis makalah[p] yang mengkritik model Keynesian skala besar yang digunakan untuk peramalan dan evaluasi kebijakan. Lucas berpendapat bahwa model ekonomi berdasarkan relasi empiris antara variabel tidak stabil ketika kebijakan berubah: relasi di bawah satu rezim kebijakan mungkin tidak valid setelah rezim berubah.[112] Kritik Lucas melangkah lebih jauh dan berargumen bahwa dampak kebijakan ditentukan oleh bagaimana kebijakan tersebut mengubah ekspektasi pelaku ekonomi. Tidak ada model yang stabil kecuali model tersebut memperhitungkan ekspektasi dan bagaimana ekspektasi berelasi dengan kebijakan.[120] Ekonom klasik baru berpendapat bahwa mengabaikan model disekuilibrium Keynesianisme dan berfokus pada model ekuilibrium berbasis struktur dan perilaku akan memperbaiki kesalahan ini.[121] Ekonom Keynesian menanggapi dengan membangun model dengan mikrofondasi yang didasarkan pada relasi teoretis yang stabil.[122]

Teori suplai Lucas dan model siklus bisnis

Lihat pula: Model kepulauan Lucas

Lucas dan Leonard Rapping[q] menyusun pendekatan klasik baru pertama untuk penawaran agregat pada tahun 1969. Di bawah model mereka, perubahan dalam pekerjaan didasarkan pada preferensi pekerja untuk waktu senggang. Lucas dan Rapping memodelkan penurunan pekerjaan sebagai pilihan sukarela pekerja untuk mengurangi upaya kerja mereka dalam menanggapi upah yang berlaku.[123]

Lucas (1973)[r] mengusulkan teori siklus bisnis berdasarkan ekspektasi rasional, informasi yang tidak sempurna, dan kliring pasar. Saat membangun model ini, Lucas berusaha memasukkan fakta empiris bahwa telah terjadi pertukaran antara inflasi dan output tanpa mengakui bahwa uang tidak netral dalam jangka pendek.[124] Model ini memasukkan gagasan kejutan uang: kebijakan moneter hanya penting ketika membuat orang terkejut atau bingung dengan harga barang yang berubah relatif satu sama lain.[125] Lucas berhipotesis bahwa produsen menyadari perubahan dalam industri mereka sendiri sebelum mereka mengenali perubahan di industri lain. Dengan asumsi ini, produsen mungkin menganggap kenaikan tingkat harga umum sebagai peningkatan permintaan barangnya. Produsen menanggapi dengan meningkatkan produksi hanya untuk menemukan "kejutan" bahwa harga telah meningkat di seluruh perekonomian secara umum daripada secara khusus untuk barang-barangnya.[126] "Kurva penawaran Lucas" ini memodelkan output sebagai fungsi dari "harga" atau "kejutan uang", perbedaan antara inflasi yang diekspektasikan dan inflasi aktual.[126] Teori siklus bisnis "kejutan" Lucas tidak lagi disukai setelah tahun 1970-an ketika bukti empiris gagal mendukung model ini.[127][128]

Teori siklus bisnis riil

Bush shakes hands with Kydland with Prescott behind them.

George W. Bush bertemu Kydland (kiri) dan Prescott (tengah) pada seremoni Kantor Oval pada tahun 2004 untuk menghormati Peraih Nobel tahun itu.

Sementara model "kejutan uang" gagal, upaya berjalan terus untuk mengembangkan model klasik baru dari siklus bisnis. Sebuah makalah tahun 1982 oleh Kydland dan Prescott[s] memperkenalkan teori siklus bisnis riil (RBC).[129] Berdasarkan teori ini, siklus bisnis dapat dijelaskan seluruhnya oleh sisi penawaran, dan model mewakili perekonomian dengan sistem pada equilibrium konstan.[130] RBC mengabaikan kebutuhan untuk menjelaskan siklus bisnis dengan kejutan harga, kegagalan pasar, kekakuan harga, ketidakpastian, dan ketidakstabilan.[131] Sebaliknya, Kydland dan Prescott membangun model hemat yang menjelaskan siklus bisnis dengan perubahan teknologi dan produktivitas.[127] Tingkat pekerjaan berubah karena perubahan teknologi dan produktivitas ini mengubah keinginan orang untuk bekerja.[127] RBC menolak gagasan tingginya pengangguran tidak suka rela dalam resesi dan tidak hanya menolak gagasan bahwa uang dapat menstabilkan perekonomian tetapi juga gagasan monetaris bahwa uang dapat mengacaukannya.[132]

Pemodel siklus bisnis riil berusaha untuk membangun model ekonomi makro berdasarkan mikrofondasi Panah–Debreu[133] ekuilibrium umum.[134][135][136][137] Model RBC adalah salah satu inspirasi untuk model ekuilibrium umum stokastik dinamis (DSGE). Model DSGE telah menjadi alat metodologis umum untuk ekonom makro—bahkan mereka yang tidak setuju dengan teori klasik baru.[129]

Sumber: id.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Sejarah pemikiran ekonomi makro

Ekonomi

Supply (economics)

Dipublikasikan oleh Admin pada 28 Februari 2022


In economicssupply is the amount of a resource that firmsproducerslabourers, providers of financial assets, or other economic agents are willing and able to provide to the marketplace or to an individual. Supply can be in produced goods, labour time, raw materials, or any other scarce or valuable object. Supply is often plotted graphically as a supply curve, with the price per unit on the vertical axis and quantity supplied as a function of price on the horizontal axis. This reversal of the usual position of the dependent variable and the independent variable is an unfortunate but standard convention.

The supply curve can be either for an individual seller or for the market as a whole, adding up the quantity supplied by all sellers. The quantity supplied is for a particular time period (e.g., the tons of steel a firm would supply in a year), but the units and time are often omitted in theoretical presentations.

In the goods market, supply is the amount of a product per unit of time that producers are willing to sell at various given prices when all other factors are held constant. In the labor market, the supply of labor is the amount of time per week, month, or year that individuals are willing to spend working, as a function of the wage rate.

In financial markets, the money supply is the amount of highly liquid assets available in the money market, which is either determined or influenced by a country's monetary authority. This can vary based on which type of money supply one is discussing. M1 for example is commonly used to refer to narrow money, coins, cash, and other money equivalents that can be converted to currency nearly instantly. M2 by contrast includes all of M1 but also includes short-term deposits and certain types of market funds.

Supply schedule

A supply schedule is a table which shows how much one or more firms will be willing to supply at particular prices under the existing circumstances.[1] Some of the more important factors affecting supply are the good's own price, the prices of related goods, production costs, technology, the production function, and expectations of sellers.

Factors affecting supply

Innumerable factors and circumstances could affect a seller's willingness or ability to produce and sell a good. Some of the more common factors are:

Good's own price: The basic supply relationship is between the price of a good and the quantity supplied. According to the Law of Supply, keeping other factors constant, an increase in price results in an increase in quantity supplied.[2]

Prices of related goods:[2] For purposes of supply analysis related goods refer to goods from which inputs are derived to be used in the production of the primary good. For example, Spam is made from pork shoulders and ham. Both are derived from pigs. Therefore, pigs would be considered a related good to Spam. In this case the relationship would be negative or inverse. If the price of pigs goes up the supply of Spam would decrease (supply curve shifts left) because the cost of production would have increased. A related good may also be a good that can be produced with the firm's existing factors of production. For example, suppose that a firm produces leather belts, and that the firm's managers learn that leather pouches for smartphones are more profitable than belts. The firm might reduce its production of belts and begin production of cell phone pouches based on this information. Finally, a change in the price of a joint product will affect supply. For example, beef products and leather are joint products. If a company runs both a beef processing operation and a tannery an increase in the price of steaks would mean that more cattle are processed which would increase the supply of leather.[3]

Conditions of production: The most significant factor here is the state of technology. If there is a technological advancement in one good's production, the supply increases. Other variables may also affect production conditions. For instance, for agricultural goods, weather is crucial for it may affect the production outputs.[4] Economies of scale can also affect conditions of production.

Expectations: Sellers' concern for future market conditions can directly affect supply.[5] If the seller believes that the demand for his product will sharply increase in the foreseeable future the firm owner may immediately increase production in anticipation of future price increases. The supply curve would shift out.[6]

Price of inputs: Inputs include land, labor, energy and raw materials.[7] If the price of inputs increases the supply curve will shift left as sellers are less willing or able to sell goods at any given price. For example, if the price of electricity increased a seller may reduce his supply of his product because of the increased costs of production.[6] Fixed inputs can affect the price of inputs, and the scale of production can affect how much the fixed costs translate into the end price of the good.

Number of suppliers: The market supply curve is the horizontal summation of the individual supply curves. As more firms enter the industry, the market supply curve will shift out, driving down prices.

Government policies and regulations: Government intervention can have a significant effect on supply.[7] Government intervention can take many forms including environmental and health regulations, hour and wage laws, taxes, electrical and natural gas rates and zoning and land use regulations.[8]

This list is not exhaustive. All facts and circumstances that are relevant to a seller's willingness or ability to produce and sell goods can affect supply.[9] For example, if the forecast is for snow retail sellers will respond by increasing their stocks of snow sleds or skis or winter clothing or bread and milk.

Supply function and equation

Supply functions, then, may be classified according to the source from which they come: consumers or firms. Each type of supply function is now considered in turn. In so doing, the following notational conventions are employed: There are I produced goods, each defining a single industry, and J factors. The indices i = 1,…, I and J = 1,…, J run, respectively, over produced goods (industries) and factors. Let n index all goods by first listing produced goods and then factors so that n = 1,…, I, I + 1,…, I + J. The number of firms in industry i is written L i, and these firms are indexed by l = 1,…, L i. There are K consumers enumerated as k = 1,…, K. The variable {\displaystyle y_{I+jk}}{\displaystyle y_{I+jk}}represents the quantities of factor j consumed by consumer k. This person can have endowments of good j from {\displaystyle {\bar {y}}_{I+1k}}{\displaystyle {\bar {y}}_{I+1k}}to {\displaystyle {\bar {y}}_{I+jk}}{\displaystyle {\bar {y}}_{I+jk}}. If {\displaystyle y_{I+jk}}{\displaystyle y_{I+jk}} < {\displaystyle {\bar {y}}_{I+jk}}{\displaystyle {\bar {y}}_{I+jk}}then person k is a supplier of j. If the opposite is true, they are a consumer of j.

The supply function is the mathematical expression of the relationship between supply and those factors that affect the willingness and ability of a supplier to offer goods for sale. An example would be the curve implied by {\displaystyle Q_{\text{s}}=f(P;P_{\text{rg}})}Q_{{{\text{s}}}}=f(P;P_{{{\text{rg}}}}) where {\displaystyle P}P is the price of the good and {\displaystyle P_{\text{rg}}}P_{{{\text{rg}}}} is the price of a related good. The semicolon means that the variables to the right are held constant when quantity supplied is plotted against the good's own price. The supply equation is the explicit mathematical expression of the functional relationship. A linear example is {\displaystyle Q_{\text{s}}=325+P-30P_{\text{rg}}}Q_{{{\text{s}}}}=325+P-30P_{{{\text{rg}}}} Here {\displaystyle 325}325 is the repository of all non-specified factors that affect supply for the product. The coefficient of {\displaystyle P}P is positive following the general rule that price and quantity supplied are directly related. {\displaystyle P_{\text{rg}}}P_{{{\text{rg}}}} is the price of a related good. Typically, its coefficient is negative because the related good is an input or a source of inputs.

Movements versus shifts

Movements along the curve occur only if there is a change in quantity supplied caused by a change in the good's own price.[10] A shift in the supply curve, referred to as a change in supply, occurs only if a non-price determinant of supply changes.[10] For example, if the price of an ingredient used to produce the good, a related good, were to increase, the supply curve would shift left.[11][12]

Inverse supply equation

By convention in the context of supply and demand graphs, economists graph the dependent variable (quantity) on the horizontal axis and the independent variable (price) on the vertical axis. The inverse supply equation is the equation written with the vertical-axis variable isolated on the left side: {\displaystyle P=f(Q)}P=f(Q). As an example, if the supply equation is {\displaystyle Q=40P-2P_{rg}}Q=40P-2P_{{rg}} then the inverse supply equation would be {\displaystyle P={\tfrac {Q}{40}}+{\tfrac {P_{rg}}{20}}}P={\tfrac  {Q}{40}}+{\tfrac  {P_{{rg}}}{20}}.[13]

Marginal costs and short-run supply curve

A firm's short-run supply curve is the marginal cost curve above the shutdown point—the short-run marginal cost curve (SRMC) above the minimum average variable cost. The portion of the SRMC below the shutdown point is not part of the supply curve because the firm is not producing any output.[14] The firm's long-run supply curve is that portion of the long-run marginal cost curve above the minimum of the long run average cost curve.

Shape of the short-run supply curve

The Law of Diminishing Marginal Returns (LDMR) shapes the SRMC curve. The LDMR states that as production increases eventually a point (the point of diminishing marginal returns) will be reached after which additional units of output resulting from fixed increments of the labor input will be successively smaller. That is, beyond the point of diminishing marginal returns the marginal product of labor will continually decrease and hence a continually higher selling price would be necessary to induce the firm to produce more and more output.

From firm to market supply curve

The market supply curve is the horizontal summation of firm supply curves.[15]

The market supply curve can be translated into an equation. For a factor j for example the market supply function is

{\displaystyle S_{j}=S^{j}(p,r)}{\displaystyle S_{j}=S^{j}(p,r)}

where

{\displaystyle S_{j}=\sum _{k=1}^{k}S_{jk}}{\displaystyle S_{j}=\sum _{k=1}^{k}S_{jk}} and {\displaystyle S^{j}(p,r)=\sum _{k=1}^{k}S^{jk}(p,r)}{\displaystyle S^{j}(p,r)=\sum _{k=1}^{k}S^{jk}(p,r)} for all p > 0 and r > 0.

Note: not all assumptions that can be made for individual supply functions translate over to market supply functions directly.

The shape of the market supply curve

The law of supply dictates that all other things remaining equal, an increase in the price of the good in question results in an increase in quantity supplied. In other words, the supply curve slopes upwards.[16] However, there are exceptions to the law of supply. Not all supply curves slope upwards.[17]

Empirical data, however, shows that the supply curve for mass produced goods is often downwardsloping. As production increases, unit prices go down. And, conversely, if demand is very low, unit prices go up. This corresponds to economies of scale.[18]

Elasticity

The price elasticity of supply (PES) measures the responsiveness of quantity supplied to changes in price, as the percentage change in quantity supplied induced by a one percent change in price. It is calculated for discrete changes as {\displaystyle \left({\tfrac {\Delta Q}{\Delta P}}\right)\times {\tfrac {P}{Q}}}\left({\tfrac  {\Delta Q}{\Delta P}}\right)\times {\tfrac  {P}{Q}} and for smooth changes of differentiable supply functions as {\displaystyle \left({\tfrac {\partial Q}{\partial P}}\right)\times {\tfrac {P}{Q}}}\left({\tfrac  {\partial Q}{\partial P}}\right)\times {\tfrac  {P}{Q}}. Since supply is usually increasing in price, the price elasticity of supply is usually positive. For example, if the PES for a good is 0.67 a 1% rise in price will induce a two-thirds increase in quantity supplied.

Significant determinants include:

Complexity of production: Much depends on the complexity of the production process. Textile production is relatively simple. The labor is largely unskilled and production facilities are little more than buildings—no special structures are needed. Thus, the PES for textiles is elastic. On the other hand, the PES for specific types of motor vehicles is relatively inelastic. Auto manufacture is a multi-stage process that requires specialized equipment, skilled labor, a large suppliers network and large R&D costs.

Time to respond: The more time a producer has to respond to price changes the more elastic the supply. For example, a cotton farmer cannot immediately respond to an increase in the price of soybeans.

Excess capacity: A producer who has unused capacity can quickly respond to price changes in his market assuming that variable factors are readily available.

Inventories: A producer who has a supply of goods or available storage capacity can quickly respond to price changes.

Other elasticities can be calculated for non-price determinants of supply. For example, the percentage change the amount of the good supplied caused by a one percent increase in the price of a related good is an input elasticity of supply if the related good is an input in the production process.[citation needed] An example would be the change in the supply of cookies caused by a one percent increase in the price of sugar.

Elasticity along linear supply curves

The slope of a linear supply curve is constant; the elasticity is not. If the linear supply curve intersects the price axis, PES will be infinitely elastic at the point of intersection.[19] The coefficient of elasticity decreases as one moves "up" the curve.[19] However, all points on the supply curve will have a coefficient of elasticity greater than one.[20] If the linear supply curve intersects the quantity axis PES will equal zero at the point of intersection and will increase as one moves up the curve;[19] however, all points on the curve will have a coefficient of elasticity less than 1. If the linear supply curve intersects the origin PES equals one at the point of origin and along the curve.

Market structure and the supply curve

There is no such thing as a monopoly supply curve.[21] Perfect competition is the only market structure for which a supply function can be derived. In a perfectly competitive market the price is given by the marketplace from the point of view of the supplier; a manager of a competitive firm can state what quantity of goods will be supplied for any price by simply referring to the firm's marginal cost curve. To generate his supply function the seller could simply initially hypothetically set the price equal to zero and then incrementally increase the price; at each price he could calculate the hypothetical quantity supplied using the marginal cost curve. Following this process the manager could trace out the complete supply function. A monopolist cannot replicate this process because price is not imposed by the marketplace and hence is not an independent variable from the point of view of the firm; instead, the firm simultaneously chooses both the price and the quantity subject to the stipulation that together they form a point on the customers' demand curve. A change in demand can result in "changes in price with no changes in output, changes in output with no changes in price or both".[21] There is simply not a one-to-one relationship between price and quantity supplied.[22] There is no single function that relates price to quantity supplied.

Sumber: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Supply (economics)
« First Previous page 261 of 274 Next Last »