Farmasi

Kimia Farma Resmikan Pabrik Bahan Baku Obat (BBO), Bisa Kurangi Impor Povidone Iodine Alias Obat Merah

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meresmikan pembangunan pabrik bahan baku obat (BBO) dalam negeri, Kamis (2/6) siang. Pabrik yang dibangun PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia ini akan memproduksi bahan baku Povidone Iodine atau obat merah. Bersamaan dengan pembangunan pabrik ini, Kemenkes menentukan pula kebijakan penggantian sumber bahan baku obat alias change source dari bahan impor ke bahan baku produksi dalam negeri.

Budi menentukan pula target bahwa 50 persen dari bahan baku obat dari hulu ke hilir sudah harus dapat diproduksi dalam negeri. Ini hal penting untuk mencapai ketahanan sistem kesehatan disaat krisis. “Siapa yang bikin, terserah. Yang penting, saat ada pandemi lagi kita tidak sibuk mencari dari luar,” ujar Budi dalam keterangan tertulis pada Kemenkes, Kamis (2/6).

Budi menyampaikan bahwa ketersediaan obat dan alat kesehatan sangat penting. Adanya karantina yang diterapkan negara-negara produsen alat kesehatan dan obat sempat menghambat penanganan pandemi beberapa tahun silam.    Direktur Utama Holding BUMN Farmasi Honesti Basyir mengungkapkan bahwa kebijakan ini bisa mengurangi ketergantungan Indonesia atas BBO impor yang tergolong tinggi. Tercatat, sekitar 90 persen BBO masih berasal dari luar negeri dan 34,7 persen dari produk yang ada di katalog elektronik pun berasal dari luar negeri.

“Kita mempunyai komitmen dengan adanya industri yang seperti ini, kami dapat mengurangi sampai 20 persen ketergantungan BBO impor. Ini telah kami bikin roadmap hingga tahun 2026,” ujar Honesti dikutip dari kanal YouTube Kementerian Kesehatan (2/6).

Adapula, roadmap yang telah ditentukan ini sesuai dengan Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri. Roadmap ini menargetkan sejumlah 24 BBO bisa diproduksi di dalam negeri dan saat ini telah terdapat 12 BBO yang tercatat diproduksi di Indonesia. Hasil dari kebijakan change source ini harapannya selesai pada September 2022 untuk dimasukkan ke katalog elektronik dan bisa dimanfaatkan pada layanan kesehatan. Dalam catatan Kemenkes, terdapat 14 industri farmasi yang menyambut baik perubahan ini dengan berkomitmen mengganti BBO impor ke BBO dalam negeri. Ke 14 industri itu ialah PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, PT Veron Pharmaceutical, PT Daewoong Infion, PT Kalbio Global Medika, PT Kimia Farma, PT Dexa Medica, PT Kalbe Farma, PT Otto Pharmaceutical, PT Meprofarm, PT Pertiwi Agung, PT Novell Pharmaceutical Laboratories, PT Phapros, PT Lapi Laboratories, dan PT Dipa Pharmalab.


Disadur dari sumber katadata.co.id

Selengkapnya
Kimia Farma Resmikan Pabrik Bahan Baku Obat (BBO), Bisa Kurangi Impor Povidone Iodine Alias Obat Merah

Farmasi

Impor BBO Indonesia Capai 95%, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia Pacu Substitusi Impor Bahan Baku Farmasi

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Pemerintah Indonesia terus berusaha menciptakan kemandirian sektor farmasi. Terlebih lagi, kemandirian sektor farmasi harapannya mampu berkontribusi dalam program substitusi impor sampai 35 persen pada akhir 2022.

Seperti diketahui, sektor farmasi memberikan kontribusi sangat signifikan terhadap porsi impor Indonesia. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), porsi impor bahan baku obat Indonesia hingga 95 persen. Maka dari itu, industri bahan baku obat menjadi poros paling penting untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat Indonesia.

Sebagai pionir industri bahan baku obat di Indonesia, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) berkomitmen penuh untuk membantu pemerintah dalam menciptakan kemandirian sektor farmasi, terlebih mengurangi porsi impor bahan baku obat di Indonesia. Terlebih lagi, perusahaan joint venture antara PT. Kimia Farma Tbk. dengan perusahaan asal Korea Selatan PT. Sungwun Pharmacopia Co Ltd. mentargetkan mampu memenuhi 50 persen kebutuhan bahan baku obat Indonesia dalam 10 tahun yang akan datang.

 

Perusahaan yang baru melaksanakan komersialisasi tahun 2020 ini sudah mengembangkan 2 lini produksi yakni, bahan baku obat dan high function chemical (HFC) untuk bahan baku kosmetik. Pada tahap awal, produksi bahan baku obat diorientasikan sepenuhnya untuk kebutuhan domestik. Upaya ini dilaksanakan guna mengurangi porsi impor bahan baku obat yang angkanya hampir menyentuh 100 persen.

Sedangkan produksi HFC untuk bahan baku kosmetik, perusahaan mengorientasikan sepenuhnya untuk kebutuhan ekspor. Hal ini terpaksa dilaksanakan perseroan, sebab demand atau permintaan untuk produk yang diproduksi KFSP masih sangat minim.

Direktur Utama KFSP, Rusdi Rosman mengungkapkan, kini kapasitas produksi KFSP untuk bahan baku obat mencapai 30 metrik ton/tahun. Sementara kapasitas produksi HFC untuk bahan baku kosmetik mencapai 75-150 metrik ton/tahun.

Rusdi menilai kapasitas produksi 30 metrik ton/tahun untuk bahan baku obat kini masih memadai. Pasalnya, demand dan kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri masih relatif kecil. Sampai sekarang ini, jelas Rusdi, penggunaan obat di Indonesia masih relatif kecil, tak sampai 0,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta orang. Jika dibandingkan dengan China, India, bahkan Bangladesh kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri masih relatif sangat kecil.

Selanjutnya, Rusdi mengatakan bahwa pihaknya sampai kini sudah menuntaskan transfer teknologi untuk empat item produk yaitu simvastatin, atopastatin, klopidogler, dan entekafir. Menurut penjelasan Rusdi, ke 4 item produk itu apabila dimaksimalkan dapat menurunkan 2 persen angka impor bahan baku obat Indonesia. “Tahun 2020, kami telah menyusun tambahan empat item produk baru yang sudah dituntaskan transfer teknologinya, jika dijumlahkan dapat menurunkan angka impor sebanyak 4 persen. Hingga tahun 2024, kami harapannya dapat menurunkan angka impor sebesar 24 persen,” ungkap Rusdi.

Maka dari itu, dukungan pemerintah berupa regulasi, peraturan dan kebijakan menjadi kunci utama keberlangsungan hidup industri bahan baku obat di Indonesia. “Jika kita lihat terdapat 2 hal yang harus berjalan yang pertama regulasi pemerintah harus ada untuk jangka pendek agar industri ini dapat hidup terlebih dahulu, namun industri pun dalam jangka panjang harus menyiapkan daya saingnya, sebeb regulasi pemerintah itu kan tak dapat terus menerus sehingga pada saat begitu regulasi dicabut, industri ini dapat mempunyai competitivenes dan mempunyai daya saing sehingga dalam jangka menengah panjang industri ini dapat bersaing dengan produk-produk yang ada kini,” ungkap Rusdi. Menurut Rusdi, penurunan angka impor bahan baku obat akan optimal jika industri hilir menggunakan produk-produk industri hulu.


Disadur dari sumber ikft.kemenperin.go.id

Selengkapnya
Impor BBO Indonesia Capai 95%, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia Pacu Substitusi Impor Bahan Baku Farmasi

Farmasi

Menilik Peta Persaingan Industri Farmasi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Liputan6.com, Jakarta - Fitch Solutions menjelaskan Indonesia mempunyai lebih dari 200 produsen dan distributor farmasi, termasuk 29 perusahaan multinasional. Lantas bagaimana posisi perusahaan multinasional dan dalam negeri di sektor farmasi?

Sebagian besar produsen lokal mengkhususkan diri dalam produksi produk generik murah, obat-obatan over the counter (OTC) dan perawatan tradisional. Sementara itu, terdapat pula 4 laboratorium farmasi milik pemerintah yang berkonsentrasi pada produksi obat-obatan yang termasuk di dalamnya daftar obat esensi nasional.

Perusahaan farmasi dalam negeri seperti PT. Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT. Kimia Farma Tbk (KAEF) mempunyai pasar 70%. Sisanya 30%, pasar farmasi Indonesia terdiri dari perusahaan farmasi asing seperti Bayer, Pfizer, GlaxoSmithKline, Mitsubishi Tanabe Pharma, Merck dan sebagainya. Demikan dijelaskan dalam laporan tantang Indonesia Pharmaceutial & Healthcare Report Include 10-year forecasts to 2030.

Menurut Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, sekitar 95% obat produksi lokal dikonsumsi di dalam negeri. Sisanya 5% diekspor. Sepuluh perusahaan teratas seluruhnya lokal, dan menguasai sekitar 40% pasar dalam hal volume.

Industri dalam negeri kini mengimpor sebanyak 90%dari bahan bakunya, walaupun kerentanan ini kian diatasi melalui manajemen stok dan investasi di fasilitas manufaktur hulu.

Fitch Solutions menyatakan, salah satu hambatan utama untuk produsen obat dari luar negeri dalam mendirikan operasi di Indonesia yaitu posisi industri farmasi di daftar investasi negative. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36/20210, investor dilarang mempunyai lebih dari 75% dari perusahaan farmasi Indonesia (meningkat menjadi 85% pada tahun 2014).

Sementara itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/2008 menyatakan perusahaan asing yang tak mempunyai pabrik di dalam negeri tak bisa mendistribusikan produknya dan harus mengandalkan perusahaan lain (yang mempunyai pabrik) untuk menjalankannya. "Kian membatasi peran perusahaan farmasi multinasional di negara tersebut,” tulis Fitch Solutions, dilansir Sabtu(26/6/2021).

Insentif pemerintah guna membangun industri farmasi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor akan kian besar diperkuat oleh reformasi yang mendorong lokalisasi obat-obatan, memungkinkan pembuat obat lokal untuk diversifikasi rantai pasokannya.

Hal itu masuk paket stimulus ekonomi pemerintah ke 11 yang dilansir pada Maret 2016 guna mendorong produksi bahan baku obat dalam negeri terutama 5 kategori produk antara lain bioteknologi, vaksin, ekstrak herbal, bahan aktif farmasi, dan alat kesehatan.

"Sebagai hasil dari paket ini, baik Kimia Farma dan Kalbe Farma baru-baru ini berinvestasi di hulu industri farmasi dengan mendirikan pabrik yang bisa mensuplai bahan baku,” tulis Fitch Solutions.

Sebelumnya ketentuan pemerintah tersebut tujuannya guna mendorong perusahaan asing investasi di dalam negeri. Hal tersebut menuai protes dari Kamar Dagang AS sehingga dampaknya pada 13 produsen obat internasional yang menjual obat-obatan di Indonesia sebeb saat itu belum mempunyai fasilitas produksi di Indonesia. Ada pula yang terdampak yaitu Astellas Pharma, AstraZeneca, Eli Lily, Merck Sharp, Dohme, Novo Nordisk, Roche, Servier dan Wyeth.

Perusahaan farmasi asing yang beroperasi di Indonesia diwakili oleh asosiasi perdagangan. IPMG semisal, terdiri dari 28 perusahaan farmasi internasional berbasis penelitian secara bersama-asma mempekerjakan sekitar 10.000 staf lokal.

Semenjak tahun 1999, anggota IPMG sudah memperkenalkan lebih dari 250 produk bar uke Indonesia untuk mengobati kanker, penyakit menular, penyakit kardiovaskular dan penyakit lainnya.


Disadur dari sumber liputan6.com

Selengkapnya
Menilik Peta Persaingan Industri Farmasi di Indonesia

Farmasi

Manjanjikan! Peluang di Industri Farmasi dan Kesehatan Indonesia

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Pandemi, secara tidak terduga, sudah membuka mata kami akan pentingnya obat-obatan, perangkat medis, dan tenaga kesehatan. Perlombaan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 sudah mendorong banyak negara berinvestasi lebih besar dalam program penelitian kesehatan dan pengadaan vitamin, suplemen, dan obat peningkat kekebalan tubuh.

Di Indonesia, farmasi ialah sektor yang menjanjikan. Diakibatkan meningkatnya permintaan, Pemerintah sudah memasukkan sektor perangkat medis dan farmasi sebagai bagian dari sektor prioritas dalam upaya merealisasikan program Making Indonesia 4.0. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan daya saing sektor perangkat medis dan farmasi dengan mendorong terselenggaranya transformasi digital berbasis teknologi.

Sebagai contoh, perusahaan induk farmasi milik negara sudah memanfaatkan teknologi digital mulai dari proses produksi sampai distribusinya. Perusahaan tersebut memakai sistem yang saling terhubung untuk menumbuhkan jaringan; mengadakan proses administratif digital; dan mendorong terciptanya kinerja yang lebih efektif dan efisien.

Peluang untuk merealisasikan ketahanan

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan terdapat 220 perusahaan di industri farmasi di Indonesia dan 90% di antaranya fokusnya pada sektor hilir (downstream) dalam produksi obat-obatan. Sedangkan, pemerintah terus mengupayakan pengurangan impor sejumlah 35% sampai akhir tahun 2022. Pemerintah harapannya upaya ini bisa mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, sampai tahun 2021, ada 241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat-obatan, 132 industri obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami.

Pertumbuhan fasilitas produksi peralatan medispun kian meningkat. Dari tahun 2015 sampai 2021, angka perusahaan yang memproduksi perangkat medis meningkat dari 193 menjadi 891 perusahaan. Lebih jauh, dalam 5 tahun terakhir, industri perangkat medis dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 361,66% atau kira - kira sebesar 698 perusahaan.

Indonesia mengekspor produk farmasi dan perangkat medis ke beberapa negara, yakni Belanda, Inggris, Polandia, Nigeria, Kamboja, Vietnam, Filipina, Myanmar, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Percepatan pemberian izin

Pemerintah sudah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat pembangunan industri farmasi, termasuk prosedur serta sasaran pengembangan produk dan jangka waktunya. Sasaran peta jalan ini merupakan produksi bahan baku berteknologi tinggi. Fokus jangka panjangnya ialaha membantu industri farmasi dan perangkat medis menjadi industri mandiri dan bisa memenuhi kebutuhan penduduk sembari menurunkan ketergantungan pada produk impor.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia Bahlil Lahadalia dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah sepakat untuk mempercepat pemberian izin untuk penyedia peralatan medis untuk membantu negara menanggulangi pandemi COVID-19. Pemberian izin usaha untuk peralatan medis di Indonesia bisa dipercepat sampai menjadi 1x24 jam (satu hari) hanya dengan mengakses sistem Online Single Submission (OSS) dan Pusat Komando Investasi dan Pengawalan Investasi BKPM.

Penyedia akan menerima Nomor Induk Berusaha (NIB), Izin Usaha Industri, dan Izin Komersial atau Operasional. Nantinya, sistem Kementerian Kesehatan akan memproses permintaan mereka atas Sertifikat Produksi dan Izin Distribusi.

Beberapa produk yang termasuk dalam layanan percepatan adalah masker bedah, Alat Pelindung Diri (APD), dan penyanitasi tangan (hand sanitizer). BKPM memperkirakan bahwa penyedia peralatan medis akan memanfaatkan peluang ini guna membantu mencegah penyebaran COVID-19.


Disadur dari sumber bkpm.go.id

Selengkapnya
Manjanjikan! Peluang di Industri Farmasi dan Kesehatan Indonesia

Farmasi

Inilah Daftar 10 Perusahaan Farmasi Terbesar di Indonesia Versi Terbaru

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


JAKARTA – 10 perusahaan farmasi terbesar di Indonesia terbaru akan diulas di sini.

Diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan perusahaan farmasi terbanyak.

Indonesia merupakan pangsa pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN mencapai 27 persen dari jumlah pangsa pasar ASEAN. Dimana, 73 persen pangsa pasar farmasi nasional didominasi oleh perusahaan farmasi lokal.

Lalu, apa sajakah 10 perusahaan farmasi terbesar di Indonesia terbaru?

Dilansir dari Okezone, Senin (4/7/2022), inilah 10 perusahaan farmasi terbesar di Indonesia terbaru:

1. Dexa Medica.

2. Sanbe Farma.

3. Kalbe farma.

4. Kimia Farma (termasuk Phapros).

5. Biofarma.

6. Novartis.

7. Nvell Pharmaceutical Laboratories.

8. Lapi.

9. Interbat.

10. Ferron Pharmaceutical.


Disadur dari sumber economy.okezone.com

Selengkapnya
Inilah Daftar 10 Perusahaan Farmasi Terbesar di Indonesia Versi Terbaru

Farmasi

Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya

Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022


Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dinilai perlu mengevaluasi kebijakan sektor farmasi untuk lebih mendorong inovasi yang menjadi kunci perkembangan sektor ini. Bahkan kini pengendalian pandemi diperlukan utamanya dengan penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19, yang kini sepenuhnya masih impor. Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menyatakan industri farmasi di Indonesia merupakan suatu contoh di mana beragam kebijakan lokalisasi tak kunjung berhasil membangkitkan investasi maupun inovasi.

Andree menjelaskan dimulai dengan Daftar Negatif Investasi [DNI] 2007 yang membatasi kepemilikan asing maksimal 75% di sektor ini. Tidak lama sesudah itu muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi secara lokal.

Kemudian di 2016 sempat terjadi sedikit relaksasi, dimana kepemilikan asing diijinkan 100% untuk manufaktur bahan baku obat dan 85% untuk produksi obat-obatan jadi. "Tetapi, regulasi ini segera diikuti Instruksi Presiden 6/2016 kepada 12 kementerian dan lembaga guna mengembangkan industri farmasi melalui berbagai kebijakan lokalisasi, semisal dengan mengatur kandungan lokal, memprioritaskan produk lokal dan mematok harga," ungkapnya dalam publikasi CIPS, Sabtu (31/7/2021).

Andree menjelaskan lasan di balik beragam kebijakan ini biasanya ialah mendorong transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Sayangnya realisasi investasi asing maupun dalam negeri umumnya akan menurun segera sesudah kebijakan lokalisasi dikeluarkan.  Kebijakan lokalisasi 2007-2008 dikuti realisasi investasi yang rendah sepanjang 2009-2014.  Investasi naik mulai 2015 setelah pasar baru dibuka dengan diluncurkannya JKN.  "Ini pun kembali seret pasca 2016 karena regulasi yang tumpang tindih,” ungkapnya.

Meskipun sekarang ini Perpres 10/2021 tentang investasi yang mengimplementasikan UU Cipta Kerja tidak lagi membatasi kepemilikan asing di pabrik farmasi, namun semangat lokalisasi Inpres 6/2016 masih menyebabkan munculnya berbagai Peraturan Menteri yang restriktif. Semisalnya saja peraturan tentang cara perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) obat-obatan. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian 16/2020 yang akan dikeluarkan di tengah-tengah pandemi.  

Memang sejauh ini sertifikasi TKDN belum diwajibkan, namun apabila diimplementasikan harus diperhatikan supaya jangan sampai membuat obat menjadi langka sebab industri farmasi lokal sebetulnya masih sangat bergantung pada bahan baku impor.  “Dibutuhkan ratusan bahan dasar dalam memformulasikan sebuah obat, termasuk vaksin. Sementara takn semua bahan tersebut dibuat di Indonesia. Penerapan TKDN dapat mempersulit produsen apalagi lokal sekalipun untuk mengembangkan kapasitas. Alih-alih proteksionis, pemerintah idealnya membuka jalur impor untuk bahan baku obat-obatan,” tutur Andree. Pemerintah umumnya meyakini bahwa kebijakan yang restriktif tak akan mengurangi daya tarik populasi yang besar.  Tetapi sebetulnya nilai pasar farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya sekitar 1% dari 2 pasar terbesar dunia, yakni Amerika Serikat dan China.  

Akhirnya, adanya regulasi yang memaksa perusahaan untuk membangun pabrik baru di Indonesia mungkin malah akan mengurangi efisiensi dari pabrik yang telah dibangun di pasar lain yang jauh lebih besar. Bagi perusahaan farmasi multinasional di Indonesia, kombinasi antara biaya yang lebih tinggi dan pasar yang lebih kecil membawa konsekuensi berupa laba atas investasi yang lebih rendah. Pasar yang menawarkan tingkat pengembalian yang lebih rendah dan jangka waktu pemulihan investasi yang lebih panjang secara alami tak menarik bagi investor.


Disadur dari sumber ekonomi.bisnis.com

Selengkapnya
Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya
« First Previous page 2 of 4 Next Last »